HIDUPKATOLIK.com – Bersama rekan-rekannya, pria ini merintis kampung cyber, semua warga kampung terhubung dengan internet. Bos Facebook Mark Zuckerbeg mengunjunginya.
Tak disangka, pendiri jejaring pertemanan di dunia maya, Facebook, Mark Zuckerberg, rela meluangkan waktu untuk bertemu Antonius Sasongko Wahyu Kusumo. Di sela-sela waktu kunjungan ke Indonesia pertengahan Oktober lalu, Mark menjumpai Koko yang tinggal di Kampung Taman, RT 36, RW 9, Kelurahan Patehan, Kecamatan Keraton, Sleman, DI Yogyakarta.
Rupanya, Mark tertarik berkunjung ke Kampung Taman, lantaran hampir seluruh rumah di kampung ini terhubung dengan internet, dan Facebook menjadi media komunikasi antarwarga di kampung ini. Kokolah sang pencetus ide menjadikan internet sebagai sarana komunikasi antarwarga di kampung ini.
Pertemuan Koko dengan Mark ini tanpa rencana. Hari itu, Koko sedang bersantai di rumah sembari menonton tayangan di televisi. Tiba-tiba, seorang asisten Mark datang menjumpainya di rumah. Ia diminta menemui Mark yang akan berkunjung ke kampungnya.
Koko pun berjumpa dengan Bos Facebook itu dalam suasana sederhana, tanpa persiapan apapun. Meskipun singkat, pertemuan itu memberikan kesan mendalam bagi Koko. Ia amat senang bisa berjumpa dengan Mark. “Apalagi saya juga bertemu lewat Facebook,” ujar Koko diiringi tawa.
Internet pos ronda
Tak pernah terbayang dalam benak Koko untuk menjadikan kampungnya sebagai sebuah kampung cyber. Ide itu muncul enam tahun lalu, tepatnya Juli 2008. Ketika itu, Koko berinisiatif membuat blog yang berisi catatan-catatan dan foto tentang keunikan yang ada di RT-nya. Ia hanya ingin berbagi tentang kegiatan dan karakter warga kampungnya. “Kampung ini unik. Berada di tengah kota, tapi masih sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Meski berbeda keyakinan, tapi terasa sangat guyub dan rukun,” kisah umat Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran, Yogyakarta ini.
Gayung rupanya bersambut. Upaya Koko ini mendapat perhatian dari warga kampung. Koko pun mulai memperkenalkan komputer dan internet kepada warga kampung. Ia menggelar pelatihan sederhana bagi warga agar melek internet. Ia pun membuat jaringan dengan komputer yang dimiliki beberapa warga. “Awalnya, warga di RT ini yang punya akses internet hanya tiga orang saja,” ceritanya. Maka, Koko pun menyediakan layanan internet gratis di pos ronda sebagai sarana pembelajaran bagi warga. Tak lupa, pria kelahiran Yogyakarta, 10 Mei 1979 ini, juga memberikan pemahaman tentang dampak positif dan negatif penggunaan internet.
Upaya putra pasangan Herman Yosef Sukirman dan Caecilia Istri Puji Astuti terus berlanjut. Rumah di kampung ini yang saling berdempetan memudahkan Koko untuk membuat jaringan kabel internet antarrumah. Dari 44 kepala keluarga di RT ini, hampir 90 persen telah terhubung dengan internet. “Kalau yang sudah simbah-simbah kan ndak butuh internet,” celetuk lulusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini sembari tertawa.
Untuk biaya layanan internet itu, warga sepakat beriuran setiap bulan. “Warga cukup punya komputer di rumah. Server berada di rumah saya. Jadi, warga tinggal nyambung lewat kabel saja,” jelas Koko seraya menjelaskan bahwa uang iuran itu setelah terkumpul Rp 720 ribu digunakan untuk membayar langganan internet ke Telkom. Dalam pembayaran langganan internet ini, diakui ada keringanan dari Telkom, karena ini merupakan upaya pemberdayaan warga masyarakat. “Kami seharusnya bayar langganan lebih dari satu juta rupiah per bulan,” imbuh ayah satu anak ini.
Sadar informasi
Upaya Koko memberdayakan warga kampung melalui internet mulai berbuah. Dalam kampung ini terbangun suasana di mana warga semakin sadar akan informasi dan perkembangan teknologi komunikasi. Semula, warga hanya memanfaatkan internet sebagai media komunikasi antarwarga saja, seperti untuk mengundang pertemuan warga, memberikan kabar tentang kelahiran bayi, atau menyampaikan berita kematian warga.
Namun, perlahan tapi pasti, warga mulai memanfaatkan internet sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Di kampung ini, banyak warga yang memiliki usaha batik tulis. Sebelum mengenal internet, warga menjual hasil karya batiknya secara konvensional atau dititipkan di galeri. Mereka menunggu pembeli datang. Tapi kini, para pengrajin batik itu mulai mempromosikan lewat blog. Mereka juga membuat jejaring bisnis melalui internet. “Bahkan, sudah ada yang memiliki jaringan bisnis batik sampai ke luar negeri,” tutur mantan Ketua Mudika Lingkungan St Blasius Selatan Taman ini.
Sarana internet ini juga dimanfaatkan anak-anak yang bersekolah. “Sekarang kan tugas-tugas sekolah modelnya lewat email, maka jaringan internet juga bermanfaat bagi anak-anak yang bersekolah” papar Koko. Meski demikian, Koko selalu menegaskan tentang dampak penggunaan internet ini. “Maka, saya selalu menyarankan agar orangtua selalu mendampingi anak-anaknya saat menggunakan internet. Saya sangat mengedepankan pendampingan orangtua!” tegas Koko.
Antonius Sasongko Wahyu Kusumo
TTL: Yogyakarta, 10 Mei 1979
Istri: Marina Prita Trisnareswari
Anak: Andrea Kiaria Salasika
Pendidikan:
• SD Kanisius Kumendaman, Yogyakarta (1984-1990)
• SMP Maria Immaculata Yogyakarta (1990-1993)
• SMU Negeri Tirtonirmolo Yogyakarta (1993-1996)
• Institut Seni Indonesia (1996-2002)
Pekerjaan:
• Desainer grafis di PT Intan Pariwara (Maret 2003-Agustus 2004)
• Desainer grafis di Penerbit Empat Pilar Yogyakarta (September 2004-Juli 2008)
• Pendiri dan pemilik Koko Independent Image Planner (Juli 2008- sekarang)
H. Bambang S.