HIDUPKATOLIK.com – Ia menjadi komposer musik pertama yang menerima Ratzinger Prize. Melalui musik, ia mencari kebenaran, keindahan, dan kemurnian hidup.
Tepuk tangan membahana di Clementine Hall Vatikan, ketika Paus Fransiskus muncul di pintu masuk tepat pukul 11:40 waktu Roma, Italia. Semua yang hadir berdiri, termasuk tiga penerima Ratzinger Prize. Hari itu, Sabtu, 18 November tahun lalu, komposer Arvo Pärt bersama teolog Lutheran dan Direktur Institut Riset Ekumenis Strasbourg Profesor Theodor Dieter serta Profesor Emeritus dari Universitas Bonn, Jerman Pastor Karl-Heinz Menke menerima Ratzinger Prize dari tangan Paus Fransiskus.
Ratzinger Prize bisa disebut sebagai “Nobel” dalam bidang teologi. Hadiah Ratzinger diberikan oleh yayasan yang didirikan Paus Emeritus Benediktus XVI, dan sejak 2011 telah memberikan Ratzinger Prize. Nama “Ratzinger” dipakai untuk mengabadikan nama asli Paus Emeritus Benediktus XVI, Joseph Ratzinger. Ratzinger Prize dirancang untuk menghormati individu-individu yang secara serius dan konsisten melakukan penelitian dalam bidang teologi dan bidang terkait, termasuk karya seni religius.
Selama ini, para penerima Ratzinger Prize didominasi para teolog. Baru kali ini, Arvo Pärt, yang seorang komposer musik klasik masuk dalam jajaran penerima Ratzinger Prize 2017. Bisa dimaklumi, selain seorang teolog andal, Paus Emeritus Benediktus XVI juga pencinta karya seni klasik.
Satu persatu, para penerima Ratzinger Prize menghadap Paus Fransiskus untuk menerima penghargaan tersebut. Sesaat Arvo Pärt membungkuk di hadapan Paus. Bapa Suci pun segera menjabat erat tangan umat Gereja Ortodok Rusia itu.
Jelang akhir acara, lagi-lagi, Arvo Pärt maju ke depan. Kali ini, ia ditemani Matteo Ruggeri, penyanyi solo dari Accademia Nazio nale di Santa Cecilia. Jemari Arvo Pärt langsung menari di atas tuts-tuts piano. Alunan piano berpadu apik dengan suara merdu Matteo Ruggeri. Mereka menyajikan komposisi Pater Noster karya Arvo Pärt, yang pernah didedikasikan untuk Paus Emeritus Benediktus XVI saat merayakan 60 tahun imamat. Sehari sebelum menerima Ratzinger Prize, Arvo Pärt bersama dua penerima yang lain serta Presiden Yayasan Ratzinger Pastor Federico Lombardi SJ, mengunjungi Paus Emeritus Benediktus XVI.
“Saya sangat tersentuh dan bersyukur atas penghargaan ini, atas kepercayaan dan kehormatan ini. Tapi, bukanlah tugas yang mudah untuk tetap layak menerima kehormatan ini. Bagi saya, menerima Ratzinger Prize adalah sebuah tantangan besar. Karena penghargaan ini bukanlah penghargaan biasa yang bisa digunakan untuk bermegah diri. Maka, tolong doakan saya,” tutur Arvo Pärt.
Tragedi Credo
Arvo Pärt lahir 11 September 1935 di Paide, Estonia. Meskipun ketika Arvo Pärt lahir, Estonia adalah sebuah negara yang merdeka, Uni Soviet mendudukinya pada 1940 sebagai akibat Perjanjian Molotov-Ribbentrop Soviet-Nazi. Pada usia tiga tahun, keluarganya pindah ke Rakvere. Di sinilah, ia berkenalan dengan musik. Ia belajar di Sekolah Musik Rakvere. Setelah lulus, ia melanjutkan belajar di Sekolah Musik Tallinn.
Pada usia 15 tahun, Arvo Pärt berhasil menyusun komposisi sendiri. Pada 1957, dia melanjutkan studi di Konservatorium Tallinn. Kala itu, banyak orang yang kagum dengan kemampunannya. “Dia kelihatan hanya mengayunkan lengannya dan not-not musik akan keluar begitu saja,” komentar beberapa orang.
Tak perlu waktu lama, Arvo Pärt cepat terkenal, terutama di kalangan pemusik. Bahkan pemerintah Soviet menganggap ia sebagai komposer paling orisinal dan hebat dari generasinya.
