HIDUPKATOLIK.com – Sebagai manusia, saya pantas disebut tak berharga, tetapi saya tidak akan melacurkan diri demi kenikmatan sesaat, kata Fernando suatu hari.
El Vermouth dan La Garza menjadi rumah bagi sejuta kenikmatan. Pada masa Perang Sipil Spanyol (1936-1939), dua rumah bordir di Tárrega, Catalunya, Spanyol ini cukup terkenal. Tempat ini menjadi rumah singgah bagi para milisi. Kadang kala, “rumah impian” ini menjadi markas bagi kaum republik seperti pekerja, buruh tani, serta kelas menengah terdidik yang bertikai melawan kaum nasionalis yang terdiri dari orang-orang Katolik, pebisnis, dan pemilik tanah.
Demi memuaskan nafsu semata, sesekali kaum republik menangkap paksa gadis-gadis kaya dari kaum nasionalis untuk dijadikan wanita penghibur. Gadis-gadis pilihan itu dijadikan sripanggung bagi para pengunjung. Di El Vermouth dan La Garza, tak ada istilah “makan siang gratis”. Setiap orang dipatok harga yang sama. Tetapi faktanya, hanya kelas menengah yang mampu membayar para primadona itu. Kaum buruh tani cukuplah dengan gadis-gadis biasa, yang bayarannya sesuai isi kantong.
Usai Perang Saudara, tepatnya ketika berakhirnya rezim diktator Fransico Franco (1939-1975), El Vermouth dan La Garza mendapat wajah baru. Misionaris Claresian mengubah tempat ini menjadi kapel bagi masyarakat Tárrega. Hal ini ada hubungannya dengan kematian seorang anggota Claresian, Br Fernando Saperas Aluja CMF. Ia dibunuh di depan rumah bordir karena menolak perintah Juan Casterás, pemimpin milisi, untuk berhubungan badan dengan seorang wanita penghibur.
Dipaksa Berzina
Carmen Cotilles, pemilik La Garza dan El Vermouth saat Pengadilan Ecclesiastical-rangkaian proses beatifikasi Fernando tahun 1948 bercerita. Saat itu, matahari hampir tenggelam. Casterás dan empat anggotanya tiba di La Garza dengan membawa hombre santo, “manusia kudus”. Badannya tinggi dibalut pakaian khas biarawan. Kedua tangannya terikat dan wajahnya memerah.
Saat berada di dalam bar, Casterás memanggil seorang gadis cantik. Fernando dipaksa mencium dan berzina dengan gadis tersebut. Ia menolak tawaran itu. Katanya, “Saya akan melakukan hubungan intim bila saya mau dan tanpa dipaksa. Sebagai manusia, saya memang pelacur, tapi saya tidak melacurkan diri demi kenikmatan sesaat.” Kata-kata ini membuat Carmen menghibahkan dua bar miliknya untuk Misionaris Claresian.
Cobaan untuk berzina dari para milisi bukan saja di La Garza, Tárrega. Sebelum tiba di Tárrega, para milisi sudah mencobanya di sebuah bar Carvera. Casterás bertanya kepadanya, gadis mana yang ia inginkan. Tetapi pertanyaan ini tak digubris.
Casterás lalu memilih La Pereta, seorang gadis bermata coklat dengan rambut pirang untuk Fernando. La Pereta memang terkenal buas dalam urusan ranjang. Ketika pasangannya tak memuaskan, ia tak segan-segan melukainya. “Biasanya, pria yang melayani saya. Bila Anda suka, saya yang akan melayani Anda hingga puas,” ungkapan manja La Pereta.
Ajakan ini lalu diiyakan pria kelahiran Alió, Tarragona, Spanyol, 8 September 1905 ini. Ketika dalam bilik milik La Pereta, Fernando memegang tangan wanita itu dan berkata, “Anda tak perlu melayani saya. Cukup layani Tuhan dengan pertobatan Anda.” Konon, saat mendengar pesan ini, La Pereta bertobat. Ia meninggalkan pekerjaannya dan menjadi perempuan baik bagi suami dan tiga anaknya.
Ramón Vilaró, pemilik bar di Carvera berkisah. Fernando masuk dalam bilik La Pereta. Para milisi menyaksikan hal itu dengan rasa puas. Setidaknya, Fernando masuk perangkap mereka. Sejam kemudian, Fernando keluar dengan muka berseri. La Pereta terlihat tak seperti biasanya. Gadis “liar” itu meneteskan air mata ketika menyaksikan Fernando dibawa paksa Casterás. “Ada semangat lain dalam diri La Pereta ketika bertemu Fernando.”
