HIDUPKATOLIK.com – Sejak abad XIII, Gereja Katolik secara resmi mengakui peristiwa stigmata. Namun, Gereja sangat hati-hati dalam menanggapi setiap fenomena yang terjadi. Dari ratusan kasus, hanya sekitar seperlima yang dinyatakan sah sesuai ajaran iman dan tradisi Gereja.
Kala Fransiskus Assisi tiba di puncak Bukit La Verna, Italia. Saudara-saudaranya mendirikan sebuah pondok baginya. Tepat pada Pesta St Perawan Maria Diangkat ke Surga, ia mulai menjalani doa, matiraga, laku tapa, dan puasa untuk menghormati Malaikat Agung St Michael di dalam pondok kecil itu. Dalam doa, ia mendapat anugerah visiun (penglihatan rohani). St Michael datang dan mengatakan agar ia mempersiapkan diri menerima sesuatu dari Allah dalam dirinya. “Saya siap menanggung dengan sabar segala sesuatu yang hendak dikerjakan Tuhan terhadap diri saya,” jawab pria yang bernama asli Giovanni Francesco Bernardone ini. Usai percakapan itu, St Michael pergi.
Pada Pesta Salib Suci, 14 September 1224, tepat hari Jumat Agung, saat pagi-pagi buta, Fransiskus berlutut dan berdoa di depan pondoknya. “Tuhanku, Yesus Kristus, saya mohon kepada-Mu karuniakanlah dua anugerah sebelum saya meninggal. Pertama, semoga Engkau izinkan saya merasakan sebanyak mungkin penderitaan hebat-Mu. Kedua, semoga Engkau memperbolehkan saya merasakan sebanyak mungkin cinta yang tak terbatas. Yang mana Engkau, Putra Allah, tergerak dan mau menanggung sengsara kami para pendosa,” ungkapnya.
Pemenuhan Janji
Dalam kontemplasinya yang mendalam, ia mendapat visiun. Dari langit turunlah Seraphim yang memiliki enam sayap bercahaya. Wujudnya seperti manusia yang tersalib. Penglihatan itu membuatnya merasakan konsolasi (kegembiraan rohani) sekaligus sedih dan takut. Fransiskus gembira karena wajah Seraphim, seperti wajah Yesus yang sedang menatapnya dengan lembut dan penuh kasih. Namun, putra pasangan Pietro Bernardone dan Yohana Donna Pica itu tak kuasa menutupi rasa takutnya karena Seraphim tersalib dan menderita.
Setelah Seraphim pergi, Fransiskus mengalami luka-luka Yesus. Ia berusaha merahasiakan semua yang dialaminya kepada siapa pun, termasuk saudara-saudara seordo. Kedua tangannya yang terluka dibebat kain dan ia masukkan ke dalam jubah. Ia pun menutup luka di kakinya dengan mengenakan sepatu. Suatu hal yang tak lazim ia lakukan.
Meski Fransiskus berusaha menyembunyikan rahasia stigmata demi menghindari popularitas dan kemegahan diri, Tuhan kerap melakukan aneka mukjizat melalui stigmata yang dialami putra saudagar kain dari Umbria itu. Selama perjalanannya dari La Verna hingga ke St Maria Para Malaikat, banyak terjadi mukjizat melalui perantaraannya.
Stigmata yang ia alami membuat daya tahan tubuhnya kian melemah. Sabtu, 3 Oktober 1226, Fransiskus wafat pada usia 44 tahun. Kemudian pada 16 Juli 1228, Paus Gregorius IX mengkanonisasi hamba Allah dari Assisi ini.
Kesucian Hidup
Dalam sejarah, St Fransiskus Assisi merupakan stigmatis (penerima stigmata) pertama yang diakui secara resmi oleh Gereja Katolik. Sementara St Fransesco Forgine yang dikenal dengan nama Padre Pio adalah imam pertama pada abad modern yang mendapat pengakuan Takhta Suci atas stigmata yang ia alami. Francesco lahir pada 25 Mei 1887 di Pietrelcina, Italia Selatan. Maka, ia lazim disebut St Pio dari Pietrelcina. Anak kelima dari delapan bersaudara ini merupakan buah hati pasangan Grazio Forgione dan Maria Giuseppa de Nunzio. Orangtuanya adalah petani sederhana. Sejak kecil, pribadinya sangat santun dalam bertutur kata dan berperilaku.
Ketika anak-anak seusianya gemar bermain, Francesco justru tenggelam dalam relasi intim dengan Yesus dan Bunda Maria. Tak heran, pada usianya yang masih belia, ia sudah bernadar untuk membaktikan seluruh hidupnya demi kemuliaan Tuhan. Karena itu, pada 6 Januari 1903, ia masuk Novisiat Ordo Saudara Hina Dina Kapusin (OFMCap) di Morcone, Benevento, Italia. Ia pun mengenakan nama kebiaraan Pio.
Setelah ditahbiskan sebagai imam pada 10 Agustus 1910 di Katedral Benevento, Pio tinggal bersama keluarganya karena alasan kesehatan. Para dokter mendiagnosa dirinya mengidap infeksi paru-paru. Diperkirakan, usianya tinggal sebulan. Ternyata, setelah enam tahun bergulat dengan penyakitnya, kesehatannya kian membaik.
