HIDUPKATOLIK.com – Rasa cinta mampu diraih dari olah budaya. Sanggar Budaya Asih Laras membuktikannya.
Ratusan umat menyemut di pelataran Gereja St Anna, Duren Sawit, Keuskupan Agung Jakarta, Sabtu,24/2. Apa pasal? Mereka menyaksikan pagelaran seni ketoprak bertajuk “Suminten Edan” dengan penuh antusias. Pagelaran yang dipersembahkan oleh Sanggar seni Asih Laras ini turut melibatkan para Romo sebagai pemeran watak dalam pentas tersebut. Hal itulah yang menarik perhatian umat Paroki Duren Sawit.
“Suminten Edan” bukanlah pertunjukkan pertama yang diusung oleh Sanggar Asih Laras. Sebagai wadah seni dan budaya yang bernaung dalam paroki, selain ketoprak, sanggar ini juga mengayomi kesenian karawitan dan tari. Sejak disahkan secara resmi pada tahun 2000, kini Asih Laras mendapat perhatian dan dukungan penuh dari Romo dan Dewan Paroki.
Keselarasan Hidup
Sebelum diresmikan oleh Paroki, Sanggar Asih Laras sudah berjalan secara mandiri. Penggagas Sanggar Asih Laras, Fransisca Sri Sukarti Triswoyo mengungkapkan jika dulu mereka menggunakan Sekolah Bonaventura, Pondok Bambu, sebagai tempat berlatih. Alat musik yang digunakan pun merupakan peralatan gamelan pribadi milik wanita yang hangat
disapa Tris ini. “Atas prakarsa Romo FX Widyatmaka SJ, peralatan gamelan pun dibeli oleh paroki karena banyaknya umat yang berminat terlibat karawitan. Pertimbangannya lebih baik beli daripada menyewa,” kisahnya.
Dengan dibelinya peralatan gamelan ini, kini seperangkat alat musik Jawa itu tertata rapi di Aula Yos Sudarso dan di lantai dua Gereja St Anna. Peralatan gamelan itu masing-masing terdiri dari; saron, demung, peking (saron penerus), bonang barung, bonang penerus, kenong, kethuk kempyang, gender barung, gender penerus, slenthem, kempul (bagian dari gong), gong, gambang, kendhang, suling, siter, dan rebab.
Oleh masyarakat Jawa, gamelan biasa digunakan untuk iringan nyanyian sinden dan pengiring pertunjukan wayang. Kehalusan budaya Jawa yang tercermin dalam kelembutan irama musik gamelan, mencerminkan pula keselarasan hidup dan kegotong-royongan. Suatu nilai yang dianut masyarakat Jawa pada umumnya. Apabila salah satu instrumen tidak dimainkan, akan menghasilkan suara yang berbeda. Begitu pula dengan Sanggar Asih Laras. Setiap anggotanya belajar mencintai budaya dengan rasa damai dan kelegaan hati, serta memetik nilai kerja sama antar para anggotanya. “Sepintar apapun kalau tidak mengenal irama, akan bablas sendiri,” jelas Tris.
Sanggar Asih Laras memang terbentuk untuk memperkenalkan kesenian Jawa secara khusus kepada umat Paroki St Anna. “Karawitan ini juga bisa mengiringi Misa. Selain itu memang tujuannya melestarikan kebudayaan Indonesia,” tutur Tris.
Memperpanjang Usia
Dalam sanggar ini keakraban pun terjalin antar sesama anggotanya. Bukan hanya sebatas teman, melainkan diakui Tris mereka sudah selayaknya saudara yang saling membantu. Dengan mengikuti sanggar ini, ada kebersamaan yang dirintis. Mereka belajar bersabar dan bertekun. Mereka diajak untuk bisa merasakan dan menghayati kebersamaan dengan tidak ada rasa sakit hati. Bila ada kesalahan, berani ditegur dengan canda ria, bahkan saling berkelakar.
Tris mengisahkan seperti dalam menabuh gamelan, kita harus bekerja sama gotong-royong yang kompak. “Orang yang tidak sabar biasanya akan mutung. Yang sabar, iramanya akan menjadi enak didengar dan kita sendiri bisa melatih kesabaran.” Belajar karawitan juga memperpanjang usia, dalam istilah Jawa “ndedawa nyawa”,karena ada canda ria tersebut. Walau anggotanya tambal sulam, yang keluar bukan karena mutung, tapi karena sakit atau pindah rumah. “Yang tadi belum ikut, mulai belajar lagi. Separuh dari anggotanya masih yang lama, mereka masih setia. Karena ada hobi yang sama, sampai kapan pun masih tetap ada.”
Saat ini, Sanggar Asih Laras terdiri dari tiga kategori, yaitu anak-anak, orang muda, dan senior. Melalui kenalan dari beberapa paroki lain, Asih Laras menawarkan diri untuk turut tampil dalam Misa inkulturasi di Keuskupan Agung Jakarta. Seperti ulang tahun komunitas gereja di Pulo Gebang, Cijantung, Asisi, dan Kranji.
Meski terbangun jalinan persaudaraan yang kuat, Sanggar Asih Laras juga mengalami kendala. Umumnya soal waktu dan transportasi. Tetapi karena minat yang sama, latihan pada malam hari pun juga tetap dijalani. Selain itu waktu latihan kadang anggotanya tidak lengkap. Yang sudah datang akhirnya kecewa dan tidak jadi latihan. Namun, ketika akan ada pementasan, semangat mereka pun terpacu. “Seperti ketoprak kemarin, dipersiapkan selama satu setengah bulan dengan frekuensi latihan seminggu tiga kali,” Tris berujar.
Untuk seni tari di Asih Laras sendiri baru berjalan selama enam bulan. Menurut Tris saat ini masih tarian dasar Jawa sebagai modal dasar, sehingga nanti untuk tari kreasi daerah lain bisa mengikuti, badan mulai lentur, dan mudah menyerapnya. Pelatihan seni tari ini diikuti oleh 15-20 orang muda dan ibu-ibu.
Terus Berkarya
Sanggar Asih Laras akan semakin giat dalam mengembangkan budaya, tidak hanya dikalangan gereja St Anna, tetapi juga untuk masyarakat umum di luar umat Katolik. Dengan animo umat paroki pada pementasan ketoprak pada waktu lalu, Asih Laras juga berencana terlibat mementaskan karawitan pada HUT Kemerdekaan. “Tidak hanya dari umat paroki, tapi lintas agama. Mengundang mereka ikut main, dengan seni tari dan ketoprak bertema ‘Sumpah Palapa’. Mudah-mudahan gayung dapat bersambut dengan pihak-pihak yang berkaitan,” imbuh Tris.
Tris berharap kebudayaan di paroki semakin berkembang, tidak hanya dari kalangan yang senior, tetapi juga dari kalangan anak-anak dan kaum muda, tentu saja dengan dukungan dari para orang tua. “Kalau orang tua mengantarkan anak mereka untuk terlibat itu berarti mereka turut andil melestarikan budaya.”
Anton Bilandoro/Marchella A. Vieba