web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Toleransi dalam Segelas Kopi

3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Budaya merantau menjadikan orang Madura terbuka dengan sesama yang berbeda keyakinan. Semua pemeluk agama hidup damai di pulau penghasil garam itu.

Suatu hari sekitar pertengahan Oktober 2014, tak banyak persiapan yang dilakukan Romo Agustinus Maryanto OCarm saat ingin menemui Hakim, Kepala Desa Telang, Kecamatan Kamal, Bangkalan, Jawa Timur. Kalaupun ada yang istimewa, adalah buah tangan yang ia bawa. Saat itu, Romo Maryanto membawa beberapa bungkus kopi instan dan satu slop rokok filter. Pakaiannya pun tidak mencolok. Romo Maryanto hanya mengenakan kaos oblong dan bercelana pendek. Padahal, tujuan ia bertemu Kepala Desa Telang itu, sebenarnya bukan perkara sederhana.

Saat bertemu sang kepala desa, Romo Maryanto langsung tersenyum. Keduanya hanyut dalam canda. Berkat kefasihan berbahasa Madura, percakapan Romo Maryanto dengan pimpinan di Kelurahan Telang itu berlangsung cair. Tak berselang lama, keduanya menikmati kopi dan ngudut. Obrolan mereka pun semakin seru.

Pada akhirnya Romo Maryanto menyampaikan maksud utama kedatangannya. Ia meminta izin untuk merenovasi Gereja Stasi St Maria Immaculata Telang, Paroki St Maria Fatima Bangkalan. Gereja itu dibangun pada 1959. Saatnya direnovasi.

Izin yang telah dirindukan umat, akhirnya didapat sore itu. Romo Maryanto pun pulang. Hari berikutnya, Romo Maryanto juga tak mendapat kesulitan, saat mengajukan izin serupa kepada Camat Kalam dan Bupati Bangkalan. Kurang dari seminggu, Kepala Paroki Bangkalan ini mendapat restu merenovasi gereja.

Budaya Lokal
Dalam masyarakat Madura, Kepala Desa dikenal dengan istilah “Klebun”. Romo Maryanto menjelaskan, klebun adalah pemimpin di sebuah wilayah tertentu dalam masyarakat Madura. Ia menjalin relasi yang baik dengan beberapa klebun di wilayah parokinya. “Kami berusaha dekat dengan klebun, saat relasi dengan mereka baik, lewat persahabatan ini, mereka dapat menerima umat Katolik,” ungkap imam dari Ordo Karmel (Ordo Fratrum Beatissimæ Virginis Mariae de Monte Carmelo/OCarm) ini.

Kedekatan Romo Maryanto dengan Hakim boleh jadi menjadi gambaran kerukunan antarumat beragama di Bangkalan, Jawa Timur. Romo Maryanto menceritakan, untuk dapat bersaudara dengan masyarakat, ia berusaha masuk lewat tokoh-tokoh lokal masyarakat. Di sini, umat Katolik dan masyarakat asli Madura hidup berdampingan secara damai.

Hal yang sama diungkapkan Theresia Sulastri. Umat Paroki Bangkalan yang juga seorang bidan itu, menjadi tujuan ketika masyarakat sekitar berobat. Theresia menceritakan, lewat perannya ini, ia berusaha melayani masyarakat secara optimal. “Saya tidak membedakan, siapa saja yang datang berobat, saya berusaha membantu.”

Dalam menjalankan tugasnya, klebun dibantu oleh beberapa bawahan. Di wilayah Telang misalnya, Romo Maryanto bersahabat dengan Mardelan. Ia adalah anak buah klebun untuk wilayah itu. Saat dijumpai di penggilingan padi miliknya, Mardelan mengungkapkan, persahabatannya dengan umat Katolik sudah berjalan puluhan tahun. Selama itu, tutur Mardelan, masyarakat Madura dan umat Katolik hidup berdampingan secara damai. “Selama ini baik-baik saja, ga ada masalah, damai dan aman,” ungkapnya.

Selama ini, lanjut Romo Maryanto, klebun ikut menjaga kehidupan menggereja. Berkat relasi yang terjalin ini, memengaruhi hubungan umat Katolik secara umum dengan masyarakat. Romo Maryanto menambahkan, dalam beberapa perjumpaan, mereka mengungkapkan, bahwa Gereja Katolik yang ada di Bangkalan adalah milik mereka juga.

Lintas Agama
Setiap bagian pesisir Pulau Madura, pasir pantai berwarna putih menjadi penghias. Pemandangan ini kontras di beberapa bagian, di mana tumbuh tanaman mangrove dari kejauhan terlihat hijau. Seperti daerah lain di Indonesia, kesadaran lingkungan dengan menanam dan menjaga mangrove juga menjadi keprihatinan di pulau ini. Karena alasan inilah, Paroki St Maria Ratu Para Rasul Pamekasan, Jawa Timur juga terlibat dalam usaha tersebut.

