HIDUPKATOLIK.com – Kolom Mingguan Hidup Edisi 25 Februari 2018 memuat tulisan Ignatius Haryanto tentang Puasa Medsos. Sebuah gagasan yang relevan untuk dipraktekkan oleh semua orang, bukan hanya bagi umat Katolik yang sedang menjalani masa Prapaskah. Bagi umat Katolik yang sedang menjalankan pantang dan puasa, mungkin gagasan tersebut masih terdengar aneh. Pasalnya, umat sudah terbiasa untuk pantang dan puasa dari daging, garam, jajan, rokok, dan sejenisnya.
Secara pribadi saya mendukung gagasan tersebut. Menurut saya, puasa media sosial juga merupakan bagian dari upaya pengendalian diri dan matiraga, yang menjadi intisari dari makna puasa dan pantang kita. Mengapa? Karena di tengah derasnya arus informasi ini, tanpa sadar kita terjebak dalam keinginan untuk menjadi orang yang, dalam istilah Ignatius Haryanto, “paling update”.
Ada satu contoh menarik yang saya amati dari fenomena di mana banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi yang “paling update”. Pada hari Minggu 11 Februari 2018 yang lalu hampir di seluruh grup Whatsapp yang saya ikuti berisikan berita tentang peristiwa penyerangan di Gereja St Lidwina Bedog, Sleman, DIY. Tentu saja tak ada yang salah dengan membagikan berita tersebut kepada orang lain. Tetapi yang bagi saya terasa menggelikan adalah berita yang sama dibagikan berkali-kali di satu grup yang sama. Saya menduga bahwa mereka tidak membaca postingan yang sebelumnya sudah dibagikan oleh anggota grup yang lainnya.
Lantas, apa yang bisa kita buat untuk mewujudkan puasa medsos ini? Ada dua hal yang kiranya bisa dilakukan.
Pertama, kendalikan kedua jempol tangan kita. Kalau kita perhatikan, saat ini kedua jempol tangan kita sedemikian lincah menekan layar smartphone atau pun berbagai jenis gadget lainnya. Tanpa dikomando, kedua jempol tangan kita sudah sedemikian lancar membagikan bermacam postingan di medsos kita. Karena itu dibutuhkan juga pengendalian terhadap jempol tangan kita supaya tidak begitu saja copypaste-share bermacam postingan di medsos.
Kedua, bijak dan kritis terhadap bermacam berita yang menyinggung suatu kelompok atau tokoh tertentu. Berita-berita yang memuat tentang kejelekan suatu kelompok atau seorang tokoh tertentu cenderung menghasilkan sikap benci terhadap mereka yang diberitakan. Saya pernah menegur seorang anggota grup Whatsapp yang hampir setiap hari membagikan tulisan-tulisan tentang keburukan salah satu pemimpin di negeri ini. Saya menegurnya bukan karena saya memihak pada pemimpin tersebut, tetapi karena anggota tersebut kurang empan papan dalam berbagi informasi. Kurang empan papan berarti kurang bisa menempatkan diri dalam bertindak. Sikap empan papan juga bisa menjadi langkah bagi kita untuk bijak dan kritis dalam bermedia sosial.
Kedua langkah tersebut bisa menjadi perwujudan puasa medsos kita, terlebih dalam turut serta mencegah aneka macam informasi yang bernuansa kebencian dan berdampak memecah-belah. Cherian George, seorang pakar Jurnalistik, dalam teorinya tentang hate spin (pelintiran kebencian) melihat bahwa seringkali media sosial dipakai sebagai alat pelintiran kebencian (2016). Media sosial sangat rentan disusupi oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab untuk menyebarkan aneka macam hasutan, ujaran kebencian, dan aneka informasi hoax (berita palsu, berita bohong) dengan tujuan tertentu.
Maka dalam pemahaman saya, puasa dan pantang medsos bukan hanya berarti kita sama sekali tidak memakai menggunakan medsos selama masa Prapaskah ini. Akan tetapi puasa dan pantang medsos hendaknya menjadi saat kita memperbaiki perilaku kita dalam bermedia sosial. Puasa dan pantang medsos juga tidak hanya dilakukan selama masa Prapaskah, tetapi di sepanjang hidup kita.
Stepanus Sigit Pranoto SCJ