HIDUPKATOLIK.com – Banyak pokok strategis dibahas dalam Sinode IV Keuskupan Denpasar. Ujungnya adalah memiliki iman tangguh agar menjadi saksi Kristus dalam setiap lingkup kehidupan.
Bernadus I Wayan Purwanto tinggal di Desa Tumbakbayu Badung Bali. Ia satu-satunya kepala keluarga yang beragama Katolik. Rumahnya bahkan berada di sentra-sentra kegiatan agama Hindu, misal balai banjar atau balai pertemuan. Namun, Pur, sapaannya, memberi nama gang rumahnya; Burung Gereja. “Bali dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura. Sebuah penegas, Hindu adalah agama yang dianut sebagian besar penduduk Bali,” kata Pur di sela-sela Sinode IV Keuskupan Denpasar akhir November silam.
Pur adalah orang Bali asli. Karena itu, seperti lazimnya di Bali, ia membuat “aling-aling” di depan rumahnya. Aling-aling adalah tembok kecil di depan pintu. Tujuannya, menghalangi pandangan orang dari luar rumah, agar tak langsung menghadap ke pintu. Bagi orang Bali, tidak bagus apabila orang langsung dapat melihat ke dalam rumah. “Jadi, aling-aling sebagai sekat untuk membatasi pandangan dari jalan ke rumah.”
Di rumahnya, Pur membuat modifikasi pada aling-aling itu. Ayah tiga orang anak ini memasang gambar Yesus pada keramik tembok yang menghadap ke jalan besar dan banjar. “Saya buat penolak bala itu dalam konteks umat Katolik. Kalau ada orang rapat di balai banjar, mereka melihat gambar itu, nggak masalah,” kata Pur.
Banjar merupakan bagian dari desa; semacam dusun. Banjar dibagi ke dalam dua jenis, Perkumpulan Banjar Adat dan Banjar Dinas yang berhubungan dengan pemerintahan atau semacam RT/RW. Karena bukan Hindu, Pur hanya menjadi bagian Banjar Dinas saja. Namun, dalam peristiwa duka atau acara lainnya, Pur tetap datang dan terlibat.
Relasi semacam itu bukan mengada-ada. Guru SMA Katolik Soverdi Tuban Kuta ini tidak merasa terkucil. Pur menjelaskan, untuk menjadi saksi Kristus membutuhkan iman yang tangguh. Ini menjadi salah satu isu yang dibicarakan dalam Sinode IV ini.
Mengakar Budaya
Kisah kehidupan Pur merupakan potret kecil geliat umat Gereja Lokal Keuskupan Denpasar. Umat Katolik Keuskupan Denpasar hanya segelintir jumlahnya. Di Pulau Dewata, masyarakat mayoritas beragama Hindu. Di NTB mayoritas masyarakat beragama Islam. Jumlah populasi Bali berkisar empat juta jiwa. NTB berkisar lima juta jiwa. Jumlah umat Katolik Keuskupan Denpasar berkisar 40 ribuan jiwa. Jumlah yang sangat kecil.
Meski kecil, kawanan ini, dengan iman yang tangguh, dipanggil untuk menjadi saksi Kristus. Iman tangguh dipoles melalui katekese, ajaran Gereja, Kitab Suci di tingkat KBG. Umat Gereja Lokal Denpasar juga mengakar pada tradisi dan budaya. Gereja Paroki Tri Tunggal Maha Kudus Tuka misalnya, berbentuk seperti banjar; hanya ada atap tanpa dinding.
Di Pulau Dewata, jelas Pur, ada banyak kearifan lokal yang sejalan dengan nilai Gereja. Misal, budaya Munyame Braye yang menekankan hidup bersaudara dalam perbedaan. Ada juga Tatwamasi, yang artinya kamu adalah aku, aku adalah kamu. “Ini kan sejalan dengan perintah utama kedua; kasihilah sesamamu seperti diri sendiri,” jelas Pur.
Mengakar pada budaya juga menjadi pendekatan di Paroki St Yohannes Maria Vianney Donggo, Bima, NTB. Ignasius Ismail, katekis Donggo mengutarakan, umat Donggo memiliki kebiasaan doa bersama untuk memulai musim tanam dan panen. Saat ada anak muda yang pergi sekolah jauh, mereka juga doa bersama.
