HIDUPKATOLIK.com – Situasi Albania mengerikan saat dikuasai rezim komunis. Kendati begitu, negeri ini menjadi negeri para martir. Darah kemartiran menjadi pupuk bagi perkembangan Gereja.
Paus Fransiskus menangis. Momen itu terjadi ketika Kardinal Ernets Simoni menceritakan pengalamannya kala rezim komunis berkuasa di Albania (1944-1990). Kardinal Diakon dari Keuskupan Agung Shkodrë-Pult, Albania ini mengenang kejadian sekitar 70 tahun lalu, saat Paus mengikuti Ibadat Sore di Katedral St Paulus Tirana, Albania, Sabtu, 21 September 2014.
Kardinal Ernest diangkat sebagai Kardinal Diakon Santa Maria della Scala pada konsistori 11 November 2014. Ketika selesai berbicara, Paus Fransiskus mendatangi Kardinal Ernest. Keduanya lalu berdiri, saling berhadapan dan berpegangan tangan, menempelkan dahi, mengatupkan mata, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Paus Fransiskus tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Ia terlihat mengusap wajah dan menyeka air mata. “Hari ini saya tersentuh oleh perjuangan para martir,” ungkap Bapa Suci.
Kardinal Ernest bercerita, sedikitnya sekitar 38 biarawan dan biarawati terbunuh selama rezim komunis pada Perang Dunia II (1945-1974). Semua martir tersebut lahir antara tahun 1874-1935. Mereka termasuk dua Uskup, 21 imam diosesan, tujuh imam Fransiskan, tiga imam Jesuit, seorang seminaris, empat awam, dan seorang biarawati Fransiskan. Di antara mereka ada seorang imam, yaitu Pater Josif Mihali.
Melawan Hukum
Sejarah Republik Albania mencatat rezim komunis selalu menjadi momen hitam bagi negara di Eropa tenggara ini. Puncak kebiadaban rezim komunis ini terjadi pada 1948. Saat itu, negara yang sering dikenal Shqipëria, “Tanah Air Burung Elang” ini dibawah kendali Perdana Menteri Enver Halil Hoxha yang berhaluan kiri. Zaman Hoxha, Albania mendeklarasikan diri sebagai satu-satunya negara ateis dalam undang-undang dasar tahun 1967.
Pengakuan Hoxha lantas menebar teror bagi Gereja. Para pejabat Gereja menolak. Umat yang tetap bertahan pada imannya, ditahan dan dibunuh. Banyak gereja dan biara dihancurkan atau beralih fungsi menjadi gudang, penjara, bioskop, dan tempat hiburan lainnya. Banyak tempat “disulap” menjadi tempat penjagalan dan pelepas nafsu syahwat.
Pater Josif melihat, teror ini tak saja melemahkan iman orang Katolik, tapi pelan-pelan membunuh iman umat. Dalam ketakberdayaan ini, Pater Josif memutuskan terus melayani. Menurut dia, iman tak pernah mati. Iman selalu tumbuh dalam situasi apapun, bahkan ketika Gereja teraniaya.
Dengan berani, Kepala Paroki St Petrus Elbasan, Albania itu mulai turun lapangan. Ia memutuskan untuk melayani umat dengan sistem gerilya. Dari rumah ke rumah, ia mengetuk pintu hati umat agar tak takut pada undang-undang baru itu. Menurutnya, hanya orang yang tak beriman yang tidak percaya kepada Tuhan.
Segala bentuk pelayanan ia berikan demi umatnya. Namun kala itu, geliat pemerintah untuk menancapkan undang-undang ateis kepada seluruh masyarakat Albania, terus digaungkan. Penangkapan demi penangkapan terjadi di seantero Albania. Tak ada pilihan bagi mereka yang menolak menjalani undang-undang itu, selain kematian dan dikirim ke kamp kerja paksa. Lagi-lagi, Pater Josif tak takut sedikit pun dengan peraturan Hoxha ini. Malahan dengan terang-terangan, ia menyatakan diri sebagai imam Katolik. “Bila harus mati demi Kristus, saya telah siap,” ujar imam kelahiran Albania, 23 September 1912 ini.
Keteguhannya membela iman dari rezim ateis ini mendatangkan celaka. Ia ditangkap tentara komunis pada 1945. Kala itu, Pater Josif sedang bersama umat dalam perayaan Ekaristi. Ketika tentara komunis tiba, ia meminta kepada para tentara agar melepaskan umat. Ia siap ditangkap. Permintaan ini disanggupi oleh kepala tentara komunis. Meskipun banyak umat ingin mendampinginya, tapi Josif melerai mereka. “Anda harus terus hidup demi Gereja masa depan.”
