HIDUPKATOLIK.com – Setahun lagi, usianya satu abad. Gembala berdarah Belanda ini sudah 68 tahun berkarya di Maluku. Pendengarannya berkurang, tapi ia tetap berkarya. Doanya, Tuhan melindungi Gereja dan tanah air Indonesia.
Uskup Emeritus Amboina, Mgr Andreas Petrus Cornelius Sol MSC kini tinggal di Biara Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC), di belakang Gereja Hati Kudus Yesus Batu Gantung, Ambon, Maluku. Di sana, ia memakai dua kamar, yakni satu kamar untuk tidur dan yang lain untuk bekerja dan berdoa. Dua kamar itu terletak di lantai dua, bagian belakang kompleks biara. Ketika HIDUP berkunjung pada Rabu, 8/10, Mgr Sol mengenakan sarung kotak- kotak berwarna biru. Sementara atasannya ialah kemeja putih dengan motif garis berwarna biru dan kuning. Ia pun terlihat sudah siap menerima tamu di ruang kerjanya.
Dengan semangat, Mgr Sol menceritakan tentang pembaptisan orang Katolik pertama di Indonesia oleh RD Simon Vas, 480 tahun silam. Menurutnya, sebelum St Fransiskus Xaverius datang ke Indonesia, ada beberapa orang di Moro, penganut animisme dan belum mengenal agama yang ingin menjadi Katolik. Ketertarikan itu berawal dari hubungan dagang yang baik antara suku Moro dengan para pedagang Portugis. Keinginan mereka lalu difasilitasi oleh seorang pedagang Portugis, Goncalo Veloso.
Setelah mendapat pelajaran agama, orang-orang Moro diantar Goncalo Veloso ke Benteng Sao Paolo, Ternate dan dibaptis oleh RD Simon Vas sekitar tahun 1534. Hal ini dianggap sebagai permulaan orang Indonesia asli menjadi Katolik. Mgr Sol mengatakan, ada sejarah orang Katolik di Sumatra sekitar abad V-VI. Namun, hal itu tak jelas buktinya. “Kemungkinan besar yang dimaksud adalah di India,” ujar uskup kelahiran Amsterdam-Sloten, Belanda, 19 Oktober 1915 ini.
Selain itu, Mgr Sol berkisah mengenai kehadiran St Fransiskus Xaverius pada 1546 di Hative Besar, Ambon. Pun tentang sejarah kota Ambon yang diawali dengan adanya benteng Viktoria buatan Portugis. Waktu itu, orang-orang Katolik dari Saparua dan sekitarnya tinggal di dekat benteng itu agar terlindung dari serangan kerajaan yang berperang melawan Portugis. Selama 25 tahun sejak 1575, benteng itu menjadi kota kecil dengan penduduk beragama Katolik. “Jadi permulaan kota Ambon sekitar 1575-1576. Orangnya mayoritas beragama Katolik,” tutur Mgr Sol.
Meski pendengarannya sudah jauh berkurang, ingatan Mgr Sol masih kuat. Kesetiaannya menghidupi panggilan sebagai Gembala umat seolah tak terkikis oleh usia dan keterbatasan fisiknya. Pada 24 Februari 2014, ia merayakan 50 Tahun Tahbisan Episkopalnya. “Berkat kebaikan Mgr Mandagi, peringatan itu dikenang kembali bertepatan dengan acara Munas Unindo XI (Musyawarah Nasional Unio Indonesia, Red),” ujarnya. Perayaan itu dikenangkan dalam Misa Penutupan Munas Unindo di Gereja Katedral Keuskupan Amboina, Selasa, 7/10.
Karya Pewartaan
Pada 10 Desember 1963, Mgr Sol ditunjuk sebagai Uskup Koajutor Amboina dan pada 15 Januari 1965, sebagai Uskup Amboina. Ia mengaku mengalami kesulitan dalam mengawali karya perutusannya. Kala itu, transportasi hanya menggunakan kapal. Banyak pulau yang tak mudah untuk dilayani. Padahal wilayah yurisdiksi Keuskupan Amboina berbentuk kepulauan. “Bisa jadi ada seribu pulau,” ungkap salah satu Bapa Konsili Vatikan II (1962-1965) yang mewakili Gereja Katolik Indonesia ini.
Meski berhadapan dengan pelbagai rintangan, Mgr Sol berjuang keras untuk terus melayani. Ia tetap bangga dengan karya pewartaannya, khususnya di Pulau Kei dan Tanimbar. Di tempat ini, mayoritas penduduk beragama Katolik. Ciri khas kekatolikan di kampung-kampung terlihat dengan banyaknya kapel, salib atau rosario yang terpasang di rumah-rumah.