Ignas tegas mengatakan, seperti apapun isu disharmoni agama di Nusantara, masyarakat Donggo tak akan mungkin retak. Pemerhati budaya ini tak jumawa. Donggo memang berada di tanah Sumbawa yang bernuansa Islam. Namun, dalam satu keluarga, jamak dijumpai, ada Islam, Protestan, dan Katolik.
Budaya, menjadi dasar kehidupan masyarakat Donggo. Melalui pintu budaya, umat Katolik bisa masuk ke dalam lingkungan pemerintah dan kalangan Muslim. Ignas merintis Sanggar Tradisional Ncuhi Mbawa Donggo. Lewat sanggar ini, Gereja menyatukan keberbedaan dalam budaya Donggo. Anggotanya tak hanya Katolik, tetapi beragam. Setiap acara besar, seluruh awak sanggar diundang. “Saat acara, kami diperkenalkan bahwa ini sanggar saudara-saudara kita dari Gereja Katolik,” kenang Ignas.
Donggo memiliki kearifan lokal bernama Raju. Kekhasan ini, lanjut Ignas, dirintis oleh sesepuh Katolik, tetapi dihayati oleh masyarakat Kabupaten Bima. Raju merupakan proses berburu binatang hutan sebelum musim menanam. Berburu dilakukan setiap hari, kadang selama tiga hari, kadang tujuh hari. Dari hasil buruan itu, masyarakat Donggo akan melihat apakah curah hujan cukup atau kurang atau apakah hasil melimpah. “Kalau dapat banyak jantan berarti hasilnya kurang, sebaliknya kalau betina, berarti hasil akan melimpah.”
Harmoni dalam keragaman di Donggo juga karena mayoritas penduduk berpenghasilan sama sebagai petani. Sebanyak 90 persen orang Donggo menggantungkan diri pada pertanian. Gereja pun melakukan penataan ekonomi umat melalui pendampingan pertanian dan dilakukan bersama masyarakat. “Jadi, menjadi saksi Kristus berarti ada di tengah masyarakat dan bukan mencuap-cuap dengan dakwah,” jelas Ignas.
Meski demikian, perbedaan latar sosial NTB dan Bali, berpengaruh pada pendekatan Gereja dalam masyarakat. Mgr San mengakui, untuk mendirikan Gereja di NTB agak susah. Misal, saat membangun gereja baru di satu paroki di Bima. Pastor paroki sudah mengurus IMB. Namun, ketika ada peletakan batu pertama, warga protes karena dua lantai. Padahal maksudnya, lantai satu untuk pertemuan. Mereka bersikeras dan menihilkan dialog. Akhirnya gambar dan IMB diubah menjadi satu lantai. “Di Bali, mereka menolak namun dengan agak lebih tidak frontal. Ada ruang untuk membangun dialog. NTB bilang tidak ya tidak.”
Gereja Berkarya
Menjadi saksi Kristus juga diwujudkan melalui karya nyata Gereja. Romo Yohanes Kadek Ariana, Ketua Yayasan Insan Mandiri Cabang Lombok bercerita tentang karya Gereja di Lombok. Kata Romo Kadek, jika Bali disebut “Seribu Pura”, maka Lombok di NTB disebut “Seribu Masjid”. Latar sosial semacam itu menjadi sesuatu yang tak terbantahkan. Pada awal milenium, Lombok seperti wilayah lain, ketiban efek kerusuhan bernuansa SARA. Beberapa Gereja dibakar.
Berlatar pada kondisi sosial semacam itu, kata Romo Kadek, hal pertama yang dilakukan Gereja adalah penguatan diri melalui peningkatan iman umat di tingkat KBG. Efek domino dari situ, saat berdialog, mereka tak cemas sebagai kawanan kecil. Justru dengan iman kuat dan status kawanan kecil, menjadi kesempatan untuk mewartakan dan menjadi saksi Kristus.
Selain ke dalam, Gereja bergerak keluar sebagai lembaga melalui pendidikan dan kesehatan. Di Lombok ada delapan sekolah Katolik dan di Sumbawa ada empat. Sekolah-sekolah ini memiliki reputasi favorit. Namun, kebijakan pemerintah terhadap sekolah negeri berimbas berkurangnya minat kepada sekolah Katolik.
Hal yang sama juga dengan kebijakan BPJS untuk rumah sakit. RS Katolik mau tidak mau harus mendaftar ke BPJS. Tapi sekolah dan RS Katolik punya akar sejarah dalam masyarakat. Peran penting kedua lembaga corong Gereja itu menjadi isu strategis dalam Sinode IV. “Sekolah dan ruma sakit, sayang kalau ditutup. Kita memiliki akar sejarah dengan sekolah dan RS Katolik,” kata Romo Kadek.