Penangkapan Pater Josif membuat Uskup Agung Emeritus Albania, Mgr Leone Giovanni Battista Nigris (1938-1947) mengumumkan perkabungan bersama bagi Gereja. Mgr Nigris yakin, nasib Pater Josif di ujung tanduk. Apalagi mendengar berita, Pater Josif ditahan dan dipilih untuk ikut dalam kerja paksa bersama para imam lain di Korça, Albania.
Habis Napas
Pater Josif menjalani studi di Seminari St Benediktus XI di Grotaferrata, Italia. Setelah itu, ia menjalani studi filsafat dan teologi di Seminari St Athanasius, Roma. Dalam pendidikan iman, Frater Josif dikenal sangat setia pada panggilan. Para kolega gemar memanggilnya fratello sottovalutato, ‘Frater Pendiam’. Sebutan ini menjelaskan keunikan Josif yang tak mau banyak berbicara. Bila dirinya marah, tak langsung diungkapkan tetapi banyak orang mengetahui dari mukanya yang memerah. Karena pribadinya yang pendiam, ini membuat banyak koleganya segan kepadanya. Kendati begitu, ia selalu tampak rendah hati dan dekat dengan koleganya.
Frater Josif ditahbiskan sebagai imam pada 1 Desember 1935 dan mendapat tugas perdana sebagai misionaris di Albania. Ia tiba di Albania pada 1936 sebagai Kepala Paroki Elbasan. Dengan “pastoral mendengarkan”, Pater Josif mampu memenangkan hati umat, yang kala itu hancur dengan berbagai persoalan. Ia mampu membangun kerjasama dengan semua orang, termasuk umat Muslim. Banyak umat Muslim menyebutnya “saudara Josif”. Sementara umat Katolik memanggilnya “Babai i të gjithëve”, ‘Bapak Semua Orang’.
Karena keteladanan dan perjuangannya melawan rezim komunis yang ateis, Pater Josif dikirim ke kamp Korça untuk kerja paksa. Selama sepuluh tahun, ia menjalani hidup sebagai pekerja keras. Kadangkala, ia harus menahan lapar dan haus. Tak ada tempat tidur yang layak baginya selain lantai tanah yang dingin. Selama masa kerja paksa itu, Pater Josif tak pernah lupa akan imannya. “Tak ada yang lebih abadi selain Kristus. Bertahanlah agar umatmu terus hidup,” pesan Pater Josif kepada rekan-rekannya.
Negeri Martir
Pada 26 Oktober 1948, banyak rekannya tak percaya akan nasib sial yang dialami imam penuh energik ini. Seperti biasanya, ia dipaksa bekerja di rawa-rawa. Ia harus mengangkut tanah untuk membangun jembatan yang tak kunjung selesai. Meski tubuhnya lemah, Pater Josif terus memaksakan diri untuk bekerja. Beberapa jam kemudian, tubuhnya yang kurus terpelanting ke tanah karena kelelahan.
Banyak orang memohon agar Pater Josif diberi kesempatan untuk istirahat, tapi para tentara komunis tak menggubris. Para tentara mengangkat tubuh dan membuangnya ke selokan bekas galian tanah. Di tempat itu, tubuhnya dikuburkan hidup-hidup. Ia wafat di Gurita Maliq pada 26 Oktober 1948 dalam keadaan dikubur hidup-hidup.
Paus Fransiskus menyetujui dekrit kemartiran Pater Josif bersama para martir Albania lainnya pada 26 April 2016. Misa beatifikasi di gelar di Katedral Shkodër, Albania, dipimpin Kardinal Angelo Amato, Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus pada 5 November 2016. Gereja mengenang Beato Josif bersama para martir lain setiap 5 November.
Kala kunjungan ke Albania pada September 2014, Paus Fransiskus menyebutkan negara ini sebagai “Negeri Para Martir”. Sebutan ini merujuk kepada penganiayaan para biarawan dan biarawati di masa Hoxha. “Albania adalah negeri para martir. Tempat ini adalah inspirasi bagi kerukunan antarumat beragama,” ujar Paus seperti dilansir catholicnewsagency.com.
Saat ini, Albania memiliki 15 persen populasi Katolik dari sekitar 3,5 juta penduduk. Mayoritas penduduk Albania adalah Islam, dengan porsi sekitar 56 persen, dan sebelas persen adalah penganut Ortodoks.
Yusti H. Wuarmanuk