HIDUPKATOLIK.com – Ia bertahan dalam iman. Tantangan bertubi dan jalan Tuhan selalu hadir bersama. Inilah kesadaran yang menggelorakan semangat pelayanannya untuk bisa berlimpah buah setiap hari.
Kornelius Kun Haryanto, sulung dari lima bersaudara. Ayahnya seorang Katolik sedangkan ibunya Muslim. “Dalam keluarga, orangtua tidak begitu menekankan harus beragama apa. Mereka memberikan kebebasan,” kisah Senior Manager Operations & Production, Pertamina Hulu Energi (PHE), Pertamina, Jakarta ini. Sejak kecil, Kun memeluk agama Islam. Ia menghabiskan masa SD di Solo, Jawa Tengah. Kemudian ia melanjutkan SMP di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah karena sang ayah bertugas di kota itu. Ayahnya seorang tentara, sehingga Kun dan keluarganya sering berpindah- pindah tempat tinggal mengikuti tugas sang ayah.
Ayahnya memasukkan Kun ke SMP Bruderan Purwokerto yang sebagian besar siswanya Katolik. Awalnya, Kun menentang dan merasa kurang nyaman. Seiring waktu, ia bisa beradaptasi, bahkan mulai tertarik dengan agama Katolik. Di kelas 2 SMP, ia tak lagi menjalankan syariat Islam. “Suatu saat, saya juga berdoa kepada Nabi Muhammad … Saya minta maaf karena saya tidak menjalankan syariat Islam, saya akan menjadi Katolik ….,” ujar pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 22 Desember 1966 ini.
Meski demikian, Kun tidak mengikuti pelajaran untuk menjadi Katolik. “Saya hanya mengikuti pelajaran agama di sekolah.” Ketertarikannya pada kekatolikan berawal dari perayaan Natal di sekolah. “Ada drama Natal, lagu Malam Kudus. Itu menarik untuk saya,” kisahnya.
Memasuki bangku SMA, Kun yang bersekolah di Cilacap mulai mengikuti pelajaran agama untuk persiapan Baptis. Saat kelas 2 SMA, ia menerima Sakramen Baptis di Gereja St Stephanus Cilacap, Keuskupan Purwokerto.
Setiap Minggu, Kun tak pernah absen mengikuti Misa. Meski hujan deras, ia tetap pergi. Kala menempuh pendidikan di jurusan Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (1985-1989), ia juga berusaha mengikuti Misa Minggu, bahkan Misa Harian di Kapel Susteran Karmel, Yogyakarta. “Saya tidak boleh absen ke gereja. Hingga saat ini, ketika ada di Indonesia atau pun saat tugas di luar negeri, saya akan mencari gereja untuk mengikuti Misa,” ujar Kun.
Dalam menapaki peziarahan hidupnya, Kun berusaha bertahan pada iman. Ia merasakan banyak pengalaman bagaimana Tuhan memberikan jalan dalam kesulitan yang menghampiri. “Pengalaman-pengalaman itu membuat saya tidak bisa meninggalkan Tuhan. Tanpa Tuhan, saya tidak bisa hidup seperti ini …,” tandas laki-laki yang mendapat gelar MBA di Konstanz University, Jerman (2003-2005) ini.
Dari pengalaman akan kasih Tuhan itu pula, Kun terdorong untuk berbagi dan berharap bisa menjadi berkat bagi sesama, ibarat pohon yang berlimpah buah setiap hari. Ia berusaha untuk bisa menjadi garam dan terang bagi orang-orang di sekitarnya.
Berkat Melimpah
Waktu bergulir, Kun jatuh hati dengan perempuan Muslim, tinggal di Purwokerto. “Masalah beda agama menjadi polemik tersendiri dalam hubungan kami. Sulit sekali waktu itu situasinya,” kisah Kun. Akhirnya pada Februari 1993, ia menikah engan gadis pujaannya secara Islam. Namun dalam keseharian, ia tak pernah enjalankan syariat Islam. Ia tidak sholat, juga tidak puasa. “Sembunyi- sembunyi saya masih pergi ke gereja setiap Minggu. Saya mencari alasan agar bisa pergi eluar. Misal, mau mencuci mobil, mencari tiket, dll. Hal itu berlangsung selama empat tahun (1993-1997),” jelasnya.
Pengalaman itu menjadi pergumulan tersendiri bagi Kun. “Saya tidak tahu apakah ini mungkin, Tuhan? Tapi, saya ingin sekali untuk bisa Misa bareng dengan istri dan anak saya,” ungkap Kun dalam doanya. Kun menyimpan kegelisahan dan harapannya dalam hati. Doa pun menjadi kekuatan dan sandarannya.
