HIDUPKATOLIK.com – Apakah peraturan puasa Katolik itu, yaitu hanya makan kenyang satu kali sehari, harus diikuti apa adanya? Bolehkah kita melakukan puasa yang lebih dari itu, misal berpuasa seperti waktu Ramadhan?
Eduard Gunawan, Sidoarjo
Pertama, perlu kita sadari bahwa peraturan Gereja tentang puasa (hanya makan kenyang satu kali sehari) adalah peraturan minimal yang berlaku untuk semua orang yang wajib berpuasa. Menurut KHK 1251-1252, yang wajib berpuasa dan berpantang ialah semua orang Katolik yang berumur 18 tahun sampai 59 tahun. Jika kita mau melakukan lebih daripada yang ditentukan, tentu saja boleh. Misal, berpuasa hanya dengan makan kenyang satu kali pada malam hari, dan pada dua kesempatan makan lainnya, kita tidak makan sama sekali. Prakarsa pribadi dan sifat sukarela menjadi tanda yang sangat berarti dalam pertobatan kita.
Kedua, jika kita mau mengikuti cara berpuasa dengan tidak makan sama sekali, kecuali satu kali makan kenyang pada malam hari, seperti pada waktu bulan Ramadhan, tentu saja hal ini boleh dilakukan. Tetapi perlu diingat bahwa pada pagi hari, tidak ada makan kenyang (sahur) lagi. Demikian pula, sebaiknya apa yang dimakan sebaiknya bukanlah makanan yang khusus dan istimewa, sebab hal ini akan bertentangan dengan semangat dasar Prapaskah, yaitu pertobatan.
Puasa dan pantang pada masa Prapaskah bermaksud untuk mengorbankan kenikmatan dan kesenangan pribadi, sehingga kita menjadi “lapar” akan Tuhan dan kehendak-Nya. Puasa dan pantang membuat kita lebih peka dan terbuka pada kuasa Allah yang membebaskan dari ketertarikan pada nafsu berbuat dosa, memperkuat sikap tegas kita melawan nafsu-nafsu tersebut dan melepaskan kita dari keterlekatan pada obyek dosa yang biasa kita lakukan serta menyembuhkan luka-luka dosa kita.
Ketiga, Konstitusi Apostolis Paenitemini, yang dikeluarkan Paus Paulus VI, 17 Februari 1966, menegaskan bahwa tujuan olah tapa kita ialah cinta kepada dan penyerahan-diri pada Allah. Berpuasa kita lakukan untuk mendekatkan diri pada Allah, bukan untuk kemegahan atau kegagahan diri kita sendiri. Puasa juga tidak kita lakukan untuk mendapatkan kekuatan magis. Sebaliknya, olah tapa kita harus menjauhkan kita dari dosa dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Di sini dituntut perubahan dan pembaruan batin yang menyeluruh dari diri manusia, yang meliputi cara merasa, menilai dan mewujudkan diri.
Pertobatan ini haruslah bermuara pada ungkapan lahiriah dan sosial-kemasyarakatan. Inilah pertobatan (metanoia) yang diserukan Yesus ketika tampil di hadapan umum: “Kerajaan Allah sudah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15). Puasa Yesus sendiri selama 40 hari 40 malam menjadi model bagi olah tapa kita (KGK 538-540).
Keempat, semangat pertobatan Prapaskah perlu dibuktikan dengan “menjalankan karya kesalehan dan amal kasih” (KHK kan 1249). Ungkapan Nabi Yesaya membawa kita kepada semangat puasa yang sungguh: “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar, dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58:6-9).
Kelima, pertobatan kita “hendaknya jangan hanya bersifat batin dan perseorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial-kemasyarakatan.” (SC 110) Seperti sudah dijalankan dari tahun ke tahun, sebagai bentuk ungkapan tobat bersama dalam bentuk sosial-kemasyarakatan, KWI atau masing-masing keuskupan bisa menentukan tema atau bentuk tobat bersama (tema APP), agar pembaharuan diri secara bersama itu lebih mempunyai dampak efektif untuk hidup bermasyarakat (bdk. SC 110; KHK kan 1253).
Petrus Maria Handoko CM