HIDUPKATOLIK.com – Ia adalah biarawati SSpS asal Indonesia pertama yang bermisi di Rusia. Sejak kecil, ia berdoa demi pertobatan negara komunis, salah satunya Negara Beruang Putih itu.
Mampir seperempat abad Suster Mariani Wisang SSpS berada di Rusia. Ia menjejakan kaki pertama kali di Negeri Beruang Putih sejak 1994. Boleh dibilang sepertiga masa hidupnya telah berlalu bersama musim-musim yang datang dan berganti di negeri yang terkenal dingin ini. Berbicara tentang rintangan dalam bermisi, situasi-situasi yang menakutkan, hingga nyawa terancam sekalipun, semua ia hadapi dengan ikhlas, dengan iman yang selalu menolongnya untuk memahami semua yang tak terselami dengan budi.
Misi, menurut Sr Mariani, sapaannya, bukan soal nyali untuk menaklukkan rintangan. Juga bukan soal seberapa kuat seseorang bertahan di tengah ancaman-ancaman. Misi, sergahnya, adalah penyerahan diri tulus dan total, dengan tahu dan mau, juga dengan rasa takut yang sangat manusiawi. Dalam situasi yang secara akal sehat tak ada harapan, ia berserah kepada Tuhan, dengan iman dan keraguan yang kerap berbarengan.
Arti Kehidupan
Sebelum terbang ke Negeri Putin, Sr Mariani bermisi di Filipina. Hal pertama yang harus ia kuasai adalah berenang. Sebab, medan kerasulan biarawati dari Kongregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus (Congregatio Missionalis Servarum Spiritus Sancti/SSpS) ini berlangsung dari pulau ke pulau. “Jika terjadi sesuatu di laut, setidak-tidaknya saya bisa menyelamatkan diri,” ujarnya seraya tersenyum.
Sr Mariani menggunakan speedboat milik paroki saban turne ke berbagai wilayah. Tak hanya mengunjungi umat, ia juga menggunakan sampan cepat untuk berkunjung ke keuskupan tiap bulan. Bahkan untuk pergi ke pasar belanja bulanan pun, ia menggunakan moda transportasi andalan itu.
Angin besar, ombak tinggi, serta gelombang ganas yang mengombang-ambingkan perahu yang ditumpanginya menjadi kisah yang hampir selalu mengisi catatan perjalanan dan karyanya ke pelosok.
Ada satu pengalaman yang diingat Sr Mariani hingga kini. Alkisah, ia bersama satu koleganya asal Filipina menumpang speedboat ke pasar. Tiba di tengah laut, gelombang besar menghantam tubuh perahu mereka berkali-kali. Wajah Sr Mariani pucat. Seluruh tubuhnya dingin dan lemas. Ia menutup mata, tak ingin melihat hal buruk terjadi nanti. Di tengah situasi genting itu, tiba-tiba rekannya meminta air berkat di dalam botol di tasnya. Air berkat itu ia tumpahkan ke laut. “Ombak sekonyong-konyong menjadi tenang,” kenangnya, takjub.
Sr Ruth Fidelis, nama rekannya, meminta Sr Mariani membuka mata. Setelah itu, ia juga memintanya melihat ke berbagai penjuru mata angin. Kapal motor berjalan tenang, gelombang laut pun reda, ujar Sr Mariani, mengingat kejadian kala itu.
Selama berada di negeri berjuluk Lumbung Padi itu, Sr Mariani tinggal di Dinagat, Filipina Selatan. Biara yang ia tempati beratapkan alang-alang dan berdinding papan. Suster pemimpin komunitas mengingatkan, jika ada topan biarkan jendela-jendela terbuka. Suatu hari, hujan turun amat deras. Angin berhembus hebat. Atap biara terenggut. Banyak rumah warga luluh-lantak diterpa badai.
Begitu semua reda, Sr Mariani bersama para suster pergi ke pantai. Mereka membantu evakuasi. Anehnya, pada situasi seperti itu, ia sempat melihat orang-orang bermain gitar dan menyanyi. Seakan tak terjadi apa pun di sana. Ia kemudian menyadari, di tengah hujan dan badai kehidupan, harapan tak boleh kandas. Asa harus selalu ada untuk bangkit dari keterpurukan. “Saya belajar memaknai kehidupan dari mereka yang terkena musibah,” ujarnya.
Tak Sendiri
Pada Oktober 1993, Sr Mariani bersama rekannya asal Filipina diutus ke Rusia. Mereka masuk ke Negara Putin lewat Slovakia. Musim dingin baru saja mulai kala itu. Iklim seperti itu baru pertama dialami Sr Mariani. Siang amat singkat, dan malam begitu panjang di sana. Pohon-pohon tidak berdaun.
