HIDUPKATOLIK.com – Panggilan melayani orang sakit dirasakan ketika menjadi dokter di barak prajurit. Baginya, hanya satu cara menjadi dokter bagi jiwa banyak orang adalah menjadi imam.
Orang menyebut tempat itu Cuartel Fantasma, ‘barak hantu’. Hingga kini, tempat itu selalu berwajah seram dan menakutkan. Cuartel Fantasma yang terletak di Barcelona, Spanyol, menjadi saksi sejarah revolusi. Tempat ini menandai Perang Sipil (Juli 1936-April 1939) yang disinyalir sebagai bentuk protes masyarakat bawah terhadap para latifundia, ‘tuan tanah’. Perang ini antara kelas pekerja industri dibantu militer, yang berupaya membersihkan pemerintahan yang korup.
Antony Beevor dalam buku The Battle for Spain, The Spanis Civil War menyebutkan, di salah satu pihak, ada kaum republik yang setia kepada pemerintahan, para tokoh demokratis, dan masyarakat urban. Di pihak lain, ada kaum nasionalis yang dibantu golongan Falangsit hingga aristokrat konservatif, di bawah panji Jenderal Fransisco Franco. Ada polarisasi politik yang hidup dalam dua kubu. Nasionalis terdiri atas orang Katolik, militer, dan pemilik tanah. Sementara kaum Republik terdiri dari pekerja, buruh tani, serta kelas menengah terdidik.
Api kobaran ini menghanguskan beberapa kota penting di Spanyol, seperti Madrid, Valencia, Bilbao, Malaga, dan Barcelona. Aset Gereja menjadi sasaran empuk yang diperebutkan. Meski kemenangan berpihak pada kaum Nasionalis, tapi di seantero Spanyol menjadi hancur. Seribu orang diperkirakan tewas.
Tidak saja karena perang saudara, mereka gugur dalam beberapa aksi pemboman, eksekusi, dan pembunuhan. Bahkan, ada pula yang meninggal karena kekurangan gizi, penyakit, dan kelaparan. “Masyarakat Spanyol kehilangan harapan. Franco mengontrol semua lini kehidupan. Gerakan anti-komunisme, anti-liberalisme hanya slogan belaka. Gereja dipaksa melayani dalam pantauan kaum Nasionalis.” Demikian tulisan Pere Tarrés I Claret, dokter muda yang berkarya di barak Cuartel Fantasma dalam bukunya.
Menyelamatkan Jiwa
Tahun 1938, sebagai dokter muda, Pere dipaksa terjun ke barak untuk melayani para tentara yang sakit. Dalam situasi itu, ia menyaksikan betapa Franco dengan otoriter telah mengguncang Spanyol. Semua aspek kehidupan berada pada cengkeramannya. Franco tak segan menghabisi para prajurit pembelot dan menolak berperang demi negara. Franco juga menolak memberlakukan segala bentuk desentralisasi administratif maupun legislatif. Franco juga berusaha menghapus otonomisasi dalam kamus pribadinya. Banyak orang terpaksa berperang “buta” hanya untuk menyenangkan nafsu kekuasaan Franco. Ketika seorang prajurit terluka, Franco tak menyediakan perawatan medis yang layak.
Menurut Pere, kehadirannya seakan tak mengubah apapun. Ia menyaksikan kondisi barak yang sangat tidak layak. Hanya dipan sempit berukuran tiga kali empat meter yang ditiduri oleh lima hingga enam orang secara bergantian. Seringkali, prajurit yang terluka harus menahan sakit karena tak ada perawat. Mengeluh hanya hanya memperpendek umur mereka.
Banyak prajurit menderita tekanan fisik dan mental. Mereka bisa tertawa, tapi hati menangis. Fasilitas medis di barak yang minim membuat Pere terpaksa lebih mementingkan orang yang sakit parah ketimbang yang lain. Kadang-kadang, ada yang sudah meninggal, sebelum ia sempat merawatnya. “Situasi ini membuat saya stres. Saya gagal menyelamatkan nyawa banyak orang yang seharusnya masih bisa hidup,” tulisnya suatu kali.
Setahun menjadi dokter di barak, Pere berefleksi, bahwa ia harus mampu mengobati jiwa-jiwa para prajurit itu. Pengobatan secara fisik tak menghapus luka yang membekas dalam hati. Ia yakin, banyak prajurit yang tewas dengan kebencian kepada negara sendiri. Sampai titik ini, ia berharap, kelak bisa menjadi dokter bagi jiwa banyak orang itu. Untuk itu, hanya satu jalan, ia harus menjadi imam.