Saat ini, Keuskupan Denpasar memiliki dana solidaritas pendidikan Katolik (Dasopen). Dasopen diberikan untuk orang tidak mampu. Dasopen dikelola PSE Keuskupan dan disalurkan berdasarkan permintaan pastor paroki. Dana ini belum bisa memenuhi semua kebutuhan siswa tidak mampu, karena terbatas. Pasalnya, dana ini dikumpulkan dalam bentuk kolekte sekali setahun di setiap Paroki.
Kaderisasi
Pokok strategis lain yang dibicarakan dalam Sinode ini adalah kaderisasi anak “zaman now”. Pastor paroki, kata Mgr San, memainkan peran kunci dalam pastoral orang muda Katolik (OMK) sebagai moderator. Pastor paroki mesti kreatif melakukan terobosan kegiatan untuk OMK. Misal kegiatan seni musik, kamping rohani, dan pelbagai kegiatan lain yang sesuai jiwa orang muda. “Orang muda butuh gebyar, seperti IYD atau AYD kemarin di Yogyakarta,” jelas Mgr San.
Romo Kadek menyoroti gerakan dakwah yang luar biasa di kampus-kampus. Kalau orang muda Katolik tidak mendapat bekal iman, ini akan membuat mereka minder dan ujungnya gagal menjadi saksi Kristus. “Maka dalam kuliah dan rekoleksi, saya mengupayakan mereka paham iman, cinta iman, dan berujung pada berani mempertanggungjawabkan iman.”
Romo Moderator Perhimpunan Maha siswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Mataram ini juga menilai, keterlibatan orang muda dalam organisasi penting untuk membangun relasi. November silam, banjir melanda tiga kecamatan di Lombok Timur. PMKRI turun tangan. Mereka menjadi corong bantuan Gereja dari sekolah-sekolah Katolik yang mengumpulkan pelbagai bantuan. “PMKRI yang turun ke lapangan, karena mereka memiliki jaringan keluar,” kata Pastor Rekan Paroki Mataram ini.
Senada dengan Romo Kadek, Erna Kusuma, Ketua Presidium WKRI Bali-NTB, menekankan pentingnya penguatan iman orang muda melalui kaderisasi. Erna, bahkan menyerukan orang muda agar terlibat dalam organisasi kemasyarakatan. “Dalam kegiatan lintas agama atau pemerintah, yang diutus adalah anggota ormas Katolik, FKUB, dan semacamnya. Kalau tak ada kader, Gereja tidak hadir dan tak dikenal.”
Seirama dengan Erna, Pur menyebut, orang muda melalui interaksi mereka, bisa menampilkan wajah Kristus, terutama dalam dinamika globalisasi ini. Karena itu, pembinaan orang muda tak bisa parsial. Berdasar ini, Sinode IV memantapkan pembinaan orang muda dari seluruh aspek, mulai dari usia dini hingga dewasa. “Keluarga nggak boleh cuek, harus memperhatikan pembinaan iman anak secara berjenjang. Selain menangkal dampak negatif globalisasi, hal utama adalah menjadikan anak-anak sebagai saksi Kristus.”
Selain itu, ketiga pokok penting lainnya adalah katekese, pengembangan sosial ekonomi dan keluarga, lalu juga KBG dan kepemimpinan pastoral. Penutupan Sinode IV Keuskupan Denpasar ditandai dengan pemberkatan Gereja St Silvester Pecatu Badung. Wakil Bupati Badung, I Ketut Suiasa diundang hadir untuk meresmikan Gereja Pecatu. Suiasa saat itu juga sekaligus menutup Sinode IV Bali. Suiasa mengungkapkan, kekaguman pada cara Gereja menjaga peradaban. Ia berharap, Gereja Katolik Denpasar terus mewarnai dinamika kehidupan sebagai masyarakat Bali.
Mgr San dalam pesan penutup Sinode berharap, bahwa program yang dihasilkan dari Sinode ini dapat dijalani dengan baik. Membangun Gereja dengan umat militan, lanjut Mgr San, tentu bukan hal yang mudah. Apalagi dengan jumlah umat yang kecil. “Sekali lagi, kami ini kawanan kecil, tapi bukan berarti tak berarti. Dengan iman yang tangguh, kawanan kecil bisa menjadi saksi Kristus di mana saja.”
Edward Wirawan (Denpasar)