HIDUPKATOLIK.com – Romo Erwin, saya seorang duda dengan lima anak. Istri saya meninggal satu tahun yang lalu. Saya mencintainya dan kami hidup damai sampai ia meninggalkan kami. Tetapi sesudah satu tahun, saya merindukan sosok istri dan membutuhkan pendamping. Saya berjumpa dengan seorang dari suku yang sama. Tetapi, ia hanya mau menikah jika saya mengikuti agama yang dianutnya. Menikah, katanya, bukan demi kenikmatan duniawi saja, melainkan untuk melakukan pengabdian kepada Tuhan. Saya mencintainya, tetapi saya juga mencintai Gereja Katolik. Saya bingung, saya membutuhkan orangtua bagi anak-anak kami yang belum dewasa semuanya.
Edwin, Palangkaraya
Saudara Edwin yang baik, saya ikut prihatin dengan kepergian istri Anda yang meninggalkan lima anak dan Anda sendiri. Saya ikut bangga karena Anda dan istri dulu adalah pasangan yang saya yakin percaya pada kebaikan Tuhan, sehingga mempersilakan Tuhan menganugerahi anak yang dikehendaki-Nya. Saat ini Anda pun masih memikirkan mereka dan nasib mereka yang tanpa ibu. Saya memuji jiwa kebapakan Anda.
Meninggalnya istri tentu membuat Anda kembali bebas menentukan pilihan untuk menikah lagi atau tetap hidup sendiri. Anda tidak bermasalah untuk itu. Tetapi sejauh kita berbicara mengenai peraturan dan hukum Gereja, maka kita pun harus meletakkan semua keputusan di bawah hukum yang sama, yaitu hukum kanonik. Anda tetap dapat menikah lagi dengan ketundukan pada tata peraturan Katolik.
Pernikahan kembali harus memikirkan bahwa Anda akan memperbaiki situasi dan kondisi dengan orang baru bersama anak-anak Anda tercinta. Saya mengerti bahwa Anda dan anak-anak membutuhkan seorang ibu. Tetapi secara realistis, seluruh anggota keluarga harus tahu bahwa ibu mereka sebenarnya sudah tiada. Yang benar adalah memberi kekuatan kepada anak-anak menghadapi kenyataan ini. Jika kemudian muncul “ibu baru” dalam hidup kalian, harus dipastikan seluruh keluarga semakin sejahtera lahir-batin.
Jika Anda bertemu dengan seseorang yang fanatik pada agamanya (sayangnya Anda tidak menyebutkan apa agama calon), maka sikap ini akan berpengaruh pada hidup bersama Anda dan anak-anak. Jika ia adalah seorang yang kooperatif dan memahami Anda sebagai orang Katolik, maka ia akan memahami bahwa Anda tidak bisa menikah di luar Gereja Katolik. Keyakinan akan sikap ini saja sudah sangat penting. Anda tentu tidak bermaksud mencari perkara dan persoalan baru dengan pernikahan ini, bukan?
Jelaskan kepadanya, bahwa Gereja Katolik tidak memaksa orang untuk masuk agama Katolik karena perkawinan. Gereja hanya bahagia, jika seorang calon memang dengan bebas dan rindu ingin menjadi Katolik dalam hidupnya. Sampaikan hal ini agar tidak terjadi kecurigaan Katolisasi dalam perkawinan. Sedangkan, kalau Anda menikah di dalam institusi agama lain, Anda pindah agama dan sekeluarga langsung bermasalah dengan Gereja. Salah satunya, adalah tidak dapat menerima komuni atau diekskomunikasi. Hal ini harus diketahui oleh semua pihak non-Katolik, jika ia mau menikah dengan seorang Katolik.
Diskusikan lagi posisi Anda. Ingatlah, seorang ibu, entah dia kandung atau tiri, akan sangat menentukan perkembangan fisik, psikis, sosial, dan spiritual anak-anak Anda juga. Tidak mungkinlah akan muncul seorang pribadi yang demokratis dan terbuka, jika ia sendiri tidak menghormati iman orang lain. Justru karena Gereja Katolik menghormati agama lain, maka tidak memaksa pihak non-Katolik untuk pindah agama, tetapi di institusi agama lain, semua orang yang dinikahkan, secara otomatis akan pindah keyakinan. Jika demikian, Gereja memang lebih adil.
Anda perlu bertanya kepada anak-anak mengenai kesan pada “calon ibu baru” yang Anda pilih. Tentu pilihan terbaik adalah yang memenuhi kriteria sebanyak mungkin pihak, bukan hanya Anda sendiri, sebab sekarang ini Anda adalah seorang duda dengan lima anak yang berbeda usia dan kebutuhan. Jadilah bijaksana dan pastikan bahwa keputusan ini bukan demi diri Anda sendiri. Tuhan memberkati.
Alexander Erwin Santoso MSF