HIDUPKATOLIK.com – Alam memberi kehidupan, kita sebagai manusia harus melestarikan. Karena kelak alam akan mengambil kembali.
Sekelompok anak muda menggunakan seragam Pakaian Dinas Lapangan (PDL) berwarna hijau army terlihat sibuk di antara umat yang menyemut di pelataran Gereja Salib Suci Cilincing, Jakarta Utara, Keuskupan Agung Jakarta. Sebagian ada yang mendorong gerobak sampah, sebagian sibuk mengaduk tempat sampah di sudut-sudut gereja.
Di bagian belakang gereja, pemuda dengan seragam yang sama, berkutat dengan sampah daun yang dibusukkan, sedangkan yang lain menguliti label botol plastik kemasan. Bukan. Mereka bukanlah petugas kebersihan paroki. Mereka adalah anak muda yang sangat peduli pada kebersihan dan keasrian gereja, yang bernaung dalam bendera PALAPASS.
Mereka setia melakukan kegiatan operasi bersih-bersih (opsi) setiap minggunya, tanpa iming-iming imbalan. PALAPASS sendiri adalah akronim dari Pecinta Alam Paroki Salib Suci. Sesuai dengan namanya mereka mempraktikkan kecintaannya terhadap alam. Salah satunya mereka mulai dengan opsi di paroki. Mereka menginisiasi opsi di paroki dengan memilah sampah. Hal ini pun disambut baik oleh paroki. Gerakan ini membius paroki untuk bersinergi menjadi gerakan bersama.
Bergelut dengan Sampah
Ketua PALAPASS, Yohanes Adhi mengungkapkan, kegiatan opsi ini sengaja digagas untuk meningkatkan kesadaran umat terhadap lingkungan hidup, khususnya lingkungan gereja. Jumlah sampah yang berserakan menciderai estetika gereja. Gereja yang menjadi “rumah” yang menggaungkan semangat kepedulian terhadap lingkungan hidup, justru menjadi tempat di mana sampah membludak. Bahkan ketika sudah disediakan tempat sampah, umat cederung membuang sampah sembarangan.
Keresahan inilah yang membuat PALAPASS setiap hari Minggu usai Misa kedua, turun tangan untuk membersihkan dan memilah sampah. “Memang dibutuhkan ketabahan. Setiap minggu kami bergelut dengan sampah. Itu pengorbanan waktu dan tenaga. Tapi ya inilah cara untuk mengedukasi umat agar lebih peduli terhadap lingkungan sekitar,” ungkap Adhi.
Mereka tak segan berpeluh, berkotor-kotor ria, bahkan menahan aroma tak sedap. Semua mereka lakukan sembari memberi teladan bagi umat. Umat pun akhirnya melihat mereka dan mulai tersentil. Mini mal membuang sampah pada tempat yang telah disediakan. Namun, itu semua tidak mudah. Mereka juga harus tebal telinga ketika beberapa pihak yang mencibir mere ka terhadap apa yang mereka lakukan. Tetapi justru komitmen para anggota PALAPASS ini yang meluluhkan hati para umat.
Opsi ini pun mendapat apresiasi dan perhatian dari Paroki Salib Suci. Bahkan. kegiatan PALAPASS kini menjadi opsi wilayah. Setiap wilayah diberi jadwal untuk melakukan opsi. Tentu saja dengan PALAPASS sebagai pendampingnya. Sebelum melakukan opsi, PALAPASS memberikan edukasi tentang sampah-sampah yang harus dibersihkan dan dipilah. “Memang enggak mudah, tapi ya edukasi memang harus dilakukan secara terus menerus,” tutur Adhi. Selain opsi, mereka juga memiliki project bank sampah dan komposter. Mereka mengumpulkan sampah rumah tangga yang bisa didaur ulang dan dijual, khususnya botol kemasan dan kertas kardus. Hasil penjualan itu dikembalikan kepada si empunya sampah.
Sejak 2017 mereka menggarap komposter. Dengan komposter ini mereka mengelola sampah mereka sendiri. Sampah-sampah daun kering mereka kumpulkan untuk dijadikan pupuk cair. Alasannya mereka ingin sampah yang keluar dari gereja itu lebih sedikit. Hal ini disampaikan oleh koordinator komposter, Tarsisius Rio Imanuele. Menurut Rio komposter mereka disambut baik. Beberapa paroki sudah meminta hasil komposter mereka. “Kami baru mulai garap, sudah pernah panen tapi sedikit. Jadi belum partai besar. Ini dilakukan pengontrolan secara rutin,” tutur Rio.
Mati Suri
PALAPASS yang secara resmi berdiri sejak tahun 2002, merupakan ide sekumpulan anak muda paroki yang memiliki minat yang sama dalam hal mendaki gunung. Berangkat dari situ, mereka mengadakan pendakian-pendakian ke beberapa gunung yang ada di Indonesia. Sampai akhirnya, mereka melakukan pendakian ke Gunung Kerinci, Sumatera Barat. Namun, mereka mengalami kejadian yang tak terduga. Salah satu anggota mereka meninggal. Hal ini membuat mereka tenggelam dalam kemuraman, yang cukup panjang dan meninggalkan jejak trauma dalam pribadi anggotanya, maupun keluarga mereka.
Luka yang tertoreh dalam yang dirasakan para anggotanya, membuat PALAPASS sempat kehilangan kepercayaan. Namun, mereka berhasil bangkit dari keter purukan mereka. Pada 2012, PALAPASS kembali mengumpulkan semangat dan menghidupkan komunitas dengan rasa percaya diri. Mereka memulai kembali dengan mengumpulkan anggota lama dan merekrut anggota baru. Akhir 2012 mereka melakukan pendakian ke Gunung Papandayan. Mati suri pun berakhir, berganti dengan semangat meran cang masa depan.
Menjadi anggota PALAPASS, secara khusus diberikan pelatihan baik teori maupun praktik. Teori diajarkan selama dua bulan lamanya, tentang tali temali, pertolongan pertama gawat darurat, perbekalan dasar dan SAR. Teori yang diajarkan tersebut kemudian dipraktikkan seratus persen di alam. “Kita cari waktu untuk pelantikan. Biasanya kita pilih camping ground. Nah baru setelah lulus pelantikan kita beri PDL,” terang Adhi.
Berkembang
PALAPASS kini bernaung di bawah Seksi Keadilan dan Perdamaian (SKP) Paroki. Koordinator SKP, Bastian Teni Tembaru mengatakan kegiatan PALAPASS membawa efek baik. “Proses pembelajaran ini tentu mereka bisa terapkan di keluarga dan di tengah masyarakat. Apa yang mereka buat itu sekarang terlihat dengan program mereka yang rapi, umat pun mulai mencintai lingkungan yang bersih,” tuturnya.
PALAPASS tidak hanya menjadi jago kandang. Kepedulian dan komitmen PALAPASS terhadap lingkungan hidup ini juga diapresiasi oleh pihak luar. Seringkali PALAPASS diundang untuk menjadi pembicara dalam seminar-seminar lingkungan hidup. Untuk kegiatan di luar Gereja, mereka juga bersinergi dengan beberapa pihak yang peduli lingkungan. Bahkan mereka pun pernah diundang kegiatan bersih-bersih laut oleh Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan. Selain itu pada 2017, PALAPASS dipercaya mendampingi pendakian masal Misa Alam ke Gunung Gede yang digawangi oleh Paroki Alam Sutra.
Untuk agenda tahunan, PALAPASS juga mengadakan Misa Alam yang dibuka untuk umum. Menurut Adhi bukan hanya anak muda yang berminat mengikuti pendakian yang diadakan oleh PALAPASS. Bahkan banyak juga permintaan dari lansia yang mau naik gunung.
Adhi berharap PALAPASS semakin solid dalam segala hal. Termasuk kesabaran dan ketabahan untuk tetap melayani gereja, khususnya menjaga kebersihan gereja seperti yang mereka lakukan ketika mereka di gunung. “Ke depannya semoga lebih tekun, disiplin dan sabar untuk para anggota PALAPASS. Semakin mencintai lingkungan dan diri sendiri. Kita hidup bergantung pada alam. Alam memberi, alam mengambil,” tegasnya.
Marchella A. Vieba