HIDUPKATOLIK.com – Suami saya bekerja di sebuah kapal pesiar. Jadwal kerjanya dua bulan di laut dan sebulan di darat. Praktis jika dia bekerja, saya sendirian di rumah. Saya sering kesepian jika tak ada suami di rumah. Kenyataan seperti ini akan terus berlangsung entah sampai kapan. Saya sudah memintanya untuk bekerja di darat, tapi mencari pekerjaan pada zaman sekarang itu sulit. Belum lagi kompensansi yang didapat. Tapi, apa artinya hidup berkeluarga kalau kami jarang bersama? Apa yang harus saya lakukan untuk menghilangkan kecemasan dan menghibur diri dalam kesepian?
Gabriella Aninda, Surabaya
Ibu Gabriella, saya sangat bisa merasakan kecemasan dan kesepian Anda karena ditinggal suami yang bekerja di sebuah kapal pesiar. Anda merasa, bahwa kehidupan perkawinan Anda tak berarti karena jarang bersama. Percayalah, Anda tak sendiri. Banyak istri yang sangat merindukan kebersamaan dengan suami tercinta, karena suami harus pergi lama untuk bekerja di pulau atau daerah lain di Indonesia atau bahkan di negara lain.
Sebelum kita bersama-sama membahas persoalan Anda, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda. Ketika Anda memutuskan untuk menikah dengan pasangan, apakah Anda sudah tahu sebelumnya, bahwa ia bekerja di kapal pesiar dan memikirkan konsekuensinya? Atau apakah pekerjaan tersebut baru ditekuni setelah menikah?
Dari persoalan Anda di atas, tampaknya sumber kecemasan dan kesepian Anda ada pada pikiran yang terfokus pada kejadian pada masa mendatang dan masa lampau, sehingga pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul: “kenyataan ini akan berlangsung sampai kapan?” dan “Apa artinya hidup berkeluarga kalau kami jarang bersama”, “Seandainya suami saya tidak bekerja di kapal pesiar…” atau “Kalau saja saya tidak menikah dengan seseorang yang bekerja di kapal pesiar…”
Sebaiknya Anda bersikap realistis dan fokuskan pikiran Anda pada situasi saat ini. Semakin Anda bersikeras untuk memikirkan pertanyaan-pertanyaan terkait masa lampau dan masa mendatang, maka akan semakin tinggi kecemasan dan kesepian Anda.
Hal kedua yang juga sangat mendasar untuk menghilangkan rasa sepi dan cemas, adalah membuat kesibukan. Langkah itu berupa bekerja untuk memperoleh penghasilan tambahan–baik di kantor sebagai karyawan atau di rumah untuk menghasilkan produk barang atau jasa. Menurut pendapat saya, daripada Anda berpikir keras bagaimana menghilangkan kesepian dan kecemasan karena suami pergi lama, bukankah lebih baik Anda mengisi hari-hari Anda dengan berbagai kesibukan yang berguna bagi diri atau orang lain di sekitar Anda?
Mungkin Anda bisa menulis buku yang memberi inspirasi bagi orang lain. Anda bisa memasak atau membuat kue, sehingga membantu orang lain yang tidak sempat memasak, dan menjadi tambahan pendapatan bagi keluarga. Anda juga bisa mengembangkan bakat dan hobi dalam bidang melukis, menyanyi atau menari.
Saat ini tempat untuk menyalurkan hobi banyak tersedia di lingkungan kita. Pelayanan di paroki juga sebuah bentuk konkrit untuk mengatasi kesepian Anda. Ketika suami Anda pulang dan mengetahui bahwa istrinya dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, yang berguna bagi orang di sekitar, ia pasti sangat bangga. Siapa tahu ketika usaha Anda berkembang, ia berhenti dari pekerjaannya di kapal pesiar, dan memilih membantu usaha istrinya di rumah.
Hal ketiga yang sangat penting adalah sikap berserah diri. Sering terjadi kecemasan akan sesuatu yang akan terjadi pada masa depan, tidak terbukti atau tidak sungguh terjadi. Demikian pula dengan situasi Anda. Saya sangat menghargai bahwa Anda berkeluh kesah di rubrik ini, dan meminta pertolongan umat seiman dalam Gereja Katolik untuk membantu memecahkan rasa kesepian dan kecemasan Anda.
Berserah diri kepada Allah Bapa di surga dengan berdoa untuk meminta kekuatan dan pendampingan-Nya, merupakan hal yang sangat menenangkan. Percayalah bahwa doa untuk memohon pendampingan Tuhan merupakan salah satu cara berserah diri yang sangat ampuh untuk mengurangi kecemasan Anda. Salam dan doa dari saya untuk ibu.
Clara Ajisuksmo