Mgr Sol pun merasa bangga dengan banyaknya katekis dari Kei dan Maluku yang dikirim ke Papua. Kala itu, Papua belum mendapat perhatian sama sekali. Medannya juga sebagian besar masih berupa hutan belantara. Keuskupan Amboina mengirimkan 100 guru ke Papua untuk berpastoral dan mewartakan Kabar Gembira. “Waktu itu, pemerintah Belanda senang karena orang-orang Katolik berani tinggal di Irian,” ujar Mgr Sol.
Perpustakaan Rumphius
Menginjak usia 99 tahun, Mgr Sol tetap semangat dalam menjalani hari-harinya. Ia menikmati rutinitas, seperti membaca, berdoa, Misa dan brevir. Ia pun masih mengontrol perpustakaan kesayangannya, “Rumphius”. Ia memilih nama “Rumphius” karena kekagumannya pada orang Belanda bernama George Edward Rumpt (Rumphius).
Rumphius, seorang peneliti yang menulis tentang semua tanaman dan pohon di Maluku. Ia pegawai VOC di Ambon dan mengadakan penelitian pada 1662- 1702. Buku itu lalu diterjemahkan dalam Bahasa Latin, menjadi salah satu koleksi di Perpustakaan “Rumphius” dari sekitar 5000 buku lainnya.
“Banyak orang yang datang ke perpustakaan ini untuk mengetahui tentang seluk- beluk Maluku dengan membaca buku- buku koleksi langka ini,” ungkap imam Hati Kudus Yesus yang menerima tahbisan imamat pada 10 Agustus 1940 ini. Adanya Perpustakaan Rumphius berawal dari hobinya mengumpulkan buku sejak ia menjadi Uskup Amboina. Memasuki masa pensiun, 10 Juni 1994, Mgr Sol memiliki waktu lebih banyak untuk mengelola perpustakaannya. Namun kini, karena sudah tidak kuat berjalan dan pergi ke perpustakaan, ia bekerja dari rumah. “Sekitar 2013 lalu, saya masih bisa keluar dan banyak bekerja. Tapi sekarang tidak lagi,” katanya.
Perpustakaan Rumphius berada satu kompleks dengan Pastoran Katedral Amboina. Uskup Amboina Mgr P.C. Mandagi MSC telah menyerahkan pengelolaan perpustakaan kepada RD Theodorus Amel Watin, Pastor Kepala Paroki Katedral. Pada 2012, Perpustakaan Rumphius mendapat penghargaan dari Perpustakaan Nasional Jakarta sebagai Perpustakaan Partikulir Terbaik yang menyimpan sejarah tentang Maluku. Ini menjadi buah ketekunan Mgr Sol.
Selain mengelola perpustakaan, Mgr Sol juga masih aktif menulis, karena keinginannya berbagi apa yang ia miliki. Buku terbaru yang ia selesaikan ialah Sejarah Gereja di Aru dan Kei.Prosesnya, ia tidak mengetik dengan mesin ketik ataupun komputer. Ia menuliskan ideidenya dengan pena. Lalu, editor bekerja berdasarkan tulisan tangan ini.
Cinta Indonesia
Anak kelima dari 15 bersaudara ini masih bersemangat membicarakan karya pewartaan. Kalau ditanya apakah memiliki keinginan untuk pulang ke Belanda, Mgr Sol dengan tegas menjawab “tidak”. Ia sudah menjadi Warga Negara Indonesia. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di Maluku.
Mgr Sol menginjakkan kaki di Kei Kecil, Maluku, pada 5 Oktober 1946. Dan, pada 1951, ketika Presiden Soekarno memberi tawaran kepada warga asing untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), Mgr Sol sukarela mendaftar. Ia dengan mudah mendapatkan status WNI, tanpa mengikuti ujian ataupun membayar. Ia memilih untuk terus berkarya di Maluku, hingga tutup usia, dan dikebumikan di Indonesia. “Seperti para uskup Amboina sebelumnya,” ungkapnya dengan mantap.
Mgr Sol cinta Gereja Indonesia, juga cinta tanah air Indonesia. Harapnya, Gereja selalu dilindungi Tuhan, dan bangsa Indonesia terus berjuang untuk menjaga kesatuan berlandaskan Pancasila. “Saya harap, itu bisa dipertahankan dengan baik,” pungkasnya.
A. Nendro Saputro