HIDUPKATOLIK.com – Tepat setahun lalu, saya menerima sekelompok warga yang tinggal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang berasal dari sebuah desa di Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka mengadukan kasus pembunuhan seorang anggota keluarga mereka. Namun, kasus pembunuhan itu masih menggantung atau belum diproses oleh pihak Kepolisian setempat. Saat diskusi, terungkap bahwa pelaku yang diduga adalah sekelompok warga kampung tetangga yang masih bersaudara dengan warga mereka.
Ketika didalami lagi, ternyata akar penyebab pembunuhan tersebut adalah bagian dari tradisi “perang tanding” antarkampung dari satu suku yang terpaut langsung dengan aspek mistis dari keyakinan masyarakat lokal. Tradisi perang tanding ini sudah berjalan lama dalam masyarakat tersebut dan dicatat sebagai tradisi berdimensi kekerasan dan kekejaman dalam beberapa tulisan, termasuk sebuah buku karya seorang misionaris (Vatter, 1932). Pembunuhan jelas merupakan tindakan melanggar hak atas hidup yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).
Masyarakat lokal memiliki perspektif berbeda terhadap hal ini. Ada yang meyakini bahwa perang tanding merupakan suatu hal mistis religius yang diyakini merupakan perintah dari sebuah wujud tertinggi untuk mencari kebenaran hakiki. Ini juga sebagai pilihan terakhir dalam penyelesaian konflik, dan sebagai ziarah harga diri yang dalam pelaksanaan mensyaratkan fase ritual yang rumit (Masan, 2008).
Tradisi serupa perang tanding ini juga masih bisa kita temukan di beberapa wilayah lain di Indonesia, seperti perang suku di Papua dan di tempat yang lain. Dalam skala yang lebih kecil adalah tradisi memukul dan mencambuk dalam keluarga. Tentu, setiap suku memiliki alasan pembenaran atas tindakan ini, yang kita persepsikan sebagai kekerasan dalam budaya mereka. Dalam masyarakat Eropa “lama” juga dikenal hukuman mati yang dikodifikasi dalam Code Penal yang kemudian ditransplantasikan dalam sistem hukum dan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di negeri ini.
Sebagian besar dari kita tentu telah belajar tentang nilai-nilai dasar kristiani yang menekankan arti penting cinta kasih dan kedamaian yang semestinya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai dasar kristiani sangat sejalan dengan prinsip penghormatan hak asasi manusia.
Lalu, pertanyaan awam yang muncul adalah bagaimana peran Gereja dalam mengatasi segala bentuk kekerasan ini? Mengapa ajaran agama yang mengedapankan nilai-nilai cinta kasih tidak mampu menghentikan budaya perang tanding, perang suku, memukul anggota keluarga, dan tindak kekerasan yang lain? Apakah Gereja juga seperti aparat negara yang membiarkan ketika kekerasan terjadi?
Segala bentuk kekerasan, seperti perang tanding atau perang antarsuku yang memakan korban jiwa harus bisa dihentikan. Diperlukan kerendahan hati, kemauan dan kerelaan dari masyarakat setempat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan jalan damai. Tentu hal ini juga mensyaratkan dukungan berbagai pihak yang memahami budaya lokal serta mampu menggali kesamaan nilai-nilai lokal dan universal. Jika demikian, Gereja Katolik sebagai sebuah komunitas yang hidup bersama masyarakat bisa menjadi garda terdepan dalam upaya-upaya penyelesaian konflik dalam masyarakat. Apalagi Gereja selalu mengutamakan nilai cinta kasih dan damai dalam kehidupan keseharian. Mampukan Gereja Katolik di Indonesia menjadi pionir dalam menghapus budaya kekerasan?.
Sandra Moniaga