HIDUPKATOLIK.com – “Bagaimana memberdayakan umat Katolik untuk ikut berpolitik, itu tugas perutusan kita.
Setiap hari, Yohanes Handojo Budhisedjati mengisi rutinitas paginya dengan membaca surat kabar. Tak seperti biasa, di suatu pagi, ia melewatkan headline sebuah koran nasional. Perhatiannya langsung ke halaman yang lebih dalam. Di sana, dipaparkan pengumuman hasil Pemilu Legislatif 2014. Sontak, matanya memicing dan dahinya mengkerut. Hanya segelintir nama rekan-rekan Katolik yang berhasil memenangkan kursi baik di DPR maupun DPRD.
Batinnya berlumur kekecewaan. Namun, ia tidak sendirian. Beberapa rekan lain juga mengalami keprihatinan serupa. Setelah diusut, mereka menemukan banyak rekan yang beradu di daerah pemilu yang sama. “Ini mesti ada yang salah,” pikirnya.
Selama setahun, ia bergulat merancang jawaban atas kekecewaannya itu. Pengalamannya aktif di berbagai Ormas Katolik akhirnya membuatnya bertanya-tanya,ada apa dengan kader-kader Katolik? Dalam penglihatannya, belum ada yang benar-benar bisa melakukan aksi. Di saat itu, pikirannya langsung membayangkan sebuah organisasi eksekutor yang benar-benar bisa masuk ke grass root hingga hierarki.
Dialog Langsung
Dari keprihatinan itu, Handojo lalu mendirikan sebuah ormas bernama Vox Populi Institute Indonesia (VPI) atau disingkat “Vox Point” yang dideklarasikan pada 13 Maret 2016. Nama ini diambil dari ungkapan Latin kuno, “Vox Populi, Vox Dei”, yang berarti ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’. Ia berharap, Vox Point lebih bisa menata, lebih bisa melakukan dialog langsung, serta lebih bisa bekerja dengan pihak-pihak manapun terutama Gereja.
Menanggapi banyaknya Calon Legislatif (Caleg) Katolik dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil) yang sama, Ketua Umum Vox Point ini menyarankan untuk melakukan konvensi. Dengan cara ini, beberapa calon legislative dari daerah pemilihan (dapil) yang sama dapat bekerjasama. “Konsep konvensi ini bertujuan agar tiga atau empat orang di dapil yang sama itu, bisa saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing. Bagaimana elektabilitas dan kompetensi mereka,” ujarnya.
Track record Caleg juga menjadi catatan penting. Menurut Handojo, seorang Caleg Katolik mestinya merupakan orang yang dikenal oleh Gereja, terutama paroki sesuai dapilnya. Sehingga, lanjut Handojo, calon ini memahami dan dapat memperjuangkan nilai-nilai iman Kristiani dan memperjuangkan aspirasi umat Katolik.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ini mengatakan, melalui konvensi, track record, serta interview yang mendalam, ranking para politisi bisa terlihat secara objektif. pada lingkup ini, Vox Point dapat berperan dalam memberi rekomendasi dalam menyiasati penumpukan nama orang Katolik di dapil yang sama. “Kalau kita bisa salurkan, meski kira-kira satu paroki itu sekitar 3000 pemilih, kan lumayan ditambah dengan beberapa yang lain. Jangan kita sudah kecil, suaranya terbagi-bagi, ada gesekan, musuhan lagi,” katanya.
Handojo yakin, meski kecil, orang Katolik sebenarnya bisa bersinar terang. Ia tak memungkiri, sebagian orang berpendapat kalau ingin menjadi wakil rakyat bukan umat Katolik saja yang dipikirkan. Namun, lebih jauh, kata Handojo, Vox Point bertujuan untuk meningkatkan partisipasi umat Katolik dalam kehidupan sosial politik Indonesia. “Bagaimana memberdayakan umat Katolik ini untuk ikut berpolitik, itu tugas perutusan kita,” katanya menjelaskan.
Menurut Handojo, pengaruh polarisasi atau koalisi antarpartai yang terjadi di luar pun bisa dijaga. Hal ini agar interaksi internal dapat berjalan secara baik dan ber etika. Ia berpendapat, iman Katolik akan menjadi semangat sehingga semua berupaya mempersatukan.
Kaderisasi Konkrit
Dalam upaya peningkatan partisipasi ini, Handojo menyebut Vox Point mempersiapkan beberapa tahapan kaderisasi yang dimulai dengan Ajaran Sosial Gereja. Vox Point juga menyelenggarakan rekoleksi politik dan memberikan wawasan kebangsaan sebagai bagian dari upaya kaderisasinya. Vox Point juga menginisiasi diskusi politik yang digelar sebulan sekali. Diskusi ini untuk mengedukasi kaderkader Katolik, dengan mengundang berbagai narasumber, lintas iman dan lintas partai. “Kaderisasi adalah kebutuhan mendesak saat ini,” ujar Handojo.
Namun, keterlibatan umat Katolik, menurut Handojo, sangat susah. Ia membayangkan, semakin banyak orang Katolik yang terlibat, maka akan dihasilkan semakin banyak kader. Ia pun menyayangkan kurangnya antusias anak muda Katolik dalam dunia politik. “Muda-mudi Katolik begitu ringan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seputar altar. Tidak salah. Tetapi, begitu politik, sepi peminat,” keluhnya.
Hingga saat ini, Vox Point sudah mempunyai 11 wilayah provinsi (DPD) dan 31 kota/ kabupaten. Menurut Handojo, kehadiran Vox Point disambut baik oleh hierarki Gereja. Handojo mengatakan maksud kehadiran Vox Point di seluruh Indonesia adalah untuk lebih mempunyai daya saing. Sehingga, ketika pemerintah mendengar Vox Point bersuara, bukan semata suara Vox Point Keuskupan Agung Jakarta. Melainkan, komunitas dengan basis yang kuat dan tidak bisa disepelekan.“Kekuatan kita di negara ini hanya 7,5 sampai 10 juta. Kalau jadi Parpol, begitu voting ya kalah.”
Handojo mengatakan struktur Vox Point terdiri atas orang-orang yang datang dari lintas partai; tidak memungkinkan untuk menjadi partai baru. Bahkan, melihat ada orang Katolik di NTT yang bergabung dengan partai Islam. Ia mengatakan, di situlah orang Katolik menjadi terang dan garam dunia. Di situlah peran Vox Point memberi kan masukan dan pengetahuan, membuat iman Katolik semakin kuat. Sehingga, ada di partai mana pun bisa survive. “Saya lebih bangga kalau Vox bisa mewarnai semua Parpol, daripada Vox menjadi partai,” tegas Handojo.
Handojo mendorong, Vox Point berfokus pada apa yang menjadi dasar berdirinya. Ia mau, Vox Point konsisten, fokus, dan bisa bersama dengan organisasi lain, membangun Gereja dan bangsa. Ia juga mengajak umat Katolik untuk bersatu, sebab rintangan yang di hadapi Gereja dan bangsa kini, tidaklah ringan.
Yohanes Handojo Budhisedjati
TTL : Semarang, 16 Maret 1956
Pendidikan : SMA Loyola Semarang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Pengalaman Organisasi : Forum Masyarakat Katolik Indonesia, SUDARA, Perduki, Apindo, dan Vox Point
Publikasi : Mengelola Negara adalah Mengela Manusia.
Hermina Wulohering