HIDUPKATOLIK.com – Gereja Katolik sangat memperhatikan komunitas-komunitas Tionghoa sebagai bentuk ungkapan iman.
Gereja St Maria de Fatima Toasebio seakan tak habis cerita. Gereja ini selalu mendatangkan decak kagum bagi semua orang yang mengikuti Misa. Ada suasana yang cukup berbeda dengan beberapa paroki di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Setidaknya, bila pertama kali mengikuti Misa di tempat ini, orang akan berujar gereja ini mirip klenteng. Hampir semua ornamen, lukisan, bahkan beberapa tulisan dalam bahasa dan budaya Tionghoa menjadi ciri khas gereja yang berada Jl. Kemenangan III No.47 Jakarta Barat ini.
Kepala Paroki St Maria de Fatima Toasebio, Keuskupan Agung Jakarta, Romo Abis Fernando SX menjelaskan, bahwa mayoritas umat di parokinya adalah umat keturunan Tionghoa. “Rasanya 90 persen umat memang keturunan Tionghoa. Dari orangtua, anak, sanak famili dan lainnya.” Ia menjelaskan bahwa Komunitas Mandarin ini bisa dikatakan sebab berdirinya paroki. Maka dari itu, Komunitas Mandarin yang ada di Paroki Toasebio ini dirawat sebaik mungkin.
Romo Fernando menyadari, dengan latar belakang umat etnis Tionghoa di parokinya membuat pastoral Bahasa Mandarin dirasa cocok. Sebab, ada kemungkinan banyak umat di Paroki Toasebio mengalami kendala soal Bahasa Indonesia. “Di Paroki Toasebio, kami mendukung Misa Bahasa Mandarin, kursus Bahasa Mandarin, atau yang lainnya. Paroki memberikan keleluasaan untuk berkembang, diberi perhatian, kami juga libatkan di dalam dewan paroki,” tutur Romo Fernando.
Bahasa Iman
Adhi Pranata, seorang yang dituakan dalam Komunitas Maria de Fatima membenarkan soal kekhasan pastoral Mandarin di parokinya. Pria bernama asli Bong Fat Siong mengakui, ia mengalami kendala dalam Bahasa Indonesia. Bong, demikian sapaannya, mengatakan, saat Misa, dirinya kurang menangkap isi atau pesan khotbah yang disampaikan Romo. Tetapi bila Misa dalam Bahasa Mandarin, Bong cepat menangkap dan pesan Romo selalu diingatnya. “Saya bisa Bahasa Indonesia, tapi saya kurang mengerti dan meresapi kalau Liturgi, jadi seperti kurang kena menghayati,” kisah pria 87 tahun ini.
Bong mengakui, dirinya sangat bersyukur dengan pastoral khas Tionghoa di parokinya. Ia tidak merasa rendah diri dalam bersosialisasi dengan umat parokinya yang lancar berbahasa Indonesia. Kehadiran komunitas Maria de Fatima selalu mendorongnya untuk semakin ingin mendalami iman akan Kristus, dengan bahasa yang ia mengerti. Kepercayaan kepada Tuhan itu satu tetapi bisa dilalui dengan ragam keistimewaan yang tertuang dalam budaya.
Senada dengan Bong, pendiri Kursus Bahasa Mandarin komunitas Maria de Fatima, Pasutri Sunjono Winarto dan Liony Idris menuturkan, bahwa segala kegiatan yang berkaitan dengan komunitas Mandarin ini selalu didukung oleh paroki. “Paroki sangat membantu. Bayangkan bila kita kursus dan tidak dibantu oleh paroki maka semuanya akan sia-sia. Kelas Mandarin difasilitasi secara cuma-cuma,” tutur Liony.
Selain kursus bahasa Mandarin, kegiatan yang dilakukan Komunitas Maria de Fatima di Paroki Toasebio yaitu Misa berbahasa Mandarin, yang rutin setiap hari Minggu pukul 16.15. Romo yang memimpin Misa disediakan dari Paroki dengan bantuan imam Congregatio Discipulorum Domini (CDD) yang memang fasih berbaasa Mandarin. Ada juga kelompok kor Mandarin, katekese Mandarin, serta kegiatan sosial seperti kunjungan-kunjungan kepada orang sakit, panti asuhan, dan kegiatan sosial lainnya.
