HIDUPKATOLIK.com – Rabu, 31 Januari diperingati Gereja sebagai hari kematian St Yohanes Bosco. Paus Pius XI mengkanonisasi imam projo Keuskupan Agung Turin ini pada 1 April 1934, dan mengangkatnya sebagai pelindung bagi kaum muda. Dan itu tepat. Serikat Salesian Don Bosco yang ia dirikan 18 Desember 1859 mengemban misi utama pendidikan kaum muda yang miskin dan terlantar.
Ada lebih dari 15.000 imam dan bruder Salesian berkarya memajukan pendidikan Katolik di seluruh dunia. Tak terhitung jumlah sekolah dasar, menengah, dan pendidikan tinggi yang menempatkan Don Bosco sebagai pelindung, juga di Indonesia. Mungkin bukan masalah bagi para Salesian untuk menjawab pertanyaan seputar pendidikan yang khas Don Bosco. Tapi tidak demikian bagi sekolah-sekolah yang (sekadar) menjadikan Don Bosco sebagai pelindung.
Don Bosco dan para Salesian memiliki cara mendidik yang terangkum dalam “sistem preventif”. Sistem ini dibangun berdasarkan spiritualitas “berikan kepadaku hanya jiwa-jiwa dan ambillah hal-hal lainnya” (da mihi animas cetera tolle) yang menjadi moto Serikat Salesian. Tampak jelas bahwa tujuan utama pendidikan Don Bosco adalah memenangkan dan menyelamatkan jiwa-jiwa. Kemampuan akademis dan keterampilan teknis tetap penting dan akan selalu dikembangkan dalam setiap tindakan mendidik, tetapi itu bukan tujuan tertinggi.
Sistem preventif adalah filosofi pendidikan Don Bosco yang kemudian dikembangkan dalam tiga pilar pedagogi Salesiana, yakni nalar (reason), agama (religion), dan kelembutan hati (loving kindness). Ketiga pilar ini menerjemahkan secara tepat cita-cita pendidikan Don Bosco dalam menyelamatkan jiwa-jiwa.
Nalar sebagai pilar pertama pendidikan Don Bosco menegaskan pentingnya memajukan ilmu pengetahuan, mengembangkan teknologi, dan membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja. Sekolah-sekolah teknik canggih yang dikelola para Salesian menegaskan pentingnya pilar ini. Meskipun begitu, sebagaimana juga diharapkan Paus Yohanes Paulus II dari para Salesian, proses pendidikan harus memampukan peserta didik “bertemu Yesus” karena itulah kerinduan kaum muda dewasa ini (Message of John Paul II to the members of the Salesian Institute of Don Bosco, 2002).
Pilar agama sangat penting dalam pendidikan Don Bosco sebagai sarana membawa para peserta didik kepada dan mengalami kehadiran Tuhan. Praktik-praktik kesalehan rutin, seperti Ekaristi harian, devosi kepada Bunda Maria, pengakuan dosa, rekoleksi bulanan, pembentukan kelompok rohani di bawah pelindung orang kudus tertentu, dan sebagainya adalah sarana-sarana yang digunakan untuk membina iman dan akhlak peserta didik.
Tetapi di atas semua itu, sifat pendidik yang penuh perhatian, mencintai dengan tulus, selalu hadir di antara peserta didik, dan peduli sangat dituntut dalam praktik pendidikan cara Don Bosco. Setiap pendidik bersemangatkan pedagogia Salesiana tahu dan mempraktikkan dengan setia kata-kata Don Bosco: “Tidaklah cukup mengasihi anak-anak, mereka harus sungguh mengalami bahwa mereka memang dicintai”.
Mendidik cara Don Bosco tetap relevan sepanjang zaman, terutama dalam situasi pendidikan di Indonesia di mana pemerintah sedang giat membentuk anak-anak berkarakter unggul. Pendidikan yang unggul menurut Don Bosco tak hanya mementingkan aspek akademis, tapi juga membentuk watak dan membawa kepada keselamatan jiwa-jiwa. Berbeda dengan pendidikan karakter sekuler yang berhenti pada formasi intelektual dan pembentukan pribadi berkeutamaan tanpa rujukan pada Pribadi Ilahi, pendidikan cara Don Bosco menambahkan aspek keselamatan jiwa-jiwa yang memang merupakan tujuan tertinggi setiap pendidikan Katolik.
Ada ratusan atau mungkin ribuan sekolah Katolik di Indonesia, dan banyak dari sekolah-sekolah itu menempatkan Don Bosco sebagai pelindung. Dalam rangka pembentukan pribadi peserta didik yang unggul secara akademis dan watak, sekaranglah saatnya sekolah-sekolah Katolik merevitalisasi dan mempraktikkan dengan setiap prinsip-prinsip pendidikan Don Bosco.
Yeremias Jena