HIDUPKATOLIK.com – Membangun hidup berkeluarga merupakan suatu panggilan yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia. Setiap keluarga diajak untuk senantiasa menghadirkan wajah Allah yang penuh cinta kasih melalui peran dan tanggung jawab sebagai suami istri. Hal ini ditegaskan oleh ajaran Konsili Vatikan II: “cinta kasih itu secara istimewa diwujudkan dengan tindakan yang khas perkawinan” (Bdk GS 49). Berlandas pada itu, berkeluarga tidak boleh dipandang hanya sebatas kesepakatan untuk membangun kebersaman hidup demi mewujudkan kebahagian. Lebih dari itu, keluarga adalah tempat dan sarana bagi Allah, untuk menghadirkan diri-Nya dalam aneka pengalaman dan pergulatan hidup berkeluarga.
Berbagai masalah yang melanda kehidupan keluarga dewasa ini begitu kompleks. Perkembangan di berbagai bidang kehidupan sedikit banyak telah membentuk karakter dan identitas keluarga dalam mengarungi hidup sebagai satu komunitas basis. Mentalitas konsumtif menjadi ciri khas keluarga-keluarga modern. Kenyataan ini memperlihatkan bagaimana dunia modern dengan segala instrumennya telah memberi perubahan yang luar biasa terhadap seluruh aspek hidup keluarga. Hal ini tentunya menimbulkan keresahan dan kegelisahan tersendiri bagi Gereja selaku Tubuh Kristus yang hadir dalam dunia (GS 4).
Gereja tidak menutup mata atas fenomena modernitas ini. Gereja menyadari kemajuan yang terjadi dalam dunia adalah hasil kemampuan serta kecerdasan manusia dan kecerdasan itu diyakini sebagai rahmat yang dianugerahkan Allah bagi manusia. Masalahnya adalah ketika manusia berkontak dan mengalami perubahan, dia kerapkali tidak mampu menempatkan diri secara benar dan bijaksana dalam menyikapi setiap situasi yang tengah dialaminya. Ketidakmampuan ini pada akhirnya menimbulkan masalah yang pelik di mana modernitas secara perlahan-lahan menggerogoti setiap aspek kehidupan manusia, termasuk keluarga. Perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, sex bebas, bahkan sikap koruptif adalah rentetan masalah yang lahir dari kelemahan manusia, dalam menghadapi kuatnya arus modernitas.
Ditengah situasi ini, keluarga sebagai sel terkecil dari komunitas sosial hendaknya merefleksikan kembali makna serta arti terdalam dari panggilannya. Dalam rangka itu, dunia dengan segala kenyataannya harus dijadikan sebagai wadah untuk menemukan kehendak Allah atas hidup imannya. Keluarga memiliki peran sebagai nabi yang mampu membaca dan menafsirkan tanda-tanda zaman serta menyuarakan suara kenabian melalui sikap hidup dan tindakan-tindakan nyata. Perutusan keluarga sebagai nabi pertama-tama harus dimulai dari lingkup terkecil yaitu suami istri dan diwujudkan dengan tindakan memelihara nilai suci perkawinan.
Keluarga-keluarga “zaman now” terus-menerus ditantang agar senantiasa memiliki kemampuan untuk menghayati secara sungguh, nilai-nilai hidup perkawinan sebagai pilar dasar dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Arus modernitas kerapkali menjadi badai yang menghayutkan bahkan dapat menenggelamkan siapa saja saat pilar dasar itu tidak kokoh. Biduk rumah tangga yang baru seumur jagung atau bahkan bertahun-tahun diarungi bersama dalam suka maupun duka, bisa saja mengalami keretakan hingga hancur berantakan. Karena itu, peran dan tanggung masing-masing pribadi suami istri dalam menghayati nilai perkawinan sangat menentukan.
Di samping itu, pentingnya menjaga irama hidup dan kualitas iman sebagai umat Kristiani juga sangat membantu dalam memupuk nilai-nilai perkawinan. Harus diingat, kesucian perkawinan bersumber pada rahmat cinta Kristus yang diwariskan kepada Gereja dan diteruskan kepada manusia.
Keluarga melalui perutusannya sebagai rekan sekerja Allah, diajak untuk senantiasa menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pewarta Injil (kerygma) di tengah dunia. Tugas sebagai pewarta kemudian diwujudkan dengan sikap mendengarkan, menghayati, melaksanakan dan mewartakannya. Keluarga harus menjadi “Injil hidup” yang berbicara tentang bagaimana realitas manusia dewasa ini berhadapan dengan arus modernitas yang merasuki sendi-sendi kehidupan, sehingga pada akhirnya keluarga mampu meyalurkan rahmat cinta Kristus itu kepada sesama manusia.
Frater Ronalius Bilung MSF