HIDUPKATOLIK.com – Salah satu masalah krusial yang kini mengepung seluruh dunia adalah persoalan penanganan pengungsi. Dalam lima tahun terakhir ini terjadi lonjakan pengungsi yang terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal (negaranya!) mencapai angka enampuluhan juta jiwa. Badan Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) merilis bahwa hingga akhir tahun 2015, jumlah pengungsi karena terpaksa mencapai angka 65,3 juta jiwa. Angka itu meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 59,5 juta jiwa.
Dari jumlah tersebut, menurut UNHCR, lebih dari lima puluh persen pengungsi (pencari suaka) adalah anak-anak. Banyak dari mereka terpisah dari orangtuanya alias bepergian sendirian. Mereka umumnya berasal dari negara-negara yang dilanda pertikaian, perang (perang saudara) seperti Afghanistan, Sudah, Somalia, Suriah, Bangladesh, Sri Langka, Myanmar, Nigeria, Irak, dan lain-lain.
Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi negara transit para pengungsi yang ingin berangkat ke Australia. Sayangnya, belakangan Australia telah mengubah kebijakannya mengenai pengungsi atau imigran yang ingin mengadu nasib ke negeri Kanguru ini. Autralia telah menutup pintu (moratorium) bagi para pengungsi. Akibatnya, diperkirakan sekitar empat belas ribu jiwa penggunsi dari negara-negara disebut di atas kini tertahan di Indonesia. Mereka tinggal di tempat-tempat penampungan sementara seperti di Ciputat-Tengerang (Banten), DKI Jakarta, Bogor (Jawa Barat), Medan (Sumatera Utara), Manado (Sulawesi Utara), Pasuruan (Jawa Timur), Kupang (Nusa Tenggara Timur), Lombok (Nusa Tenggara Barat), dan sejumlah tempat lain.
Sebagian dari mereka tinggal di rumah detenti imigrasi (rudenim), kantor imigrasi (kanim), atau penampungan sementara. Kondisi penampungan sementara cukup memprihatinkan. Dari pengamatan kami di lapangan seperti di Kalideres, sebagian dari mereka terpaksa tinggal di trotoar dengan tempat tinggal seadanya. Sementara di Ciputat, mereka tinggal di rumah-rumah petak sederhana. Sebagian anak-anak mereka bisa duduk di bangku sekolah, sebagian lain tidak.
Gereja Katolik, sesuai dengan penggilannya, memberikan perhatian serius sejak lama dengan membentuk komisi migran atau pelayanan selevel itu. Paus Fransiskus sendiri berulang kali menghimbau agar semua pihak (negara-negara Eropa khususnya) bersedia merangkul para pengungsi yang terusir dari tanah mereka karena terpaksa akibat perang, kekerasan, dan lain-lain. Khususnya, bagaimana memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan kepada anak-anak, kaum perempuan, dan orang-orang yang sudah lanjut usia. Bagi Paus, memberikan perhatian, pelayanan, pembelaan pengungsi adalah bagian integral iman kita. Ia sendiri memberikan teladan. Ia menampung sejumlah pengungsi di Vatikan, sebuah negara kota terkecil di dunia.
Para pengungsi itu adalah saudara-saudari kita. Perhatian konkret sekecil apapun yang bisa kita berikan adalah sangat berarti bagi mereka. Kendati, masalah pengungsi ini persoalan global, kita tak bisa melepaskan diri dari tanggungjawab iman dan moral kita sebagai saudara.
Redaksi