Pere pun memutuskan masuk seminari di Barcelona pada 29 September 1939. Karena kebaikan hati dan ketulusannya, Pere hanya menempuh pendidikan selama empat tahun, sebelum ditahbiskan pada 20 Mei 1942. Setelah itu, Pastor Pere ditugaskan sebagai Kepala Paroki St Stefanus Sesrovile, Barcelona. Setahun kemudian, ia ditugaskan melanjutkan studi teologi di Universitas Kepausan Salamanca, Spanyol.
Saat ia kembali ke Barcelona pada 1944, Pastor Pere menjadi dokter spiritual bagi banyak orang miskin di Barcelona. Selain itu, ia juga diangkat sebagai kepala perlindungan para pekerja seks komersial, yang mendapat terapi khusus di Rumah Sakit Magdalen, Barcelona.
Sepanjang pelayanannya, Pastor Pere tak pernah memilih. Ia menjadi bapak spiritual bagi banyak perempuan. Ia memberi penghiburan dan membangkitkan lagi kepercayaan mereka yang hilang. Totalitasnya ini kadang-kadang membuat ia lupa akan kesehatan sendiri. Sampai akhirnya, ia terserang kanker getah bening.
Siapa sangka, raga “imam penyembuh jiwa” ini tak sanggup menahan gempuran kanker yang menggerogoti. Pastor Pere pun menerima Sakramen Minyak Suci sesaat sebelum ia menutup mata untuk selamanya. Ia meninggal dunia pada 31 Agustus 1950 dalam usia 45 tahun. “Saya bersukacita, karena telah menjadi dokter jiwa bagi banyak orang. Saya akan mati sebagai imam yang baik dalam perjuangan derita Salib Kristus,” begitu ungkapan terakhirnya. Jazadnya dimakamkan di pemakaman Montjuic, Spanyol. Pada 6 November 1975, jazadnya dipindahkan ke Gereja St Vincente Sarrià, Barcelona.
Aktivis Sosial
Pere lahir di Manresa, 30 mei 1905. Manresa adalah sebuah wilayah di Provinsi Barcelona, Catalunya, Spanyol. Orangtuanya, Francesc Tarrés Puigdellívol dan Carme Claret Masats. Tarrés dan Carme dikenal sebagai orangtua yang sangat disiplin dalam mendidik Pere, bersama dua adik perempuannya. Lebih-lebih sang ibu, yang selalu menanamkan agar tiga anaknya harus punya hati untuk orang miskin.
Hal ini membentuk Pere tumbuh menjadi remaja yang peka terhadap orang kecil. Dalam perjumpaan dengan orang miskin, ia menyaksikan banyak orang yang tak mendapatkan perawatan yang baik. Muncul keinginan menjadi dokter bagi banyak orang miskin. Maka setelah lulus dari Kolese St Ignatius Manresa, Pere masuk Fakultas Kedokteran Universitas Barcelona pada 1921.
Saat menempuh pendidikan, Pere bertemu dengan Pastor Jaume Serra. Lewat Pastor Serra pula, Pere segera bergabung dengan Federasi Orang Muda Kristen Catalonia. Melihat rekam jejaknya yang bagus, Pere diangkat sebagai Presiden Federasi. Pada masa kepemimpinan Pere, para pelayan Gereja sedikit terbantu, dengan kehadiran misionaris awam, yang terdiri dari kaum muda yang ditugaskan ke pelosok-pelosok Barcelona.
Banyak orang mengenalnya sebagai pekerja keras. Dengan sebuah mobil yang disebutnya Instrumen of Work, ia bisa berkeliling dari desa ke desa di seluruh Catalonia. Ia mengajak kaum muda bergabung bersamanya. Melihat kerjanya yang luar biasa, Uskup Agung Tarragona, Spanyol, Kardinal Francesc Vidal y Barraquer (1868-1943) mengangkatnya sebagai Wakil Sekretaris Komisi Kepemudaan Catalunya. Jabatan ini ia emban hingga menyelesaikan studi dokter.
Proses beatifikasi Pastor Pere dibuka oleh Keuskupan Agung Catalunya. Pada 19 Juni 1980, berkas beatifikasinya diterima dan diakui Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan, maka ia pun digelari Hamba Allah. Pada 1982, proses ini berlanjut lagi dengan penyelesaian seluruh dokumen beatifikasi. Proses ini selesai pada 1993. Pengakuan akan perjuangannya sebagai dokter orang miskin diakui pada 1997, lalu diteruskan dengan penerimaan gelar venerabilis pada 22 Juni 2004. Ia dibeatifikasi pada 5 September 2004 oleh Paus Yohanes Paulus II (1920-2005) di Loreto, Italia.
Yusti H. Wuarmanuk