HIDUPKATOLIK.com – Kehadirannya selalu dibanjiri lautan manusia. Gerak- geriknya selalu diawasi. Intimidasi tak menyurutkan semangatnya untuk terus mewartakan Kristus. Ia menapaki jalan kemartiran. Darahnya menyuburkan iman Gereja Polandia.
Pertemuan Serikat Buruh di Gereja Para Martir dan Orang Kudus Bydgoszcz, Polandia, usai. Hari itu, 19 Oktober 1984, hampir tengah malam. Sejumlah orang telah mengingatkan, bahkan menahan Pastor Jerzy Popieluszko agar menginap. Tetapi, Pastor Jerzy memilih pulang ke pastoran Paroki St Stanislaus Kostka Warsawa, di mana ia ditugaskan sebagai pastor paroki.
Permintaan untuk menginap bukan tanpa alasan. Sejak Pastor Jerzy terlibat dalam gerakan “Solidarność” (Solidaritas), gerak-geriknya selalu diawasi aparat pemerintah. Tahun sebelumnya, 1983, sedikitnya dua kali ia nyaris terbunuh dalam kecelakaan mobil, dua kali tempat tinggalnya disambangi perampok. Berkali-kali ia mendapat ancaman melalui telepon. Ia bahkan pernah mendapat kiriman bom tak aktif. Mobilnya dirusak. Selama Januari hingga Juli 1984, sudah 13 kali ia diinterogasi di kantor polisi atas tuduhan menggerakkan massa untuk berdemonstrasi dan memberontak.
Kehadiran Pastor Jerzy di antara para buruh membuat jajaran elit Partai Komunis gusar. Setiap ia merayakan Ekaristi, massa datang membanjiri karena khotbahnya menyentuh persoalan konkret umat, memantik movitasi dan optimisme. Ia tak segan mengkritik rezim komunis yang mengangkangi moralitas dalam menanamkan ideologinya.
Tetapi, sebaliknya, Pastor Jerzy juga mengkritik kaum buruh yang menggelar protes secara anarkis. Ia menaburkan benih- benih perjuangan dengan jalan damai, melawan tanpa kekerasan. Tetapi, justru karena itu, imam muda ini dianiaya dan dibunuh dengan keji.
Kemartiran
Pastor Jerzy pulang ke Warsawa bersama temannya, Josep. Saat mobil yang mereka kendarai memasuki wilayah Toruń, tampak mobil polisi menguntit. Beberapa kali polisi menyalakan lampu dim, memberi perintah agar menepi. Pastor Jerzy pun meminta Josef untuk berhenti. Awalnya Josef keberatan karena jalanan sepi dan gelap. Josef menghentikan mobil, karena Pastor Josep memaksanya.
Dari dalam mobil polisi, dua orang tanpa seragam polisi turun. Mereka menghampiri mobil Pastor Jerzy, lalu mencabut kunci. Polisi menggiring Josef ke dalam mobil polisi, lantas memaksa Pastor Jerzy keluar, dan memukulinya hingga roboh. Pastor Jerzy mengerang kesakitan, polisi tak berhenti menganiaya. Pastor Jerzy digelandang dan dimasukkan ke bagasi.
Mobil polisi melaju, Josef melompat meloloskan diri. Mobil terus melaju menuju pinggir Sungai Vistula. Imam muda itu kembali dianiaya tanpa belas kasih. Pastor Jerzy menumpahkan darah kemartirannya. Jenazahnya dibungkus plastik bening dengan tangan dan kaki terikat. Mereka membuang tubuh martir muda ini di bendungan sungai terpanjang dan terbesar di Polandia tersebut.
Kabar tentang hilangnya Pastor Jerzy segera beredar ke seantero Polandia. Dari Josef umat tahu bahwa Pastor Jerzy dianiaya. Ribuan umat berdatangan ke Gereja St Stanislaus Kostka. Mereka menyalakan lilin dan berdoa, hingga pada 30 Oktober 1984 jenazah Sang Martir ditemukan.
Sore hari, 3 November 1984, jenazah Pastor Jerzy dimakamkan di halaman Gereja St Stanislaus Kostka. Sekitar 250 ribu orang hadir, termasuk Lech Walesa, salah seorang pendiri Solidarność, yang enam tahun kemudian menjadi Presiden Polandia, dan menerima anugerah Nobel Perdamaian.