Komunitas iman ini ternyata tidak saja berkembang di Jakarta. Komunitas Mandarin ini juga terdapat di Paroki St Fransiskus Asisi Singkawang, Keuskupan Agung Pontianak. Kepala Paroki, Romo Gatot Purtomo OFMCap mengungkapkan, paroki berusaha mendukung dan memfasilitasi komunitas mandarin ini. Agar komunitas ini dapat membantu para pelayan dalam pastoral khusus dengan umat Tionghoa.
Koordinator Kelompok Mandarin Paroki, Matheo Ricci mengatakan, Misa berbahasa Mandarin diselenggarakan setiap hari Sabtu pukul 18.00. Misa mingguan berbahasa Mandarin ini dihadiri oleh sekitar 200 umat. Pemimpin Misa biasanya dua orang Romo yaitu Romo Marius Chen OFMCap yang memang fasih berbahasa Mandarin dan didampingi Romo Gatot sendiri. “Harapannya umat dari latar belakang keturunan Tionghoa, mereka semakin menggarami umat lain dengan cara mereka,” kata Romo Gatot.
Selain itu, ada katekumen untuk babtis berbahasa Mandarin yang dilakukan dalam waktu dua minggu sekali. Tentu saja pada perayaan Tahun Baru penanggalan Lunar atau Imlek, di Gereja St Frasiskus Asisi diadakan Misa Syukur Perayaan Imlek, yang setiap tahun diadakan secara rutin. “Memang ada himbauan untuk Misa Imlek itu tidak berlebihan. Semisal dekorasi di dalam gereja seperlunya, seperti kembang dan sebagainya. Kalau dekor di luar dengan warna identik merah tidak apa-apa, lebih leluasa dibanding di bagian dalam gereja. Sehari setelah perayaan itu kita sudah langsung dilepas,” ungkap Matheo.
Keterbukaan Hati
Secara pastoral, komunitas-komunitas basis seperti Komunitas Mandarin sangat membantu karya pelayanan para imam. Akan tetapi, komunitas-komunitas khusus ini tidak semudah yang dibayangkan banyak orang.
Bong berkisah, pernah ada suatu masa ketika Pemerintah Indonesia melarang penggunaan Bahasa Mandarin. Sebagai pengguna aktif Bahasa Mandarin, Bong merasa kesulitan dengan larangan ini. Kesulitan utama adalah bagaimana dirinya dapat bersosialisasi dan mengekspresikan imannya dengan baik. Selain itu, tambah Bong, ada saja beberapa pihak yang sempat mengecilkan kelompok Mandarin Katolik. “Pernah sempat dihilangkan karena dirasa kelompok ini kecil. Misalnya apabila baptisan biasa bisa sampai seratus orang, sedangkan yang baptisan Bahasa Mandarin hanya 5-10 orang saja, jadi tidak penting,” ujarnya miris.
Saat ini tantangan lain yang berkembang dalam hubungan dengan komunitas ini adalah kurangnya minat regenerasi yang mau ikut terlibat dalam kegiatan gereja. Meski bahasa Mandarin dirasa penting, tetapi tidak dalam liturgi. Bila mengikuti Misa, kebanyakan yang berpartisipasi adalah orang-orang tua. Anak-anak muda lebih memilih diam, tidak ada ide, dan hanya menunggu. Untungnya banyak umat selalu saja datang dari berbagai paroki di KAJ yang memiliki kerinduan dalam Liturgi berbahasa Mandarin.
Tantangan soal regenerasi juga ternyata menjadi kekhawatiran bagi Matheo. Baginya, kebanyakan anak muda keturunan di Singkawang sendiri sudah tidak lagi aktif dan meneruskan budaya mereka, terutama dalam kegiatan komunitas Mandarin. Pasalnya usai sekolah mereka biasanya akan pindah ke luar Singkawang untuk usaha, bekerja, menikah, dan menetap di kota lain. Ini juga membuat orang tua tak jarang ikut dengan sang anak yang berpindah tempat. “Umat yang tua ini kan akan sakit, atau meninggal. Sedangkan yang muda putus, tidak ada regenerasi,” tuturnya.
Romo Fernando pun berharap agar Komunitas Mandarin ini diapresiasi oleh Gereja. Tentu dengan catatan tidak melampaui batas atau berjalan sesuai aturannya. “Harapannya tetap kelompok ini bisa memelihara satu iman yang tepat dengan tetap meneruskan tradisi Tionghoa yang berguna. Budaya tetap dilestarikan, namun tetap beriman kepada Yesus bahwa umat adalah Katolik. 100% Katolik 100% Indonesia 100% Tionghoa”.
Marchella A. Vieba