Tukang Masak
Bruder Kongregasi Misionaris Putra Hati Kudus Bunda Perawan (Cordis Mariae Filii/CMF) ini ditangkap milisi saat dirinya berada di peternakan milik Borarull. Kehadirannya tak lain untuk urusan dapur biaranya. Kebetulan saat itu, ia ditugaskan mengambil stok makanan untuk biaranya. Tapi milisi sudah mencium kehadirannya di tempat itu. Pada 12 Agustus 1936, mereka lalu menghampiri dan menangkapnya.
Gejolak perang sipil saat itu membuat nasib Fernando di ujung tanduk. Kebencian terhadap Gereja Katolik dengan narasi “cari aman sendiri” terhadap kaum nasionalis, pebisnis, dan tuan tanah membuat gerakan akar rumput milisi mengancam nyawa umat Katolik.
Kebencian terhadap Gereja berakhir dengan penyiksaan banyak imam dan biarawan, termasuk Br Fernando. Sedikitnya 510 biarawan dan biarawati yang dibunuh kala itu. “Siapa orang-orang ini?” tanya Fernando kepada Borarull. “Dia adalah milisi,”jawabnya sambil menunjuk Casterás.
Fernando lalu berkata, “Casterás! Yang sering disebut ‘binatang’ itu?” Casterás dikenal kejam, buas dan memiliki banyak kaki tangan. Ia kadang dibayar untuk membakar dan membunuh kaum nasionalis. Jawaban ini sontak membuat Casterás marah. Ia lalu memerintahkan agar Fernando ditangkap.
Bofarull menuturkan, Juan del Hostal, teman Casterás, menarik tangan Fernando dan memaksanya naik mobil. Kedua tangannya serta matanya diikat dengan kain. Dalam perjalanan, ia disulut rokok oleh para milisi. Pakaiannya dirobek hingga bertelanjang dada. “Ia dibawa ke bar Carvera dan saya yakin ia telah dipaksa untuk berzina dan menyangkal imannya.”
Darah Suci
Fernando adalah anak pasangan suami istri Don Jose Saperas, seorang tukang batu dan Escolastica Aluja. Ia dibaptis dua hari setelah kelahirannya di Paroki St Bartholomeus Alió, Tarragona. Sedari kecil, ia sudah berniat menjadi biarawan, tetapi karena kondisi keuangan keluarga, membuatnya mengurungkan niatnya.
Karena pendidikan iman yang kurang, Fernando terpaksa jatuh dalam pergaulan yang salah. Ia acapkali bersama kelompoknya mencuri dan menjarah mobil yang lewat di Alió. Tetapi suatu saat, matanya terbuka. Escolastica menjadi wanita yang mempertobatkan Fernando. Lewat doa Rosario, Escolastica meminta agar Tuhan menunjukkan mukjizat bagi anaknya.
Doa itu terkabul saat Fernando berusia 30 tahun. Ketika menyaksikan seorang rekannya meninggal karena dibunuh, Fernando menyatakan diri untuk menjadi Misionaris Claresian pada 1930. Majalah Incunable, milik Klaris Spanyol pernah menulis tentang dirinya. “Ketika hendak masuk biara, pimpinan ragu menerimanya. Ia tidak sebaik koleganya. Ia tak beragama, apalagi mengenal Tuhan. Tetapi ketika orang memandang, ia sangat sederhana dan memiliki kharisma. Karena itu, kami memberi pengecualian terhadapnya.”
Sebelum wafat, Br Fernando dimasukkan dalam tahanan di Cervara. Bravo, seorang penjaga tahanan berkisah, ketika tiba di penjara wajahnya penuh memar. Tapi keesokan hari, ia dibawa lagi ke rumah pelacuran El Vermout dan La Garza di Tárrega. Ketika bruder periang ini menolak berzina, ia lalu ditembak di kepala pada 13 Agustus 1936 di depan rumah pelacuran tersebut. “Ketika Casterás kembali ke penjara ia berkata, kami sudah mengirimkan Fernando ke surga yang ia imani. Kami telah menawarinya surga lain tetapi ia menolaknya.”
Sebelum menutup mata, Fernando membuat tanda salib dan menatap ke langit lalu berkata, “Sudah selesai.” Setelah itu, tubuhnya terbanting ke tanah. “Darahnya menguduskan tempat itu,” ungkap Antonio.
Proses beatifikasi dimulai oleh Paroki St Maria de l’Alba Tárrega, Keuskupan Solsona, Lleida, Catalunya pada 1940. Proses beatifikasi berjalan cukup lama bersamaan dengan para martir Claresian, korban Perang Sipil di Spanyol lainnya. Pada 21 Desember 2016, Paus Fransiskus menggelarinya venerabilis. Ia dibeatifikasi bersama para martir korban perang sipil lainnya pada 21 Oktober 2017 oleh Paus Fransiskus. Ia dikenang setiap 13 Agustus.
Yusti H. Wuarmanuk