HIDUPKATOLIK.com – Sejak kecil, ia hidup prihatin. Ia putus sekolah saat kelas IV SD, dan harus menggantikan peran sebagai ibu. Ia aktif dalam gerakan kemanusiaan hingga wafat.
Suatu hari dua gadis belia pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Setelah cukup banyak mendapatkan, Antonia Mesina dan Anna Castangia kembali ke rumah masing-masing. Di tengah perjalanan, mereka tak sadar bahaya mengintai. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluhan tahun, Givanni Ignacio Catgiu terus membuntuti. Ia mencari kesempatan yang tepat untuk melaksanakan niat jahatnya.
Ketika Antonia dan Anna tiba di jalanan yang datar, sunyi, dan rimbun, Catgiu langsung menerjang kedua gadis itu dari belakang. Mereka kaget dan khawatir dengan gelagat sang pemuda yang bertindak tidak senonoh itu. Anna berhasil meloloskan diri. Sementara Antonia bernasib naas. Catgiu memeluk, mengapit, dan mulai meraba-raba tubuh Antonia. Dengan sekuat tenaga, Antonia berjuang meronta melawan Catgiu. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkraman laki-laki itu. Merasa mendapat perlawanan, Catgiu justru semakin kalap. Usaha Antonia untuk melepaskan diri sama sekali tak digubris Catgiu. Bahkan ia mendorong tubuh Antonia hingga terjerembab beberapa kali. Dengan gigih, Antonia berjuang mempertahankan mahkota kesuciannya. Geram, Catgiu mengambil batu dan menghantam kepala gadis malang itu berkali-kali hingga mati.
Untuk menghilangkan jejak, Catgiu menyembunyikan jasad Antonia. Kejadian ini baru terkuak setelah dua hari, ketika sang pelaku menyerahkan diri kepada polisi. Atas tindakan kriminalnya, ia diganjar hukuman mati pada 1937.
Berdasarkan keterangan Catgiu, polisi akhirnya menemukan jasad Antonia dalam kondisi mengenaskan. Wajahnya sulit dikenali. Hasil otopsi menunjukkan, terdapat 74 luka bekas pukulan benda keras. Para penyelidik dan khalayak yang hadir saat mengevakuasi jasad korban juga sempat takjub ketika melihat kedua tangan korban menutup roknya hingga ke lutut. Tindakan ini diyakini sebagai upaya Antonia menyelamatkan martabat kegadisannya. Hal itu diperkuat dengan hasil otopsi medis. Sama sekali tak ditemukan tindakan dan kekerasan seksual pada dirinya.
Totalitas Pengorbanan
Antonia lahir di Orgosolo, Sardinia, Italia, 21 Juni 1919. Anak kedua dari 10 bersaudara ini berasal dari keluarga miskin. Ayahnya, Agostino bekerja sebagai sipir yang berpangkat rendah. Sedangkan ibunya, Grazia Rubanu bekerja sehari- hari di rumah untuk mengurus keluarga. Dengan gaji minim, sang ayah membanting tulang agar bisa menafkahi istri dan 10 buah hatinya. Kemiskinan keluarganya membuat enam orang saudaranya meninggal saat masih anak-anak.
Kala ibunya divonis sakit jantung dan harus terbaring di ranjang, Antonia mengubur impian untuk meneruskan pendidikan. Ia berhenti saat kelas 4 Sekolah Dasar, lalu menggantikan peran sang bunda. Setiap hari ia memasak, mencuci pakaian, mencari kayu bakar, merawat adik-adiknya, memikul air untuk keperluan rumah tangga, dll. Ia tak pernah mengeluh dan menggerutu dalam menjalani kehidupan berat di usianya yang masih belia.
Ibunya sangat tersentuh melihat pengorbanan putri keduanya itu. Ia merasa beruntung memiliki anak yang paham dan sadar akan kondisi keluarga yang serba sulit. Antonia tak pernah menolak atau keberatan setiap kali sang ibu meminta tolong kepadanya. Tak heran, Grazia menyebut putrinya sebagai ‘kembang dalam hidupnya’ yang memberi warna, keindahan serta pesona bagi siapapun yang melihatnya.
