HIDUPKATOLIK.com – Berawal dari keprihatinan akan banyaknya anak yang kurang kasih sayang, Romo J.B Prenthaler SJ mendirikan panti asuhan di kaki Pegunungan Menoreh. Ia berharap, anak-anak itu berhasil.
Memasuki halaman Panti Asuhan Brayat Pinuji Boro, suasana terasa teduh dan nyaman. Melodi keceriaan anak-anak semakin terdengar merdu di telinga, ketika langkah kaki masuk lebih dalam di kompleks panti. Satu dua anak terlihat bermain di halaman panti yang ditumbuhi beberapa tanaman teduh.
Suasana pedesaan yang mengelilingi panti, menyumbangkan kedamaian bagi siapa saja yang tinggal di panti. Di kejauhan, terlihat perbukitan Menoreh yang semakin menambah sejuk kesan damai suasana panti.
PA Brayat Pinuji terletak di Dusun Boro, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo, DI Yogyakarta. Panti ini merupakan salah satu cabang karya sosial para Suster OSF Semarang untuk anak-anak telantar yang butuh perawatan, pendidikan, dan tempat tinggal. Di panti khusus putri itu tinggal anak-anak balita hingga remaja.
Awal Pelayanan
Brayat Pinuji berarti “Keluarga Kudus”. Panti ini dirintis sejak 1930 oleh Romo J.B Prenthaler SJ, misionaris pertama di Boro. Romo Prenthaler yang berkebangsaan Austria ini awalnya mendirikan panti di belakang RS St Yusuf Boro. Sampai puluhan tahun tak ada yang berubah dengan panti ini.
Seiring waktu, saat jumlah anak dan kebutuhan kian bertambah, panti berinisiatif membangun gedung baru di sebelah barat Gereja St Theresia Lisieux Boro pada 1995. Gedung lama selanjutnya digunakan untuk Panti Wreda St Monica Boro.
Sr M. Corry OSF mengungkapkan, penghuni panti berasal dari berbagai daerah, seperti Surabaya, Jakarta, Papua, dan daerah lain. Menurutnya, permasalahan yang dihadapi dan akhirnya membawa anak-anak ini masuk ke panti, adalah karena broken home, yatim piatu, anak keluarga ekonomi lemah, ada juga karena hasil hubungan luar nikah. “Minimal anak dibantu sampai lulus SLTA, dan setelah dapat kerja, kami lepas. Tapi jika cukup cerdas, berkepribadian baik dan punya sponsor, mereka dapat melanjutkan ke perguruan tinggi,” terangnya.
Saat ini, menurut pimpinan PA Brayat Pinuji ini, ada 65 anak yang menjadi penghuni panti. Mereka terdiri balita dari umur dua tahun, TK, SD, hingga SMP. Mereka sekolah di Pangudi Luhur, lainnya di Marsudirini Boro.
Sr Corry bertugas di panti putri ini sejak empat tahun silam. Selama itu, ia merasakan sulitnya menangani para remaja putri, khususnya mereka yang berlatar belakang dari keluarga bermasalah. Ia melihat, anak-anak usia remaja ini sedang dalam masa pencarian identitas diri. Ia menemukan, beberapa anak memiliki kecenderungan memberontak, dan beberapa juga pacaran secara sembunyi-sembunyi. “Salah satu efek dari masalah ini adalah nilai sekolahnya merosot.”
Pola Pendidikan
Sebagai strategi pendampingan, Sr Corry tak bosan-bosan mengingatkan tanggung jawab masing-masing pribadi. Ia selalu menekankan, kalau ada anak asuh yang tidak patuh aturan, ia dapat bersikap keras. “Di kalangan anak-anak saya dikenal galak. Ini saya maksudkan agar mereka bisa ngerem, tidak lepas kendali. Kalau tidak ada yang ditakuti, bubar nanti.”
Di panti putri ini, anak-anak selain mendapatkan pendidikan formal di sekolah umum, mereka juga diberikan pendidikan non formal dan pelajaran tambahan. Sr Corry menceritakan, pendidikan tambahan ini misalnya menari, bermusik, komputer, les bahasa Inggris dan membantu di beberapa unit kerja yang ada di panti.
