HIDUPKATOLIK.com – Refleksi sengsara Yesus di Kolosseum menjadi milik orang muda, mereka membantu dunia merenungkan misteri keselamatan.
Hari Jumat Agung 30/3, kompleks bangunan ikonik Koloseum, Roma sudah ditutup dari kunjungan turis. Pasalnya pukul 21:00 malam Paus Fransiskus akan memimpin Via Crucis (Jalan Salib), tradisi tahunan yang telah dimulai sejak masa kepausan Benediktus XIV tahun 1750.
Pukul 18.00 tampak banyak orang sudah mulai antre memasuki kompleks dengan melewati dua check point yang ketat. Rintik hujan musim semi tidak menghalangi para pendoa memasuki kompleks. Hujan reda tepat 15 menit sebelum Via Crucis dimulai dan tidak ada setetes hujan pun yang turun sampai selesai 23:00.
Tepat pukul 21:05 Paus muncul di podium utama yang diletakkan di pelataran Kuil Venus dan Roma yang berhadapan dengan Kolosseum. Di masa lampau, Paus sendirilah yang membawa salib dan memimpin doa dari satu perhentian ke perhentian lain. Namun beberapa tahun terakhir ini Via Crucis menjadi semakin istimewa yang melibatkan banyak kalangan dari pelbagai usia, negara dan latar belakang. Tahun ini para pengusung salib termasuk Uskup Agung Angelo Donatis, Vikjen Keuskupan Agung Roma, satu keluarga Syria beranggotakan lima orang, beberapa Suster Dominikan dari Irak dan beberapa rahib Fransiskan asal Yerusalem.
Umumnya refleksi dan meditasi atas ke-14 perhentian pun disiapkan atas permohonan Paus. Terkadang, Paus meminta kardinal, uskup, teolog atau Paus sendiri mempersiapkannya. Namun tahun 2018 ini menjadi milik kaum muda. Ke-14 meditasi disiapkan oleh 14 anak muda. Sembilan dari mereka adalah mahasiswa Luceum Pilo Albertelli di Roma yang dikoordinir Andrea Monda.
Andrea Monda mengungkapkan, orang muda ini dipersiapkan lewat tiga metode: seeing, encountering, dan praying. Mereka diberikan teks Injil yang menceritakan sengsara Yesus untuk dibaca, direnungkan, dan diberikan kesempatan hadir di setiap perhentian. Lalu dalam setiap pertemuan dengan pembimbing, mereka membagi pengalaman pribadi atas apa yang paling menyentuh.
Pada perhentian IX, Greta Sandri menulis meditasinya yang indah dan menyentuh. “Saya melihat-Mu, Yesus, segalanya dilucuti. Mereka ingin menghukum-Mu, orang yang tidak bersalah, dengan memakukan-Mu ke kayu salib. Apa yang akan saya lakukan di tempat itu? Beranikah aku untuk mengakui kebenaran-Mu, dan kebenaranku? Engkau memiliki kekuatan untuk menanggung beban salib, untuk bertemu dengan ketidakpercayaan, untuk dihukum akibat kata-kata-Mu yang dipandang menghasut. Dewasa ini, kami hampir tidak bisa menerima komentar-komentar kritis, seolah-olah setiap kata dimaksudkan untuk menyakiti kita.”
“Saya melihat sekeliling dan saya melihat semua mata tertuju ke layar telepon genggam, orang-orang mengintai jaringan sosial untuk memaku orang lain atas setiap kesalahan mereka, tanpa kemungkinan untuk mengampuni. Orang dikuasai oleh kemarahan, meneriakkan kebencian mereka satu sama lain karena alasan yang sia-sia.
Menutup Via Crucis, Paus berdoa agar Tuhan menganugerahkan rahmat “rasa malu” atas dosa-dosa manusia agar manusia bertobat dan memohon rahmat pengampunan dan harapan agar cinta Allah lebih kuat dari kematian. “Di hadapan cinta luhur-Mu, rasa malu telah melingkupi kita karena telah meninggalkan Engkau menderita demi dosa-dosa kita. Malu karena lebih memilih Barabas dan bukan Engkau, kekuasaan dan bukan Engkau, penampilan dan bukan Engkau, pendewaan uang dan bukan Engkau, keduniawian dan bukan Engkau,” tutup Paus.
Pastor John Mitakda MSC (Roma)