Baru pada 1968, sebuah tragedi menimpa Arvo Pärt. Suatu kali, ia menampilkan komposisi berjudul “Credo”. Melalui karya itu, ia secara terbuka mengakui imannya akan Kristus. Tapi bagi rezim yang berkuasa di Uni Soviet, hal itu merupakan tindakan provokatif dan melawan ideologi Soviet. “Credo” pun dilarang keras untuk ditampilkan.
Arvo Pärt mengalami krisis pribadi yang mendalam. “Saya seperti kehilangan arah dan itu sangat menyiksa,” kenangnya. Bahkan, penulis biografi Arvo Pärt, Paul Hillier, berkata, “Ia telah jatuh pada ke putusasaan, di mana komposisi musik tampak menjadi upaya yang paling sia-sia. Ia kehilangan keyakinan musiknya serta semangat untuk menuliskan, bahkan satu not saja.”
Pada masa-masa krisis itu, Arvo Pärt menenggelamkan diri dalam musik klasik. Ia mempelajari plainsong dan Gregorian. Pada saat yang sama, ia juga mulai serius mempelajari agama dan kemudian bergabung menjadi jemaat Gereja Ortodoks Rusia.
Tintinnabuli
Tragedi “Credo” justru seperti kembali melahirkan Arvo Pärt. Selama masa krisis, ia mencipta suatu komposisi yang berbeda. Ia menyebut komposisinya sebagai tintinnabuli atau bunyi dering lonceng kecil. Komposisi ini dibangun dengan harmoni sederhana, bahkan seringkali dengan not-not tunggal, mirip dering lonceng yang tertiup angin.
Arvo Pärt mengatakan, musiknya mirip cahaya yang menembus sebuah prisma, berpendar membentuk pelangi suara. “Musik ini mungkin menghasilkan makna yang berbeda bagi masing-masing pendengarnya, dan dengan demikian menciptakan sebuah spektrum pengalaman musik, mirip cahaya pelangi.”
Tintinnabuli, bagi Doktor Honoris Causa dari Institut Kepausan untuk Musik Suci ini juga merupakan ideologi dan sikap yang sangat pribadi. “Musik ini berdasar tradisi dan nilai Kristiani, serta sebagai sarana bagi saya untuk mencari kebenaran, keindahan, dan kemurnian,” ujar pria yang pernah menjadi salah satu anggota Dewan Kepausan untuk Kebudayaan ini.
Pada Januari 1980, Arvo Pärt hijrah ke Wina, Austria bersama istrinya, Nora dan dua putra laki-laki. Setahun kemudian, Arvo Pärt pindah ke Berlin, Jerman. Selama 30 tahun, ia tinggal di Berlin. Komposisi musik karya Arvo Pärt mulai dikenal luas oleh khalayak musik di Barat, berkat Manfred Eicher yang merekam beberapa komposisi untuk ECM Records pada 1984.
Karya musik Arvo Pärt paling tidak telah mengiringi lebih dari 50 film, seperti Fahrenheit 9/11, Wit, Touching the Void, dan Gerry. Sementara komposisi bertajuk For Lennart, ia persembahkan untuk me ngenang Presiden Estonia Lennart Meri, dan dimainkan pada pemakamannya, 2 April 2006.
Pada medio 2006-2007, seluruh penampilannya di hadapan publik, ia dedikasikan untuk menghormati wartawati Rusia, Anna Politkovskaya, yang dibunuh pada 7 Oktober 2006. “Anna telah mempertaruhkan seluruh bakat, energi dan nyawanya untuk menyelamatkan orang-orang yang telah menjadi korban pelecehan yang meluas di Rusia,” ucapnya.
Ke Estonia
Setelah Estonia kembali merdeka pada 1991, Arvo Pärt beberapa kali pulang ke tanah airnya. Ia menggelar konser bersama di Tallinn Chamber Orchestra dan Estonian Philharmonic Chamber Choir. Pada awal tahun 2000, ia mulai rutin menggelar konser di kota asalnya Paide dan Rakvere, dan juga di Tallinn.
Sejak 2010, ia bersama keluarga menetap di Estonia dan mendirikan Arvo Pärt Center untuk memelihara karya-karyanya. Pada tahun yang sama, saat ia berulang tahun ke-75, diadakan Arvo Pärt Festival.
Y. Prayogo