HIDUPKATOLIK.com – Kerapian, kebersihan, dan ketertiban Margasiswa kerap menjadi sorotan.
Berbagai model dan merek kendaraan melesat di sepanjang Jalan Samratulangi, Menteng. Hilir-mudik kendaraan di dua jalur itu nyaris tak putus. Arus lalu-lintas di salah satu kawasan elite Jakarta siang itu, Selasa, 20/2, amat bersahabat. Kendaraan roda dua atau empat dapat melaju lekas di tanah beraspal itu.
Banyak pohon berdiri pongah di kawasan tersebut. Sejumlah tumbuhan berukuran raksasa masih banyak ditemui di bahu jalan. Meski hari terik sekali pun, pancaran matahari tak sampai menyengat setiap pengendara atau pejalan kaki di bawahnya. Di daerah itulah, di Jalan Samratulangi nomor 1, “markas” Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Pusat dan Cabang Jakarta Pusat berdiri.
Pohon asam, pohon cupang, dan pohon tanjung menjulang tinggi di pintu masuk. Barisan pohon itu seakan menyambut kedatangan tiap pengunjung. Dari pintu masuk, orang langsung berhadapan dengan sebuah bangunan berkelir putih dan bersih. Di bagian muka gedung itu ada tulisan berwarna merah marun, Margasiswa I Yayasan Margasiswa.
Lagi Bersolek
Tak hanya aula, beberapa bangunan di atas tanah sekira 1.250 meter persegi lagi bersolek. Tembok-tembok di sejumlah ruangan masih terlihat cerah. Tak ada noda yang mencumbu dinding sejumlah ruangan di sana. Dari luar, bangunan itu tampak indah. Namun tidak untuk bagian dalam bangunan yang digunakan oleh Dewan Perwakilan Cabang (DPC).
Buku-buku menumpuk tak beraturan di atas lantai. Posisi meja kerja miring dan penuh dengan berbagai perkakas. Lantai dan ruangan itu tampak kusam. Suasana itu membuat ruangan terkesan muram. Seseorang yang berada di dekat bangunan itu berdalih karena sedang renovasi. Namun ruangan lain yang persis berada di belakang aula, kondisinya hampir serupa, berantakan. “Lantai atas ruangan ini untuk tidur,” kata seorang pengurus DPC.
Masuk ke kamar mandi yang menjadi satu dengan closet harus melangkah hati-hati. Lantai yang sedikit berwarna kuning, agak berlumut, rada licin. Air dari kran kamar mandi keluar irit. Air di dalam bak terlihat keruh. Menurut Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI yang baru terpilih, Juventus Prima Yoris Kago, setiap satu minggu sekali Margasiswa dibersihkan bersama-sama.
Di sebelah kamar mandi ada satu ruangan. Di ruangan berukuran sekitar tiga meter persegi itu ada satu orang sedang tertidur. Saat masuk ke dalam aula, persis di samping pintu keluar-masuk, ada satu ruangan berkaca. Lampu di ruangan tersebut padam. Dari luar ruangan terlihat seberkas cahaya. Rupanya ada satu orang di sana. Sambil rebah, ia membuka telepon genggam. Rupanya, cahaya tadi berasal dari layar alat komunikasi itu.
Di samping bangunan yang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto, pada 11 Maret 1990, terdapat lorong. Gang itu menghubungkan antara bagian belakang aula dengan dengan pelataran Margasiswa. Di dekat lorong tersebut berdiri pancang jemuran. Pakaian yang tergantung di jemuran itu tak ditata rapi oleh sang pemilik. Jika pintu lorong itu terbuka, pengunjung bisa langsung melihat jemuran.
Persis di samping pintu lorong, jika pengunjung memalingkan wajah ke sisi aula ada puluhan botol. Puluhan botol bir itu mengemper di atas tanah. Kata seorang alumni PMKRI, pada masanya dulu, jika ada acara di Margasiswa, mereka pernah membawa bir dari luar dan minum bersama saat pesta.
Tak Beda
Suasana “markas” di Samratulangi tak jauh berbeda dengan keadaan sekretariat PMKRI di sejumlah cabang, misal di Manado dan Palangkaraya. Mantan Komisaris Daerah Wilayah III Palangkaraya Dicky Ricardo Gultom dan Demisioner Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Manado Michelle Rompis mengakui, selain menjadi tempat kerja organisasi, sekretariat juga menjadi tempat bermalam untuk pengurus. “Tapi etika dan moral berlaku ketat di sana,” ujar Dicky.
Dicky menambahkan, selain pengurus kadang ada mahasiswa lain yang tak masuk dalam kepengurusan tidur di sekretariat. Tapi, sergahnya, orang itu merupakan mahasiswa aktif dalam kegiatan PMKRI. Tujuannya untuk memudahkan bila organisasi menggelar acara seperti rapat atau pertemuan untuk menjalankan kerja organisasi.
Demi menjaga kebersihan sekretariat, tambah pria berdarah Batak ini, ada jadwal piket setiap hari. Selain itu, mereka juga ada waktu kerja bersama ketika rumput mulai meninggi di sekitar sekretariat. “Sekretariat kami berdiri di atas tanah gambut sehingga rumput cepat tumbuh,” paparnya.
Kendati sekretariat memiliki dwi fungsi, Dicky dan Michelle bersyukur menjadi bagian PMKRI. Di ruangan tersebut, salah satunya, turut membentuk dan mendidik pribadi mereka menjadi “prajurit” Gereja dan Tanah Air. Ada manfaat yang mereka petik di sana. Dicky mengaku, keterampilan berbicara dan mengungkapkan ide kepada banyak orang didapatnya dari PMKRI. Sementara Michelle, dari organisasi itu ia belajar berorganisasi.
Meski demikian, tak sedikit orang yang mengerutkan dahi melihat kondisi sekretariat PMKRI. Persoalan kebersihan, kerapian, dan ketertiban Margasiswa kerap menjadi kritik umat di luar pagar bangunan itu. Tak ayal jika nada pesimistis terlontar dari mulut mereka, “merawat rumah sendiri saja kurang mampu, bagaimana mungkin merawat generasi muda bangsa?”
Saat Berbenah
Juve dengan lapang dada menerima kritikan tersebut. Ia pun mengakui pernah mendengar langsung masukan tersebut dari umat. Maka pada periode kepengurusannya, pembenahan internal organisasi, antara lain perihal itu, menjadi fokus utama kerja para pengurus. “Pembenahan internal itu nomor satu, salah satunya dimulai dari rumah, dari kebiasaan sehari-hari,” ujar mantan Ketua Presidium PMKRI Cabang Kupang ini.
Cita-cita mulia itu bisa terwujud asalkan seluruh anggota PMKRI, mulai dari pusat hingga cabang berjibaku mewujudkan impian itu. Kini, saatnya menjawab kritik umat dengan aksi nyata, berbenah. Langkah itu bisa dimulai dari lingkungan terdekat, yakni “rumah” sendiri. Jika “rumah” pribadi telihat apik, bukan tidak mungkin bakal banyak orang yang melirik dan masuk ke “rumah itu.
Yanuari Marwanto