HIDUPKATOLIK.com – Tekadnya menggelora, ingin membuat bangga orang yang dikasihinya. Kehilangan penglihatan, ia berjuang keras untuk menyelesaikan pendidikan sarjana hukumnya. Ia, tuna netra pejuang bagi tuna netra.
Seorang perempuan berambut pendek asyik memainkan ponselnya yang bisa bersuara. Di dekatnya, putri kecilnya sedang bermain boneka. Yohana Fransiska Dekasta Catur Tulus Setyorini berjuang menerima keadaan diri. Sejak matanya terkena lemparan kapur tulis, penglihatannya berangsur-angsur berkurang.
Rini, begitu sapaannya, berjuang untuk bangkit dari keterpurukan karena kehilangan penglihatan. Ia berusaha menjadi anak yang bisa membanggakan orangtua dan keluarga. Ia menempuh jenjang demi jenjang pendidikan hingga berhasil menyabet gelar Sarjana Hukum.
Kehilangan penglihatan menjadi pengalaman yang mendewasakan. Rini belajar arti perjuangan dalam penderitaan. Ia yakin Tuhan senantiasa memberinya pertolongan lewat orang-orang di sekitarnya. Ia pun bertekad untuk ambil bagian dalam memberdayakan kaum tuna netra.
Kehilangan Penglihatan
Kala itu, 1990, Rini duduk di bangku kelas 4 SD di Ngawi, Jawa Timur. Saat jam istirahat sekolah, tiba-tiba seseorang melempar kapur tulis dan mengenai mata kanannya. Dunia mendadak gelap, matanya terasa perih. Namun, hal itu tak diindahkannya. Ia tetap melanjutkan aktivitas seperti biasa.
Beberapa bulan berselang, Rini merasa ada yang aneh dengan matanya. “Ketika saya melihat lampu, seperti melihat pelangi. Begitu pula saat melihat tulisan di TV, tampak kabur. Saat pelajaran menggambar, saya tak bisa melihat garis tepi,” kenangnya.
Rini tak berani menceritakan kondisi itu kepada orangtuanya. Ia takut bila disuruh memakai kaca mata. Ia hanya menceritakan apa yang dirasakannya kepada sang kakak. Dua hari menjelang ujian kenaikan kelas, ia mengalami demam tinggi. Panasnya tak kunjung turun, meski sudah diberi obat penurun panas. Penglihatannya pun makin menurun. Ujian dijalaninya dengan susah payah karena tidak bisa membaca soal dengan jelas.
Setelah ujian, akhirnya Rini menceri- takan kondisinya kepada sang ibu. Segera orangtuanya membawa Rini ke dokter spesialis mata di Madiun, Jawa Timur. “Setelah diperiksa, ternyata saya terkena glaucoma, tekanan bola mata besar. Sayangnya, saya terlambat dibawa ke dokter. Dokter menyarankan saya memakai obat tetes mata seumur hidup,” tutur perempuan kelahiran Pangkalan Brandan, Sumatra Utara, 12 Desember 1980 ini.
Menyimpan harapan bisa sembuh, setelah kenaikan kelas, Rini dibawa ke Rumah Sakit Mata Dr Yap Yogyakarta pada 1990. Lalu ia menjalani operasi mata. Namun operasi itu justru memperburuk kondisinya. Matanya mengalami pendarahan. Rini harus menelan kenyataan pahit bahwa ia tak bisa melihat.
Sejak itu, kegelapan menjadi teman setianya. Selama tiga tahun, 1991-1993, Rini memilih tidak bersekolah. Semangatnya memudar, ia menarik diri dari pergaulan, mengisi harinya di rumah dengan mendengarkan radio sambil bernyanyi dan melakukan interkom dengan telepon lokal kawat, sekadar menambah teman tanpa harus keluar rumah.
Demi kesembuhan, Rini dan orangtuanya menempuh jalan pengobatan alternatif. Ia asih punya harapan matanya dapat disembuhkan. Bahkan pada 1994, ia dan ibunya rela kos selama satu bulan untuk menjalani pengobatan di Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Namun pengobatan itu tak menunjukkan kemajuan.
Suatu hari, Rini tengah mendengarkan siaran radio yang mengisahkan mengenai Panti Sosial Bina Netra (PSBN) di Solo, Jawa Tengah. “Saya mendengar tentang teman- teman tuna netra yang diajarkan keterampilan dan pengetahuan akademis lainnya. Setelah mendengar siaran radio itu, saya seperti tersadar bahwa kini saatnya saya untuk bangkit,” ungkap Rini. Semangat hidupnya kembali merekah. Batinnya bergejolak. Hasratnya untuk kembali bersekolah pun begitu besar. Ia mengatakan kepada orangtuanya bahwa ia ingin bersekolah kembali, tetapi di Yogyakarta.
Pijar Semangat
Pada medio 1999, Rini mendaftarkan diri di SDLB Kalibayem, Yogyakarta. Di sanalah ia mulai belajar huruf Braille untuk tuna netra. Salah seorang guru memberinya reglet atau alat bantu untuk membuat titik- titik timbul yang akan membentuk suatu pola yang mengacu pada huruf-huruf Braille. Layaknya anak-anak yang baru belajar membaca, dengan penuh semangat ia belajar huruf Braille. Ia tak merasa letih meski harus belajar di sekolah dan mengulangnya di rumah.
“Begitu semangatnya belajar, saya sampai lupa waktu makan dan istirahat. Dalam waktu tiga minggu, saya sudah menguasai huruf Braille. Gairah belajar saya seolah tak terbendung,” kisah anak bungsu dari empat bersaudara ini.
Tamat SDLB, Rini melanjutkan sekolahnya di SMPN 2 Sewon, Bantul, Yogyakarta, pada 1996. Ia mengandalkan pendengarannya untuk merekam pelajaran. Ia ingin membuktikan, keterbatasan penglihatan tak menghalanginya untuk berprestasi. Ia menjuarai lomba pidato sewaktu peringatan Hari Kartini. Lulus SMP pada 1999, ia melanjutkan ke SMAN 1 Sewon, Bantul.
Dalam menjalani hari-harinya, satu-satunya hiburan adalah radio. Selain menjadi pendengar setia, Rini juga berpartisipasi dengan mengirim salam kepada teman-temannya. Lewat ajang berkirim salam itulah, ia berkenalan dan bersahabat dengan seorang pria bernama Sunardiyono.
“Sunar banyak membantu Rini, terutama saat Rini melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram, Yogyakarta. Sunar menginstal program JAWS, yakni program komputer bicara yang membantu Rini dalam mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Pada 2006, Rini lulus kuliah dengan predikat terbaik.
Tahun 2006, Rini pergi ke Jakarta. Setahun berselang, ia bergabung dengan Biro Tuna Netra Laetitia-Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta (LDD KAJ). Motivasi awalnya ialah untuk mencari lowongan pekerjaan bagi tuna netra. Tatkala mengetahui Laetitia memiliki kelompok koor, ia pun bergabung untuk mengembangkan talenta bernyanyinya. Bahkan, ia dan teman-temannya telah menghasilkan album kompilasi rohani.
Selain aktif di Laetitia, Rini mengajar di Lembaga Pendidikan Elsafan tingkat SD, pendidikan bagi tunanetra (2007-2010). Walaupun memiliki keterbatasan penglihatan, ia ingin berbagi apa yang dimilikinya. “Ia juga memotivasi anak-anak dengan keterbatasan penglihatan untuk tetap semangat dan pantang menyerah.” Kebutaan yang saya alami adalah cara Tuhan menyempurnakan hidup saya. Keterbatasan fisik justru menjadi jalan saya untuk memuliakan Tuhan melalui pencapaian-pencapaian yang sudah saya raih,” ungkap umat Paroki St Maria Tak Bercela Kumetiran Yogyakarta ini.
Pada 5 Desember 2009, Rini menikah dengan Sunar. Lalu, pada 2010, mereka tinggal di Yogyakarta dan dianugerahi seorang putri. Dua tahun kemudian, Rini diajak seorang teman untuk menjadi pengurus komunitas tuna netra Mata Hati, Yogyakarta. Saat ini, kegiatan komunitas ini adalah koperasi simpan pinjam, penyaluran beras zakat saat Idul Fitri dan penyaluran daging kurban saat Idul Adha. Rini berharap bisa terus memberikan diri bagi orang lain, khususnya sesama tuna netra.
Ivonne Suryanto