Padre Pio lantas diutus ke Biara San Giovanni Rotondo pada September 1916. Selama di biara, ia melewatkan siang dan malam dalam percakapan mesra dengan Tuhan. Menurutnya, doa ialah kunci yang membuka hati Tuhan. ”Iman membimbing kita menerima kehendak Allah yang terkadang misterius,” tandasnya.
Pada 5 Agustus 1918, Padre Pio dianugerahi visiun. Ia merasa dirinya ditikam dengan sebilah tombak. Ajaib, luka akibat tikaman tombak itu ternyata muncul di tubuhnya. Kemudian saat Misa, 20 September 1918, ia juga menerima luka-luka Yesus di kedua kaki dan tangannya. Setiap hari, luka-luka itu mengucurkan sekitar secangkir darah. Luka-lukanya tak pernah menutup dan sembuh, ataupun bertambah parah. Anehnya, luka-luka itu juga tak berbau amis darah, melainkan harum semerbak, terutama pada Kamis sore hingga Sabtu.
Sejumlah dokter yang menginvestigasi fenomena yang ia alami tak mampu memberikan penjelasan medis. Aneka penyelidikan yang dilakukan Vatikan pun akhirnya berujung pada kesimpulan bahwa Padre Pio mendapat anugerah luka-luka Yesus. Kejadian yang ia alami terus berusaha ditutupi oleh pimpinan komunitasnya. Meski demikian, kabar tentangnya segera beredar luas. Ribuan orang berduyun-duyun datang ke biara kecil di Rotondo.
Kisah Padre Pio banyak menuai decak kagum, sekaligus kecurigaan dan perbantahan. Konon, banyak mukjizat terjadi lewat perantaraannya, seperti: bilokasi (berada di dua tempat dalam waktu bersamaan), levitasi (tubuhnya terangkat, seperti terbang saat berdoa), mampu berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata, dll.
Imam saleh nan sederhana ini wafat pada usia 81 tahun, 23 September 1968. Beberapa saat, seisi kamarnya harum semerbak akibat aroma dari luka-luka suci yang selama 50 tahun menemaninya. Stigmata itu pada akhirnya hilang seiring kepergiannya menuju alam keabadiaan.
Pada 18 September 1997, Bapa Suci Yohanes Paulus II menyatakan Padre Pio sebagai Venerabilis. Kemudian, ia dibeatifikasi pada 2 Mei 1999 dan di kanonisasi pada 16 Juni 2002 di Vatikan.
Berteman Derita
Rahmat stigmata juga dialami Maria Bolognesi. Gadis kelahiran Bosaro-Rovigo, Italia, 21 Oktober 1924 ini nyaris sepanjang hidupnya berbalut duka dan penderitaan. Terlahir karena hubungan di luar nikah, ia masih harus menyaksikan kemiskinan dan kekerasan yang dialami sang ibu oleh ayah tirinya.
Selama 18 bulan, Maria kerasukan setan. Secara bertubi-tubi ia diserang aneka penyakit, seperti: radang tenggorokan, paru-paru, lever, usus buntu dan pencernaan, anemia, rematik, jantung, dll. Meski siksa psikis dan fisik menemani peziarahan hidupnya, cintanya pada Yesus tak pernah surut.
Maria mendapat visiun dua kali. Pertama, pada Rabu Abu 1942; dan kedua, pada 8 Mei 1942. Dalam visiun itu, Yesus meminta kesanggupannya untuk mencintai-Nya, berdoa, bertobat, melakukan karya sosial, memakai pakaian biarawati, dan hidup selibat. Ia pun menerima cincin berhiaskan lima batu permata. Cincin itu menjadi ikatan suci dengan Yesus, sekaligus melambangkan lima luka-Nya. Semua kejadian itu ia tuliskan dalam buku pembimbing rohaninya.
Pada 2 Januari 1944, kala sedang berdoa, Maria berkeringat darah. Ekstase ini berlangsung selama lima menit. Lagi-lagi, semua derita ini ia simpan rapat dalam hatinya. Meski amat intim dengan Tuhan, hidupnya tak pernah luput dari derita fisik dan batin hingga akhir hayatnya.
Pasca mengalami dua kali serangan jantung tahun 1971, kondisi raganya kian buruk. Pada 30 Januari 1980, ia wafat di Rovigo. Proses penggelaran kudus Maria Bolognesi dibuka pada 21 Oktober 1992. Lalu pada 10 Mei 2012, dekrit keutamaan kristianinya sebagai seorang mistikus direstui Paus Benediktus XVI. Ia pun digelari Venerabilis. Pada 7 September 2013, Takhta Suci menggelarinya Beata.
Gereja sangat berhati-hati menanggapi fenomena stigmata dan mengesahkan seseorang sebagai stigmatis. Ada sekitar 300 kasus stigmata, tapi hanya sekitar 60 peristiwa yang diakui secara resmi, antara lain: Fransiskus Assisi (1181-1226), Catharina Siena (1347-1380), Rita de Cascia (1381-1457), Veronica Giuliani (1660-1727), Gemma Galgani (1878-1903), Padre Pio (1887-1968), dll.
Bagi Gereja, stigmata bukanlah karunia yang harus diinginkan atau diminta. Yang utama ialah kesediaan manusia untuk berani dan mau bersatu dalam penderitaan bersama Tuhan serta menjalin relasi mesra dengan-Nya, baik melalui Sabda maupun Sakramen, terutama Rekonsiliasi dan Ekaristi.
Yanuari Marwanto
HIDUP No.40 2014, 5 Oktober 2014