web page hit counter
Kamis, 26 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Oase di Tengah Gersang Kota

1.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – KH. Nasaruddin Umar ingin Istiqlal menjadi tempat berteduh untuk semua, hal itu juga ia harapankan terjadi dengan Katedral Jakarta.

Menyongsong Tahun Persatuan, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) mengundang Imam Besar Masjid Istiqlal KH. Nasaruddin Umar untuk memberikan kuliah singkat soal kebhinekaan dari perspektif Islam di Aula Katedral Jakarta, Rabu, 7 Februari 2018. Berikut hasil transkrip bahan kuliah singkat Nasaruddin Umar:

Ketika saya di Amerika Serikat (AS), saya masuk ke gereja dan saat itu adzan. Saya sholat di situ dan tidak ada pastor yang menegur saya. Bagi saya, itulah toleransi. Setelah ditunjuk menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal, saya ingin Istiqlal tidak terkontaminasi oleh satu kelompok tertentu karena Istiqlal seperti oase di tengah kegersangan kota Jakarta. Maka itu, siapapun bisa berteduh di sana.

Harapan yang sama juga dengan Gereja Katedral, bahwa siapapun bisa masuk ke Katedral tanpa gelisah. Saya mengatakan Katedral dan Masjid Istiqlal menjadi oase agar menetralisir setiap tensi politik, kepentingan pribadi, dan aksi-aksi intoleransi di ibukota. Tempat-tempat ibadah ini berada di tengah kota besar agar bisa menjadi oase toleransi bagi nafsu kuasa.

Bahasa Agama
Saya ingin menyampaikan satu harapan terkait kehidupan beragama saat ini. Bagi saya, peranan tokoh-tokoh agama dalam rangka mempersatukan bangsa ini sangat penting. Kepada pemerintah saya selalu mengatakan, bila ingin mempersatukan bangsa dan partisipasi masyarakat aktif, maka harus menggunakan bahasa agama. Dalam banyak peristiwa, bila bahasa agama dipakai untuk menolak program pemerintah, maka lumpuhlah pemerintah. Sebaliknya bila bahasa agama dipakai untuk menggolkan program pemerintah, maka pasti didukung oleh segenap masyarakat.

Jadi, jangan pernah bermain-main dengan bahasa agama sebab bahasa agama sangat berwibawah di kalangan masyarakat. Karena itu, hati-hatilah berbicara sesuatu yang menggunakan bahasa agama.

Mengapa bahasa agama sangat penting? Saya teringat, zaman pemerintahan Presiden Soeharto, ada program Keluarga Berencana. Program ini bertujuan menurunkan jumlah penduduk. Tetapi progam ini tidak melibatkan para ulama, pastor, dan tokoh agama lainnya. Hasilnya tidak ada, bahkan angka kelahiran makin bertambah. Nah, begitu pemerintah pinjam mulut para ulama, pastor, dan tokoh agama lainnya, tahun berikutnya Pak Soeharto mendapat penghargaan PBB karena mampu menurunkan jumlah penduduk di Indonesia. Ada hal menarik, bahwa bila kita tidak menggunakan bahasa agama, maka tokoh sehebat apapun tidak akan didengarkan.

Baca Juga:  Betlehem: Identitas Diri bagi “Pastor”, Ancaman untuk “Rex”

Agar bahasa agama itu tidak keliru, maka perlu dirawat supaya tidak dicaplok begitu saja oleh kelompok-kelompok tertentu, yang hanya menumpang di negeri kita. Sebab tren zaman ini adalah ada orang yang bukan tokoh agama, tetapi coba-coba berbicara bahasa agama karena kepentingan politik. Ini bisa mencemarkan bahasa agama karena lepas konteks. Bila yang menggunakan itu adalah tokoh-tokoh agama, pasti tidak akan salah. Di Indonesia saat ini, terutama dalam Islam, banyak orang yang tidak representatif dan mencoba berbicara hadits, ikut-ikutan nyomot ayat-ayat Alquran. Boleh berbicara ayat Alquran dan hadits tetapi belajarlah dulu.

Berbicara soal tokoh agama, saya ingin mengubah pola pikir banyak orang. Ketika kerusakan lingkungan, kebakaran hutan, longsor, dan sebagainya semua tokoh agama tidak diajak berbicara. Mereka baru diajak berbicara setelah situasi sosial itu terjadi. Mereka tidak pernah dilibatkan untuk menyelesaikan atau membuat terobosan sendiri. Kalau mau fair, pemerintah harusnya tidak saja melibatkan tokoh-tokoh agama untuk menyelesaikan akibatnya tetapi juga menyelesaikan darimana sumber akibat tersebut.

Maka saat ini perlu juga menyaring tokoh-tokoh agama yang bisa melihat situasi ini. Syukurlah di Majelis Ulama Indonesia tidak saja didominasi oleh ahli bahasa Arab tetapi ada juga insinyiur, dokter, dan banyak tokoh lainnya. Dengan begini, kita berharap ditengah keberagaman tokoh agama ini tidak gampang lagi dibodohi oleh pemerintah.

