HIDUPKATOLIK.com – Ambon setelah konflik tahun 1999-2004, kini sudah pulih dan damai. Bagaimana peran Gereja Katolik?
Guna mengetahui lebih jauh peran Gereja Katolik dalam pemulihan Ambon dan Maluku, Majalah HIDUP mewawancarai RD Agustinus Ulahayanan yang saat konflik menjabat sebagai koordinator Crisis Center di Pusat Pastoral Keuskupan Amboina. Kini Pastor Agus bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayan KWI. Berikut petikannya:
Apa kekhasan Maluku dari sisi demografi?
Maluku memiliki kekhasan tersendiri. Boleh dikatakan sebagai prototipe Indonesia. Pluralisme, relativisme mayoritas dan minoritas ada di sini. Di suatu tempat, Gereja Katolik minoritas, misalnya di Maluku Utara. Tapi di lain tempat seperti di Tanimbar dan Kei, Gereja Katolik menjadi mayoritas.
Apa peran Gereja Katolik selama dan pasca kerusuhan?
Tujuan utama Gereja Katolik waktu itu, juga sampai sekarang, adalah perjuangan kemanusiaan. Gereja berusaha netral dan ingin menjadi mediator perdamaian sejak konflik terjadi. Tapi, bagi saya, tidak cukup hanya netral pasif, tapi harus aktif memediasi dan menyelesaikan konflik.
Gereja Katolik waktu itu juga berjuang menyikapi konflik dengan memberikan bantuan kemanusiaan seperti menampung korban kerusuhan baik yang Kristen maupun Muslim di RS Otokwik Ambon. Sesudah rumah sakit itu hancur, kami pun menghidupkan Puskesmas berjalan. Kami juga menampung 500 pengungsi yang dipindahkan dari Polda Ambon ke Pusat Pastoral Keuskupan dan Seminari.
Bahkan, ketika konflik baru terjadi pada tahun 1999, Mgr P.C. Mandagi MSC langsung memberikan bantuan sebesar Rp 50 juta kepada pihak Protestan dan Islam untuk penanganan korban kerusuhan. Jadi, Bapa Uskup waktu itu tidak hanya teriak-teriak tapi juga memberi bantuan nyata. Keuskupan memberi bantuan tiket untuk memulangkan sekitar 1000 pengungsi dari berbagai agama yang ingin pulang ke kampung halamannya.
Di Maluku Tenggara, kerusuhan dihentikan dalam waktu tiga bulan, sedangkan di Ambon dan Maluku Utara baru tiga tahun selesai. Di Maluku Tenggara masyarakat bisa membedakan antara Katolik dan Protestan, sehingga para Pastor yang netral mudah dikenali. Mereka bisa masuk ke kelompok yang sedang bertikai untuk menolong korban.
Pernah, waktu kerusuhan, ada sekitar 6000 warga Muslim yang kita selamatkan dengan menarik pasukan Kristen yang sudah masuk ke perbatasan Kei. Bahaya bisa mengancam, namun prinsip saya adalah, “Seia-sekata dan selangkah menjadi pejuang kemanusiaan. Bukan untuk kepentingan agama tapi kepentingan kemanusiaan”.
Sikap netral aktif juga kita tunjukkan dengan membebaskan biaya para korban kerusuhan yang dirawat di RS Langgur tanpa memandang agama. Dananya, dari Crisis Center yang mendapat bantuan dari luar negeri. Selain itu kita juga terus membangun sekolah dan pengembangan kesehatan yang rusak.
Pasca kerusuhan, Gereja Katolik turut memikirkan dan terlibat dalam recovery Maluku dari sisi ekonomi, budaya dan segala aspek. Usaha ini sampai sekarang masih terus diupayakan.
Pengalaman apa yang dapat dipetik dari Munas ini?
Yang utama adalah pengalaman yang telah di-sharingkan, misalnya usaha membangun hubungan dengan semua pihak terutama pemerintah, karena mereka adalah pelayan publik. Mgr Mandagi selalu menekankan bahwa pemerintah yang bertanggungjawab, punya uang, polisi, tentara, pegawai, fasilitas dan segala- galanya. Dibandingkan dengan pemerintah, Gereja tentu masih kurang. Ingat, Gereja bukanlah pelaksana tunggal dan tidak akan bisa melaksanakan semuanya sendirian.
Uskup saat ini selalu bicara kepada masyarakat Maluku agar jangan mau diprovokasi. Kerukunan bukan sesuatu yang cuma sesaat, tapi harus kita jaga terus menerus sepanjang hayat. Tidak hanya itu, dalam setiap acara, Gereja berusaha melibatkan kesenian dari agama lain seperti khosidahanuntuk tampil.
Kita juga selalu mengadakan open house waktu Natal mulai tahun 2003. Kita siapkan hidangan untuk 3000 orang. Tamu yang hadir dari unsur pemerintah baik sipil, militer, kepolisian, para tokoh agama, adat dan masyarakat biasa. Sebaliknya, Gereja juga mengunjungi tokoh-tokoh agama yang merayakan hari rayanya. Berbagai pengalaman ini tentu menarik jika diterapkan di Keuskupan masing-masing tempat para peserta Munas tinggal.
A. Nendro Saputro