Hingga suatu hari, sang istri memergoki Kun tengah membuat tanda salib sebelum berdoa malam. “Istri saya marah sekali saat tahu saya tetap Katolik. Saya berusaha untuk mempertahankan rumah tangga dan keyakinan saya sebagai Katolik. Sejak itu, saya tidak lagi menyembunyikan Alkitab. Jadi di rumah ada Alkitab dan Al’quran,” kenangnya.
Pada 1998-1999, Kun mendapat tugas ke Amerika Serikat dari kantornya sebagai Field Engineer, Gulf of Mexico, Arco International Oil & Gas, USA. Ia tidak membawa serta istri dan anaknya karena sang istri baru melahirkan putri kedua mereka. Suatu hari, Kun menerima sepucuk surat dari sang istri. Salah satu isi surat itu mengatakan, istrinya memutuskan masuk Katolik dan sudah mengganti agama di KTP-nya. Istrinya tertarik menjadi Katolik setelah membaca Alkitab milik Kun. “Membaca surat dari istri, saya yakin bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan …,” tandas Kun.
Kembali dari Amerika Serikat pada 1999, Kun memboyong istrinya, Maria Katarina Tri Widayati dan anaknya ke Jakarta. Kun dan sang istri memperbarui pernikahan mereka secara Katolik di Gereja St Bernadet Ciledug, Tangerang. Selain itu, tahun 2000, istri dan dua putri mereka dibaptis. “Saat itu, saya merasa keluarga saya seperti kapal yang berada di laut tenang. Saya merasa sangat bahagia bisa ke gereja bersama dengan keluarga. Saya bersyukur karena akhirnya semua ini bisa terjadi. Kebahagiaan itu tak pernah hilang sampai sekarang.”
Senantiasa Berbuah
Bagi Kun, anugerah Tuhan begitu berlimpah. Pengalaman menerima kasih-Nya yang tak habis-habisnya menggerakkannya untuk berbagi dengan orang-orang di sekitarnya, baik tenaga, pemikiran, maupun materi. Ia dan istrinya mulai membantu janda-janda, menjadi orangtua asuh bagi anak-anak yang kurang beruntung, membantu para yatim-piatu dan orang-orang yang membutuhkan. Mereka ingin memberikan teladan kepada tiga buah hatinya untuk saling mengasihi dan mau berbagi dengan sesama.
Di celah kesibukannya, Kun berusaha ikut ambil bagian dalam kegiatan di lingkungannya. Ia mengikuti doa Rosario, pendalaman iman, kegiatan sosial, koor lingkungan, dll. Senior Manager Operations, PHE Offshore North West Java, Pertamina (2009-2013) ini pernah dipercaya sebagai Ketua Lingkungan St Albertus Paroki St Bernadet Ciledug (2003-2006).
Tahun 2010, Kun berpindah ke Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan. Di sana, ia didapuk sebagai Wakil Ketua Lingkungan St Yosef Paroki St Monika BSD (2012-2015), bahkan dipercaya menjadi pemandu dalam pendalaman iman lingkungan.
Di lingkungan kantor, bersama rekan-rekannya, Kun memotori adanya Misa Jumat Pertama di lingkungan Perkantoran Hijau Arkadia, Jakarta Selatan. Ia memanfaatkan salah satu ruang rapat di gedung PHE. “Di sini kita juga membentuk Karyawan Katolik Arkadia (KKA). Ada doa Rosario bersama, Misa bersama saat Rabu Abu, dll,” ujar laki-laki yang dipercaya sebagai Koordinator Badan Koordinasi Umat Kristen (Bankorumkris) di sana pada 2010-2012. Sebagai seorang Katolik, lanjut Kun, kita mesti eksis, menjadi garam dan terang di manapun kita berada. Jangan menjadi batu sandungan!
Selain itu, Kun menghayati tujuan hidup yang ia singkat BBM: Bahagia, Bermanfaat, Mengampuni. Kutipan ayat Mat 6:33, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” pun turut menguatkan jejak langkahnya dalam menapaki peziarahan hidup dan mengayuh biduk kecil rumah tangganya.
Dengan prinsip itu, ia bertekad bisa berbuah melimpah. “Ibarat pohon, kalau tidak berbuah …, sia-sialah pohon itu! Maka saya berusaha agar setiap hari saya bisa berbuah melimpah!”
Maria Pertiwi