Josep menjadi saksi kunci dalam penyelidikan pembunuhan Pastor Jerzy, hingga akhirnya terbongkar teka-teki siapa para pembunuh itu. Mereka adalah tiga polisi rahasia Partai Komunis “Służba Bezpieczeństwa”, yakni Grzegorz Piotrowski, Leszek Pekala, dan Waldemar Chmielewski.
Menjawab Panggilan
Jerzy lahir di Okopy, Polandia, 14 September 1947, di tengah keluarga petani sederhana. Orangtuanya, Wladyslaw Popieluszko dan Marianna, hidup pas-pasan, namun peduli dengan pendidikan anaknya, terutama praktik kesalehan dan hidup rohani. Ibunya berperan penting dalam menumbuhkan nilai-nilai kekatolikan anaknya. Bersama putranya, tak pernah ia melewatikan hari tanpa doa. Semangat devosional dalam keluarga pun tumbuh subur.
Ketika Jerzy masih dalam kandungan, Marianna bernazar, bayi yang dikandungnya itu ia serahkan seutuhnya demi kemuliaan Tuhan dan Bunda Maria. Tanggal kelahiran putranya bertepatan dengan Pesta Salib Suci. Marianna merefleksikan hal itu sebagai simbol totalitas cinta dan pengorbanan Yesus pada umat-Nya. Ia berharap, anaknya dapat mencintai dan melayani Kristus secara total. Dalam setiap doanya, ia mohon agar anak menjadi imam yang setia melayani Tuhan.
Benih-benih panggilan Jerzy sudah nampak sejak dini. Ia sangat terpesona setiap kali melihat imam merayakan Ekaristi. Setiap pagi ia berjalan lima kilometer ke gereja, mengikuti Misa dan menjadi misdinar. Ia membayangkan kelak bisa memimpin Ekaristi sendiri.
Setamat SD, Jerzy mengutarakan niat untuk masuk seminari kepada ibunya. Namun ibunya menolak karena usianya yang masih sangat belia. Baru ketika lulus SMA, ia diizinkan masuk Seminari Menengah Niepokalanow dan melanjutkan sebagai calon imam di Seminari Tinggi Diosesan Warsawa. Pada 28 Mei 1972, ia menerima tahbisan imamat dari tangan Uskup Agung Gniezno, Kardinal Stefan Wyszynski (1901-1981). Ia memilih moto tahbisan: “Tuhan mengutusku mewartakan Injil dan menyembuhkan luka orang yang menderita.”
Selama 12 tahun karya penggembalaannya, Pastor Jerzy melayani beberapa paroki dan komunitas kategorial, antara lain Paroki Tritunggal Mahakudus Ząbki, Paroki Ratu Perawan Suci Polandia di Anin, Paroki Kanak-Kanak Yesus Zoliborz dan Paroki St Stanislaus Kotska Warsawa. Ia juga menjadi pembimbing rohani mahasiswa Paroki St Anna, Paguyuban Paramedis, Perserikatan Para Buruh Solidarność”, serta Res Sacra Miser dan House of Meritorious Medical Sevice Employee.
Hujan pujian
Karya pelayanan imam dan gembala Jerzy berakhir pada usia 37 tahun itu. Meski demikian, kehadiran dan karyanya mengesan di hati umat yang pernah ia layani. Beberapa film seperti “Watch to Kill a Priest” (1988) dan “Jerzy Popieluszko: Messenger of the Truth” (2013) mengisahkan riwayat hidupnya. Selain itu, drama berjudul “The Deliberate Death of a Polish Priest” juga menguak sosok inspiratif yang sederhana ini. Masih banyak lagi karya seni seperti musik, monumen, museum, dan patung yang didedikasikan untuk mengenang martir Polandia ini.
Pada 1997, dekrit keutamaan hidup Pastor Jerzy disahkan. Pada 2008, ia digelari venerabilis. Lalu, pada 19 Desember 2009, Paus Benediktus XVI mengesahkan beatifikasinya. Misa beatifikasinya digelar pada 6 Juni 2010 di Pilsudski Square, Warsawa, dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB.
Ibunda Jerzy hadir dalam beatifikasi buah hatinya. Pada kesempatan itu, ia menyatakan sudah memaafkan semua pembunuh putranya. Ia berharap, mereka bertobat. Pada Oktober 2013, Uskup Agung Warsawa, Kardinal Kazimier Nycz mengumumkan terjadinya mukjizat penyembuhan di Perancis lewat perantaraan Beato Jerzy. Ia optimis, peristiwa itu akan melapangkan jalan kanonisasi Beato Jerzy.
Yanuari Marwanto