Di Ivanka, Pri Nitre, Slovakia, pohon-pohon itu terkesan sedang beristirahat. Situasi ini mengajarkan Sr Mariani tentang arti diam, menanti penuh harapan, dan mengosongkan diri untuk mempelajari hal-hal baru dari negara-negara yang ia datangi.
Pada 26 Februari 1994, ia tiba di Moskwa. Suasana komunis masih mewarnai langit malam di kota itu. Dua kali seminggu, Sr Mariani mempelajari bahasa di sana. Abjad-abjad Rusia membuatnya bingung. Moskwa tahun 1990-an dengan Moskwa saat ini amat jauh berbeda. Kala itu, ia tak pernah menemukan satu kata pun dalam huruf Latin. Pada masa itu juga, sulit menemukan orang setempat yang bisa berbahasa Inggris.
Di tengah kesulitan seperti itu, ia belajar untuk terbuka dan rendah hati. Sr Mariani mesti membuka diri untuk diisi dengan budaya, situasi, dan lingkungan yang amat berbeda dengan negara asalnya, atau juga dengan Filipina yang sudah akrab. Ia dituntut menjadi lebih rendah hati seperti seorang anak kecil yang mulai belajar berbicara.
Sepuluh bulan kemudian, ia memberanikan diri untuk berkatekese kepada umat. Jadwalnya dua kali dalam sepekan. Jumlah umat yang ikut pada saat itu tak lebih dari hitungan jari tangan. Hal amat menarik dan menguatkan Sr Mariani adalah, meski terbatas bahasa dan pemahaman situasi di sana, minoritas dan simpatisan Katolik sangat terbuka terhadap ajaran-ajaran Katolik.
Mereka, pujinya, sangat mencintai Bunda Maria. Mereka sangat antusias menghadiri katekese di gereja atau secara terbatas di gedung-gedung teater yang disewa. Selain itu, mereka menggunakan apartemen untuk berkatekese setelah mendapat izin dari uskup setempat. Rupanya minoritas Katolik itu adalah hembusan angin penghiburan di tengah situasi sulit yang meliputi misi di sana.
Ada juga kelompok antireligius di sana. Rusia sempat punya sejarah kelam terhadap kebebasan beragama. Sekitar 1930-an, misal, Katedral St Ishak di St. Petersburg pernah dijadikan museum antireligius. Situasi penolakan terhadap agama, sempat dialami Sr Mariani pada awal misinya di sana.
Ketika melihat biarawati berkerudung, kaum antireligius begitu mudah menunjukkan penolakan dengan berujar, “Setan-setan dari Barat!” atau juga “Opium dan racun masyarakat!” Bisa dirasakan, orang-orang di sekitar sulit menerima keberadaan mereka ditambah harus berjuang menyesuaikan diri dengan iklim dingin luar biasa hingga minus 40 derajat celsius.
Semua sudah berlalu. Sudah lebih dari 20 tahun silam ia mengawali karya perutusan di sana. Setiap mengenang berbagai pengalaman sulit, Sr Mariani yakin, ia tak sendiri di sana. Ia percaya Allah menyertainya.
Bertahan Berkarya
Pada usia yang terbilang tak lagi produktif, misionaris SSpS Indonesia pertama yang berkarya di Rusia itu memilih untuk tinggal di sana, di Tambov, di wilayah Selatan Rusia. Ia berkarya di tengah orang-orang Rusia, di tengah mahasiswa-mahasiswi Afrika atau orang-orang dari luar Rusia yang kini menjadi umat Paroki Salib Suci Tambov,
sekitar 458 kilo meter dari Moskwa.
Ia berkatekese, mengunjungi dan melayani umat lanjut usia, serta memberikan makanan kepada orang-orang jalanan. Semua yang dilihat dan dirasakan oleh Sr Mariani hingga kini seperti impian masa lalu. Saat masih kanak-kanak di Ruteng, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, sang ibu senantiasa mengajarinya membaca Kitab Suci. Selain itu, Ibu juga mengajak Mariani untuk berdoa demi pertobatan negara-negara komunis, Rusia khususnya.
Meskipun, ia mengakui, sempat perang batin ketika menerima perutusan ke negara itu. Ia takut dan cemas karena paham komunis sempat tumbuh subur di sana. Tetapi dalam kondisi seperti itu, Sr Mariani melakukan discernment dan berpaling pada masa kecil, ketika sering berdoa untuk pertobatan Rusia dan negara-negara komunis lain.
Milto Seran