HIDUPKATOLIK.com – Tragedi pembunuhan massal di Suai, Timor Leste pada September 1999 telah merenggut sedikitnya tiga nyawa imam: Romo Tarcisius Dewanto SJ, Romo Hilario Madeira, dan Romo Francisco Soares. Tragedi ini meninggalkan duka bagi umat, Gereja, Serikat Yesus, dan para rekan imam.
RP Y. Edi Mulyono SJ, yang waktu itu membantu JRS mengurusi pengungsi Timor Timur dan ikut ambil bagian dalam penggalian jenazah Romo Dewanto mengungkapkan, sebenarnya ada kesempatan bagi Romo Dewanto dan lainnya untuk meninggalkan Suai. “Namun Romo Dewanto memilih tetap bertahan dengan umatnya. Ia berkomitmen untuk tidak melarikan diri. Ia tetap tinggal dengan domba-dombanya,” tandas Romo Edi.
Merefleksikan kemartiran Romo Dewanto, Romo Edi mengatakan, sebagai seorang imam, kita harus berkomitmen dan setia dengan umat yang kita layani. “Bagi saya, setiap kali mengingat kisah pengorbanan Dewanto yang dibunuh di Timor Timur ini, saya ingat seberapa pun besar kesulitan kita dalam pelayanan, seberapa pun beban pelayanan kita di sini, dalam situasi normal tidak ada apa-apanya dibanding pengorbanan dan pelayanan Dewanto. Itu termasuk hal yang membuat saya kuat sampai sekarang, melayani orang-orang yang berkesusahan,” tutur Direktur Lembaga Daya Dharma (LDD) dan Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Jakarta ini.
Menurutnya, selain berkomitmen melayani, Romo Dewanto termasuk sosok sederhana dan punya semangat belajar tinggi. Penghayatan imamat dan kesaksian imannya ditunjukkan juga dalam ketaatannya pada pimpinan untuk melayani di Timor Timur, dan belajar Bahasa Tetun di Suai.
Maria Pertiwi
HIDUP, Edisi 41, 12 Oktober 2014