PA Brayat Pinuji memiliki beberapa unit ekonomi produksi (UEP), seperti ternak sapi, berkebun, dan membuat asesoris Rosario. UEP dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan bakat, minat serta memberikan keterampilan pada anak. Hasil produksi UEP ini dimanfaatkan untuk menambah pemasukan panti tersebut. “Dengan ini, setidaknya mereka belajar untuk kreatif dan berusaha menghasilkan sesuatu,” kata Sr Corry.
Bantuan biaya pendidikan ternyata diberikan juga kepada beberapa anak-anak dari keluarga tidak mampu, yang tinggal di luar panti. Umumnya, lanjut Sr Corry, mereka duduk di bangku sekolah kejuruan. Beberapa diantaranya juga dibantu dalam menyelesaikan pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
Meski statusnya sebagai panti putri, tapi PA Brayat Pinuji juga mengasuh dua balita putra. Yang satu baru umur dua tahun, sedangkan satunya lima tahun. “Nanti kalau sudah masuk SD akan kami pindahkan ke panti putra,” tutur Sr Corry.
Panti Putra
Tak jauh dari panti putri ini, ada panti putra, dengan nama PA Sancta Maria. Panti ini diasuh para Bruder FIC. Br Petrus Paijan FIC, pimpinan panti menceritakan, semula panti yang ditanganinya itu dikelola seorang guru bernama Martodiharjo. Pada 1936, Romo Prenthaler, Pastor Paroki St Theresia Lisieux Boro saat itu, mengajukan permohonan kepada Pemimpin Umum Bruder-bruder Congregatio Fratrum Immaculatae Conceptionis Beatae Maria Virginis (FIC) di Mastricht, Belanda, untuk mengelola PA yatim-piatu tersebut.
Gayung bersambut, ternyata permohonan Romo Prenthaler dikabulkan. Dua tahun kemudian, FIC mengutus sejumlah bruder ke Boro. Pengambilalihan panti putra ini pun dilaksanakan pada 5 Agustus 1938. Inilah yang hingga kini dijadikan hari lahir PA Boro.
Br Paijan yang akrab disapa Br Pai menjelaskan, didirikannya panti putra di kompleks Gereja St Theresia Lisieux Boro ini untuk membantu pendidikan serta menyekolahkan anak-anak yatim-piatu yang telantar. Diharapkan, anak-anak itu akan menjadi mandiri setelah dididik di panti.
Disebutkan, mereka yang tinggal di panti putra berasrama ini ada 50 anak, sedangkan 12 lainnya berada di luar panti. Mereka yang di luar panti, lanjut Br Pai, sudah menempuh pendidikan di sekolah kejuruan atau SMK, dan bahkan kuliah di luar Yogyakarta. “Di panti ini, kami mengasuh anak-anak sejak dari TK sampai kuliah. Kalau masih bayi, kami tidak mampu menangani,” tutur Br Pai.
Saat awal masuk panti, beberapa anak sangat terlihat kurang mendapatkan kasih sayang. Kondisi ini kadang dimulai sejak kecil. Br Pai bahkan mendapati, beberapa anak sudah mulai kecanduan merokok.
Dalam menangani panti putra, Br Pai dibantu dua bruder dan sepuluh tenaga awam. Untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk biaya sekolah, kos, dan asrama, mereka dibantu Yayasan Dharmais, Dinas Sosial Provinsi DI Yogyakarta, para donatur dan Yayasan Budi Mulya Semarang.
Seperti halnya di Panti Putri Brayat Pinuji, di panti putra anak-anak dilatih musik, seperti main drum, gitar, dan kulintang. Kegiatan olahraga badminton, bola voli, dan sepak bola juga dijadwalkan rutin. Selain itu, mereka juga diberi pendidikan keterampilan, baik bidang pertanian, peternakan, perikanan, dan industri rumah tangga.
Meski mereka berasal dari berbagai daerah dan agama berbeda, tapi anak-anak bisa hidup berdampingan secara kekeluargaan. “Di panti ini anak-anak diasuh seperti keluarga sendiri. Pengasuh berperan sebagai orangtua dan anak-anak selalu diperhatikan,” pungkas Br Pai.
H. Bambang S.