Kata Maaf
Pada kesempatan ini juga, saya perlu minta maaf kepada saudara-saudari beragama lain, kalau umat Islam seringkali menganggu ketentraman dalam beragama. Saya sendiri juga merasa tidak sreg seperti yang dialami saudara-saudara. Karena Indonesia bukan negara milik Islam saja, tetapi dihuni oleh agama lain juga. Paling penting adalah perlu membangun dialog bahkan perlu semacam komunitas dialog, seperti yang terjadi saat ini dimana beberapa tokoh agama yang mencoba berbicara demi Indonesia damai.

Baca Juga:  Kisah Natal yang Hangat : Kesederhanaan Natal Menginspirasi Mereka untuk Melihat Kasih Kanak-kanak Yesus dalam Diri Sesama

Soal dialog damai ini, saya selalu berkata jangan hanya membiasakan diri pada satu kitab suci saja. Siapapun yang hanya membaca satu kitab suci tanpa memahami kitab suci yang lain berpotensi “masuk angin”. Bila kita memahami kitab suci yang lain maka potensi pengetahuan kita sangat besar. Kita bisa mengerti ternyata di Alquran ada Moses dan di Alkitab ada Musa. Di sana ada Solomon, disini ada Sulaiman. Di sini Hawa, disana Eva. Begitupun Abraham dalam Kristen dan Ibrahim dalam Islam.

Jadi kehadiran saya ditempat ini tak lain agar ada hubungan baik antar tokoh-tokoh agama di Indonesia. Sama seperti sewaktu saya ke Vatikan bertemu almarhum Paus Yohanes Paulus II, saya merasa terhormat bisa diterima. Setiap kali ke Italia, saya selalu mampir ke Basilika dan disana ada suatu yang berkesan bagi saya. Berbicara soal Basilika St Petrus, saya tidak pernah lupa Paus Yohanes Paulus II. Saya juga rindu Paus Yohanes ke XXIII dan Yohanes Paulus ke VI saat Konsili Vatikan II. Mengingat dua figur ini, saya ingat almarhum Abdurahmman Wahid (Gus Dur). Pesan yang kuat dari dua Paus ini adalah, “Kita harus membuka jendela supaya kita bisa melihat keluar dan orang bisa melihat ke dalam.” Bila selama ini kita belum membuka diri maka inilah saatnya.

Saya usulkan agar di sekolah-sekolah, mungkin bukan pendidikan perbandingan agama tetapi pendidikan berbasis toleransi, yaitu pengenalan agama. Pengenalan agama ini mulai dari sejak Sekolah Kanak-kanak, agar mereka mengenal, bahwa ternyata tidak saja satu agama di dunia. Ada kebenaran lain di luar agama mereka.

Sebab bila hanya mengajarkan soal agama yang dianut sang anak, maka pasti jatuh pada agamaku yang paling baik dan benar dan agama kalian salah. Guru-guru agama di sekolah bisa memberi pemahaman, bahwa silakan pelajari agamamu sendiri, yakinlah akan ajaran dan akidahnya, tapi ingat ada juga kebenaran di tempat lain. Sebab kalau tidak, maka hiduplah benihbenih doktrinisasi terhadap anak-anak untuk membenci agama lain.

Baca Juga:  Kardinal Suharyo: Tahun Suci 2025, Pembukaan Pintu Suci Hanya Simbol

Jembatan Perbedaan
Bagi saya agama itu adalah agama kemanusiaan. Agama bukan agamanya Allah sebetulnya. Agama itu untuk manusia. Sekalipun kita membuat seluruh manusia menjadi iblis, Allah tidak akan berkurang ketuhanannya. Sekalipun kita menjadi malaikat pun tidak akan bertambah ketuhanannya juga. Jadi agama itu bukan untuk Allah tetapi untuk manusia.

Dalam beberapa kesempatan saya sering mengatakan, kemanusiaan itu tidak ada mereknya. Mau pakai merek apapun, there’s only one which is humanity. Mau bicara tentang apapun, kalau bicara soal kemanusiaan maka lupakan agamanya, lupakan warna kulitnya, lupakan jenis kelaminnya, dan lupakan identitasnya. Keyakinan yang saya yakini bahwa kemanusian itulah yang akan menjembatani seluruh perbedaan. Nah ini agak berat, tapi harus dimulai kalau tidak kita semua akan hancur. Bila melihat terminologi kata Islam dalam bahasa Arab berarti damai sejahtera. Jadi bila ada orang Islam mengatasnamakan agama Islam melakukan kekerasan, itu tidak bisa. Tidak boleh agama ditempelkan dengan kekerasan apapun, atas nama apapun, dan siapapun.

Kongkritnya bisa dilihat saat shalat dimana orang Islam mengucapkan kata Allahu Akbar. Kata ini berarti angkat tangan, tanda pasrah- kita berserah kepada Allah. Saya berulang kali menjelaskan kepada umat Islam bahwa konsekwensi menyebutkan Allahu Akbar adalah untuk membesarkan Dia bukan diri sendiri. Kata ini mengantarkan kita pada keikhlasan. Tidak salah bila saya mengatakan jembatan Allah itu adalah ikhlas dan tidak mungkin bisa bertemu Allah kalau tidak ikhlas. Maka kita perlu ikhlas agar jembatan silahturahmi tetap berjalan.

KH Nasaruddin Umar MA, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles