HIDUPKATOLIK.com – Judul tulisan ini pada dasarnya menirukan ekspresi banyak orang, terutama yang beragama Katolik, saat mengetahui susunan Kabinet Kerja yang diumumkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Dari 34 menteri yang dilantik, ada tiga menteri beragama Kristen, dan hanya satu orang yang beragama Katolik, yakni Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.
Jumlah yang hanya seorang itu adalah jumlah minimal setelah pada era sebelumnya ada juga beberapa versi di mana ada satu atau dua nama menteri beragama Katolik. Persoalannya, mengapa hanya satu dipilih? Terdapat beberapa kemungkinan jawaban sebagai berikut.
Pertama, dalam rangka memilih menteri, semua presiden pada umumnya, dan Presiden Jokowi pada khususnya, tidak memasukkan variabel agama sang calon menteri. Alasan ini bukan tanpa fakta. Sebagai contoh, tak ada satu pun menteri berlatarbelakang Muhammadiyah, sementera ada beberapa dari organisasi Nahdlatul Ulama.
Kedua, tak ada calon menteri yang pantas dan pas dari kalangan Katolik. Terkait ini, kita segera dapat menepis. Sejumlah nama dapat dengan mudah disebut, di mana secara kualifikasi dan kompetensi individual tak kalah, bahkan lebih, dibanding para menteri pilihan Presiden Jokowi.
Ketiga, sejatinya Katolik tidak menjadi faktor yang harus diperhitungkan secara politik. Dengan kata lain, ada atau tidak ada menteri yang Katolik tidaklah terkait dengan pengaruh politik dari kelompok Katolik yang sebenarnya tidak ada lagi, alias nol besar, terhadap konstelasi politik dewasa ini. Benarkah tak ada?
Pasca era Frans Seda, demikian pula pasca pengaruh politik kalangan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), komunitas Katolik di Indonesia hampir tidak memiliki gravitasi politik apapun. Kalaupun masih ada, nama seperti Sofyan Wanandi, maka tokoh itu kini sudah menua dan sejauh ini tak ada penerusnya. Adapun tokoh lain yang lebih muda, lebih banyak tampil sebagai individu, entah sebagai pengusaha, profesional, ataupun birokrat.
Tentu lain situasi jika Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) melakukan manuver politik. Sedikit saja ucapan Ketua Presidium KWI Mgr Ignatius Suharyo tentang jatah kursi bagi kelompok Katolik, bakal dianggap serius oleh elite politik Indonesia. Masalahnya, Ajaran Gereja menekankan bahwa hirarki tak terlibat atau dilibatkan dalam politik praktis. Dengan kata lain, tidak akan muncul pernyataan politis itu.
Maka, kelompok Katolik Indonesia memang harus menerima kenyataan ini: menjadi marjinal secara politik. Dan untuk kembali pada kejayaan era Frans Seda atau CSIS, kita membutuhkan waktu lama serta persiapan serius. Padahal, pada saat ini pula terdapat keengganan besar dari orang muda Katolik untuk aktif di partai politik. Citra politik yang kotor dan penuh kepalsuan juga turut menyumbang kepada kecilnya minat kaum muda Katolik yang kebanyakan dididik dan dibiasakan dengan nilai-nilai sebaliknya.
Sejalan dengan itu, minat menjadi pengusaha atau profesional amat menguat. Jalan hidup ini memang jauh lebih menjanjikan secara ekonomi. Belakangan ini juga muncul kecenderungan menjadi birokrat di berbagai instansi negara. Alhasil, sebelum para pengusaha, profesional ataupun birokrat Katolik itu menembus level puncak di bidang masing-masing, sulit kita mengharapkan kelompok Katolik dapat berkiprah dalam kancah politik.
Sekali lagi, kalaupun berkiprah, maka sebagai individu, harus siap-siap gigit jari, jika harus tersingkir. Bukan dari orang yang lebih pintar, tapi tersingkir atau kalah dibanding tokoh organisasi massa, tokoh yang memiliki jabatan di partai politik atau yang berpengaruh besar dalam elemen masyarakat tertentu.
Pada titik itulah kita mengharapkan organisasi massa Katolik seperti Ikatan Sarjana Katolik, Forum Masyarakat Katolik, atau Pemuda Katolik semakin intensif mengkonsolidasi diri, agar mampu memiliki gravitasi politik dan “mengamankan” para tokoh Katolik untuk tampil di pentas nasional.
Adrianus Meliala