Pancaran pesona Antonia tak hanya terlihat dari sikapnya yang ringan tangan dan rela berkorban. Ia juga menghayati praktik kesalehan dan hidup rohani dengan tekun. Setiap pagi ia senantiasa mengikuti Ekaristi di gereja, mendaraskan doa rosario, berdevosi kepada Sakramen Mahakudus, rutin mengaku dosa, dan menjaga kemurnian diri. Ia bergabung dengan komunitas kaum perempuan pembela kemurnian yang meneladani spiritualitas St Maria Goretti (1890-1902), perawan dan martir Italia.
Selain itu, Antonia aktif terlibat dalam Aksi Katolik, organisasi awam Katolik yang bergerak dalam karya karitatif, seperti membantu para korban perang, kaum miskin dan terlantar, serta para lanjut usia. Keterlibatannya dalam Aksi Katolik ia maknai sebagai pengalaman berbagi iman, kasih, dan harapan bagi sesama. Baginya, membantu sesama adalah sebuah langkah untuk menjadi orang baik. Sikapnya terlihat jauh lebih matang dibandingkan usianya, yang saat bergabung dengan Aksi Katolik baru sekitar 10 tahun.
Ketika teman-teman sepantarannya senang bermain, ia justru lebih banyak menghabiskan waktunya bekerja di rumah, terlibat dalam gerakan kemanusiaan, atau bertekun dalam doa di gereja. Ia pun membantu orangtuanya dengan mencari rejeki untuk menambah pendapatan keluarga. Saat anak-anak seusianya masih ingin diperhatikan dan dimanja, ia sudah memberikan cinta dan perhatian kepada keluarga dan sesama yang mengalami kesusahan hidup.
Sebagai anggota Aksi Katolik, Antonia berperan merekrut anggota. Banyak orang tersentuh lewat kehadiran dan pelayanannya. Hidup rohani dan karya sosialnya seolah menjadi magnet yang menggerakkan banyak orang untuk ambil bagian melalui gerakan solidaritas Aksi Katolik. Gelombang simpati dari kawan- kawan seorganisasi mengalir deras. Mereka salut kepada gadis belia yang memiliki kedewasaan untuk memprioritaskan hidupnya demi kebaikan dan kesejahteraan sesama.
Teladan Kemurnian
Sejak kecil, Antonia sangat mengagumi St Maria Goretti. Banyak referensi tentang kisah hidup martir pembela kemurnian ini senantiasa ia dalami. Ia berharap bisa meneladan keutamaan hidup dan kesetiaan sang martir dalam menjaga dan mempertahankan mahkota kemurnian sebagai seorang perempuan. Ia berniat mempersembahkan seluruh hidupnya hanya demi kemuliaan Tuhan, Sang Mempelai Pria.
Nadar untuk membela, menjaga, dan mempertahankan kesucian itu ternyata ia tepati. Persembahan agung bagi Tuhan itu memang harus dibayar mahal dengan nyawanya. Konon menurut keterangan dari kawan dekatnya, Antonia akan tulus ikhlas jika perjuangan demi mempertahankan mahkota kemurnian itu harus berujung maut. Ia pernah mengatakan bahwa dirinya ingin wafat seperti St Goretti.
Mimpinya mengikuti jejak St Goretti terjawab. Pada suatu sore, 17 Mei 1935 di Ovadduthai, Orgosolo, Nuoro, Italia, Antonia berjuang dengan gigih hingga mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan mahkota kesuciannya. Tak gentar ia melawan seorang pemuda yang telah terbakar nafsu birahi. Ia wafat pada usia 16 tahun.
Pada 8 Mei 1987, Bapa Suci Yohanes Paulus II merestui dekrit kemartirannya, mengamini keutamaan hidup rohani dan dedikasinya dalam pelayanan kepada sesama, serta pengorbanan dalam menjaga kesucian hidup. Akhirnya, Minggu, 4 Oktober 1987, di Lapangan St Petrus Vatikan, pelindung para korban perkosaan ini dibeatifikasi. Gereja Katolik mengenang martir pembela hidup wadat ini setiap 17 Mei. Jazadnya dimakamkan di Gereja Holy Savior, Italia. Makamnya kerap dikunjungi banyak peziarah yang mohon doa melalui perantaraannya.
Yanuari Marwanto