HIDUPKATOLIK.com – Mayoritas pasiennya adalah keluarga pemulung. Hasil kebun dan telor ayam kerap menjadi ungkapan terima kasih mereka untuk sang bidan.
Bungangan, wilayah yang terletak di Kecamatan Semarang Timur merupakan daerah kumuh sekitar tahun 1990-an. Pada masa itu, kenang Florentia Hertinawati, belum ada tempat yang layak untuk mandi, cuci, dan kakus. Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, tak pelak membuat masyarakat di sana mengidap berbagai penyakit, antara lain pencernaan.
Hertin, sapaannya, menyakini, Tuhan punya maksud terhadap kepindahannya dari Karawang, Jawa Barat ke Bungangan. Tuhan menginginkan dirinya menolong warga di sana, yang sebagian besar menjadi pemulung. Apalagi pada masa itu, lanjutnya mengenang, jumlah tenaga medis amat minim. Tak heran, jika ada warga yang sakit akhirnya tak tersentuh oleh tenaga medis.
Melihat situasi seperti itu, batin Hertina terenyuh. Maka, meski berlatar belakang sebagai bidan, Hertin tetap menyambut dan menolong beragam pasien, yang datang kepadanya dengan aneka keluhan.
Tak semua pasien Hertina mengantongi uang ketika berobat. Ada warga yang sekadar mengucapkan terima kasih, ada pula yang memberikan sayur, buah, atau telur ayam kampung kepada sang bidan. Meski demikian, Hertin tak pernah membedakan kualitas pelayanannya.
Gethok Tular
Soal itu, ada banyak pengalaman yang Hertina temui. Salah satunya, ketika suatu hari ada suami istri menyambangi kliniknya. Mereka datang tergopoh-gopoh. Hertin langsung mengetahui istri pria itu sedang gering. Wajahnya terlihat layu dan tak banyak bicara. Ia membuka mulut ketika Hertin menanyakan keluhannya.
Usai memeriksa dan memberikan obat, suami-istri itu tak lekas beranjak dari kursi masing-masing. Mereka hanya saling melempar pandang. Ada sesuatu yang ingin mereka utarakan kepada Hertin, tapi lidah mereka seakan kelu. Sang suami memberanikan diri untuk angkat bicara. Permintaan maaf adalah kalimat pertama yang terlontar dari mulutnya.
Suami itu tidak bisa membayar obat dan jasa sang bidan. Sudah beberapa hari, semenjak istrinya sakit, ia tidak sempat memilah dan menimbang barang bekas sehingga tak ada pemasukan. Uang yang mereka miliki merupakan sisa dari pekerjaan lalu. Jumlahnya tak banyak, hanya untuk makan minum keluarga selama satu atau dua hari.
Hertin memahami kondisi pasiennya yang menggantungkan hidup dari barang rongsokan. Ia ikhlas. Meski tak ada duit yang masuk ke kantong, ia mengaku bahagia karena bisa membantu dan meringankan beban fisik dan psikis suami istri itu. “Semoga lekas sembuh dan bisa bekerja kembali,” harap perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 13 Juni 1951 ini.
Kemurahan hati Hertin merambat ke telinga masyarakat melalui gethok tular (berbagi informasi secara lisan) mantan pasiennya. Akibatnya, banyak orang berbondong-bondong datang ke Hertin. Klinik yang mulai beroperasi pada 1994 itu tak pernah sepi pengunjung. Saban hari selalu ada yang datang ke sana, sejak pagi hingga malam.
Bahkan, pernah suatu hari, tutur Hertin, pintu kliniknya diketok berkali-kali. Saat itu sudah dini hari. Pikir Hertin, ada pasien yang hendak melahirkan. Begitu ia membuka pintu ternyata cuman orangtua yang mengantar anaknya karena sakit flu. “Orang datang (ke klinik) sesuka hati mereka,” ungkap mantan bidan di RS St Elisabeth Semarang.
Pasien Berkurang
Pasien Hertin telah menurun drastis selama beberapa tahun belakangan ini. Dulu dalam sehari bisa sekitar 40 pasien datang ke kliniknya. Tapi, kini tak lebih dari hitungan jari yang membutuhkan pertolongannya. Ia mensyukuri itu. Dalam benaknya, masyarakat sudah menyadari betapa pentingnya menjaga kesehatan.
Hertina mengakui, semakin maraknya perkembangan fasilitas serta layanan kesehatan masyarakat, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, masyarakat bisa memilih penanganan terbaik untuk kebugaran mereka. Di tengah berbagai kemudahan itu, pintu klinik Hertin masih terus terbuka.
Kesibukan Hertin di klinik tak lagi seperti dulu. Rupanya, Tuhan sudah menyiapkan rencana baru untuk istri Robertus Yudhisman. Tuhan memberi kesempatan untuknya rehat setelah puluhan tahun menangani ibu hamil dan melahirkan, serta beragam keluhan kesehatan masyarakat. Selain itu, Tuhan juga menginginkan, agar Hertin menabur cinta di ladang karya yang baru.
Umat Paroki St Yusup Gedangan, Keuskupan Agung Semarang itu menjadi pengajar kursus persiapan perkawinan. Ia juga menjadi wakil ketua Lingkungan, Ketua Lansia dan pengurus Seksi Pengembangan Sosial Ekonomi Paroki Gedangan. Pada sela-sela rutinitasnya, Hertin juga mengunjungi panti asuhan dan panti jompo. Kunjungan ke dua tempat itu, ia jadwalkan tiap bulan.
Bila dulu Hertin lebih sering menangani seputar kehamilan, belakangan ini ia menjadi terapis bagi penderita stroke dan post stroke di Pondok Indraprasta, Semarang. Keterlibatannya di karya pelayanan itu bermula dari pengalamannya terserang gering tersebut. Ia yang kini telah sembuh, hendak membantu sesamanya yang mengalami keluhan serupa dengannya dulu.
Medium yang ia gunakan sebagai terapi adalah air. Hertin yang dulu paling takut dengan benda cair itu kini mau tak mau harus bersinggungan dengan sarana tersebut. “Pasien” dan murid-muridnya yang semula kurang dari sepuluh orang, saat ini bertambah lebih dari 40 orang. “Usia mereka mulai dari 40 hingga 60 tahun,” terangnya.
Menabur, Menuai
Hampir seperempat abad Hertin membaktikan diri dan karya untuk membantu sesama. Sejak tinggal di tengah masyarat ekonomi sulit (elit), ia menabur cinta untuk mereka yang luput dari perhatian publik. Mereka yang menabur cinta dan kebaikan, juga akan menuai hasil yang sama, demikian bunyi pepatah. Hertin telah merasakan hal itu.
Setiap kali ia pergi ke pasar atau pulang ke rumah, hampir selalu ada orang yang ingin mengantarnya cuma-cuma, entah itu tukang becak atau ojek. Rupanya, orang-orang itu atau keluarga mereka pernah merasakan cinta dan perhatian Hertin lewat kliniknya. Ia yang telah menabur cinta, kini menuai kasih dari orang-orang di sekitarnya.
Fr Nicolaus Heru Andrianto