Umat bersama sejumlah komunitas Islam melestarikan mangrove bersama-sama. Albertus Budianto Darsono mengungkapkan, paroki bekerjasama dengan beberapa komunitas lintas agama dalam kegiatan penanaman mangrove di Galis Lembung Pamekasan. “Lewat kegiatan ini kita ingin membina persaudaraan dengan umat agama lain. Sekaligus menanamkan kecintaan kepada lingkungan di kalangan umat dan masyarakat di Pamekasan,” kata Ketua Dewan Pastoral Paroki Pamekasan ini.

Penanaman mangrove bukan satu-satunya kegiatan yang diinisiasi paroki dalam menjalin dialog lintas agama di sana. Ada juga kamping yang melibatkan anak muda lintas agama di Gunung Payudan Pamekasan.

Romo Fransiscus B. Deddy Sulistya mengungkapkan, relasi umat Katolik dengan masyarakat Madura dapat terjalin dengan baik, salah satu faktornya karena di kalangan umat yang mayoritas Tionghoa, fasih menggunakan bahasa Madura sehari- hari. Dengan bahasa yang sama, relasi menjadi tanpa jarak.

Selain itu, hubungan Gereja Katolik dengan Forum Kerukunan Antarumat Beragama Pamekasan juga tersimpul apik. Romo Deddy menambahkan, paroki dengan FKUB sering kali mengadakan kegiatan sosial bersama, misal ketika terjadi bencana di daerah Sampang, paroki ikut membantu korban. “Harapannya lewat kegiatan ini, kerukunan juga akan semakin tercipta di Pamekasan.”

Model Toleransi
Gereja Paroki St Maria dari Gunung Karmel Sumenep, Jawa Timur, berdiri berhadapan dengan Masjid Baitul Arham Sumenep. Dari gerbang gereja, siapa pun dapat melihat menara masjid berkelir putih. Tak hanya itu, sekitar 20 meter dari gereja, terdapat Klenteng Pao Sian Lin Kong Sumenep. Rumah ibadah umat Buddha itu bersebelahan dengan Kompleks Pastoran dan Sekolah Sang Timur. Ketiga tempat ini berada di Desa Pabean, Sumenep, Jawa Timur.

Romo Nolaskus Harsantyoko OCarm menjelaskan, dengan adanya tempat-tempat ibadah ini, Desa Pabean menjadi patokan toleransi di keseluruhan Pulau Madura. Ini menjadi salah satu simbol toleransi di Sumenep. Romo Kepala Paroki St Maria dari Gunung Karmel Sumenep itu mengakui, selama ini, relasi antaragama di Sumenep tak ada hambatan. Semua orang dapat menghidupi imannya secara damai. “Kalau sudah ngomong Desa Pabean orang akan ingat toleransi, tempat ini menjadi semacam promosi toleransi untuk wilayah Sumenep. Desa ini menjadi kebanggaan bagi Kabupaten Sumenep.”

Umat Katolik memiliki sejarah panjang toleransi bersama masyarakat asli Madura. Fransiskus Xaverius Edi Setiawan menjelaskan, hubungan Gereja Katolik dengan budaya Madura bisa dikatakan unik. Secara umum masyarakat asli Madura dengan umat agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai. Edi melihat, misi Gereja Katolik sudah puluhan tahun berjalan di Madura, begitu juga Klenteng sudah ada sejak 200 tahun lalu, namun orang Madura tidak goyah dengan imannya. “Orang Madura dengan Islam sejak dulu identik,” kata Edi yang juga dikenal sebagai budayawan Sumenep ini.

Edi menduga, keterbukaan orang Madura menerima orang lain yang berbeda keyakinan, terbentuk karena budaya merantau yang mereka hidupi. Dengan merantau, orang Madura terbiasa melihat perbedaan dalam diri setiap orang yang mereka jumpai selama di rantau.

Hal itulah yang menjadikan orang Madura mudah menerima perbedaan. Keutamaan itu juga terasa di pulau yang memiliki luas sekitar 5.250 kilometer persegi. Karena masyarakat yang merantau biasa melihat saudara yang berbeda, maka ketika perbedaan itu ada di tanah kelahiran sendiri, mereka dapat menerima dan hidup bersama secara damai. “Kalau orang belum pernah ke Madura, bayangannya macam-macam, tapi begitu masuk ke sini, loh kok ga ada ya, semua damai,” pungkas Edi.

Antonius E. Sugiyanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles