HIDUPKATOLIK.com – “FILSAFAT itu ilmunya orang gila. Filsafat itu ilmu orang sombong karena mengabaikan Tuhan.” Setidaknya, itulah yang dikatakan ayahnya.
Tahun ini adalah tahun ketiga bagi Yudi yang hampir tak pernah lagi ke gereja sejak belajar filsafat. Bukan hanya aku, sahabatnya yang heran, ayahnya pun dibuat heran oleh “sang filsuf” yang satu ini.
“Yud, ikut ayah ke gereja nanti sore, ya,” kata ayahnya sembari membawa kopi panas di sebuah cangkir.
“Iya, tapi aku gak ikut masuk, soalnya mau belajar untuk ujian besok,” jawabnya seraya membaca sebuah buku filsafat. “Kamu itu persis Abunawas yang punya 1001 cerita supaya tidak ke gereja,” tutur ayahnya sambil menarik kursi mendekati Yudi.
Ayahnya memang sudah putih rambut. Yudi juga sudah lama hidup tanpa ibunya yang meninggal karena sakit keras. Kedua kakaknya sudah hidup seatap dengan pasangannya masing-masing di luar kota. Untuk mendulang rezeki, ayahnya masih menjalankan usaha toko sembako di usianya yang tak lagi muda.
Semua tetangga mengakui kesalehan keluarga ini. Bagaimana tidak? Dulu, ayahnya seorang asisten imam di gereja. Sebelum sakit, ibunya juga seorang pelatih paduan suara di gereja. Kedua kakaknya pun aktif di kegiatan gereja dan masyarakat.
Yudi juga mewarisi kesalehan itu dengan aktif sebagai putra altar dan sering ikut romo paroki pergi ke stasi-stasi. Tutur dan perangai keluarga ini juga sangat baik. Apalagi, mereka sangat perhatian pada orang tukang becak di sekitar rumah.
Sayangnya, Yudi berubah sejak ibunya meninggal. “Tuhan, mengapa Engkau memberikan
petaka bagi keluargaku, padahal keluargaku sudah berusaha hidup sesuai kehendak-Mu?” Demikian isi doanya pada Tuhan. Ia semakin menyangsikan keberadaan Tuhan, apalagi ketika ia belajar filsafat di sebuah perguruan tinggi.
***
Sejak Yudi belajar filsafat, aku selalu kalang kabut menjawab pertanyaannya yang tak lazim. Misalnya, ia kerap bertanya, “Apakah Tuhan itu ada?” Jika demikian, “Mengapa Tuhan menciptakan penderitaan?” Tanyanya padaku yang tak sekritis Yudi.
“Jika Tuhan itu baik, mengapa Ia memberikan kesedihan bagi keluargaku yang selama ini hidup baik?” Lanjutnya bertanya terus menekanku. “Setahuku, Yud, Tuhan tidak pernah
menciptakan kejahatan. Semua yang diciptakan-Nya itu baik. Tapi Tuhan menciptakan
kehendak bebas manusia. Itulah yang membawa penderitaan,” kataku yang teringat akan homili romo minggu lalu.
Yudi hanya diam. Yudi juga kerap berbicara banyak hal yang setengah mati dipahami orang lain. Seakan, aku dijadikannya objek pelampiasan. Semua pertanyaannya yang
kritis menuntut jawaban jelas dariku. Ketika aku memintanya untuk kembali ke gereja, lidahnya selalu lincah mencari alasan.
***
Di teras rumahnya, Yudi bercerita banyak hal tentang filsafat. Yudi bicara tentang seorang filsuf yang bernama Nietzsche yang mengatakan bahwa “Tuhan itu sudah mati”.
Belum sempat aku membuka mulut untuk menolak ucapannya, Yudi sudah melanjutkan ceritanya. “Ada seorang filsuf yang namanya Feurbach. Menurutnya, Tuhan adalah imajinasi orang-orang lemah,” katanya padaku dengan buku filsafat yang masih
dipegangnya.
“Cukup, Yud. Kamu sudah kelewatan!” Kecamku padanya. Aku mulai naik pitam
dengan ucapannya yang terakhir itu. “Aku minta maaf. Tapi, aku sudah
hanyut dalam filsafat yang mengajariku untuk kritis pada segala hal dan tidak menerimanya mentah-mentah, termasuk tentang Tuhan,” jawabnya dengan alis yang
mengerut bak seorang pemikir ulung.
Karena semakin jengkel, aku memutuskan untuk pulang. Saat hendak berjalan pergi, ia menyanggahku. “Tapi, aku juga tak bisa memungkiri, bahwa dalam hatiku ada sesuatu yang membuatku selalu mencari sesuatu yang lebih. Aku belum paham tentang itu,” lanjutnya sambil menghalangi langkahku.
Diam-diam, Yudi masih menyimpan rosario kumal yang diberikan ibunya sebelum meninggal. Katanya, ia masih berdoa pada Tuhan. Tapi, ia memilih tidak ke gereja seperti dulu karena masih ada yang memberatkan hatinya. Aku kembali duduk dan mendengarkan ceritanya.
“Aku selalu menyangsikan Tuhan dengan meminta bukti-bukti logis keberadaan-
Nya,” katanya. Langit-langit mulutku belum kering, ia sudah memotong ucapanku.
“Tapi aku sadar bahwa banyak hal di dunia ini yang manusia belum bisa memahami
dengan akal yang tak seberapa. Lantas, apakah ada sesuatu yang lebih besar
dari itu?”
Ucapannya yang terakhir itu menambah suasana yang semakin mencengkram. Jawabku, “Ada”. Memang, Yudi tak bisa memungkiri ada “sesuatu” yang lebih yang dirindukannya,
hatinya.
“Aku sudah belajar filsafat tiga tahun dan mendapat banyak pengetahuan. Tapi, aku merasa kosong dan hampa. Semakin aku menolak Tuhan, semakin aku tak bisa memungkiri-Nya dan semua kebaikan-Nya,” ucapnya lirih sambil menitihkan air mata.
“Baiklah. Mengapa kamu tidak ke gereja sekarang dan berdoa di sana?” Tawarku
sambil memegang pundaknya.
***
Meski ragu, Yudi tetap pergi ke gereja yang jaraknya hanya selemparan batu dari rumahnya. Tepat, sore itu lonceng gereja menggema di antara pilar-pilar gereja. “Tuhan, aku menyadari bahwa kerinduan dan kekosongan hidupku hanya bisa dipenuhi di dalam Engkau. Aku merindukan-Mu, Tuhan,” katanya lirih yang masih
bisa kudengar.
Merinding aku dibuatnya karena mendengar doa sang filsuf yang satu ini. Sejak itu, Yudi belajar filsafat tidak lagi untuk menjatuhkan imannya. Sebaliknya, ia semakin beriman. Bahkan, imannya jauh lebih mendalam dari sebelumnya. Aku pun mulai tertarik pada filsafat.
Fr. Krisna Setiawan