HIDUPKATOLIK.com – Keuskupan Denpasar hanyalah kawanan kecil. Ia dipanggil menjadi saksi Kristus di tengah kemajemukan. Butuh iman tangguh dan kemandirian, untuk menjadi saksi Kristus.
Beberapa turis mancanegara menikmati jajanan ringan di depan parkiran Kompleks Puja Mandala, Nusa Dua Bali. Di kompleks itu berdiri lima rumah ibadat dari lima agama. Sejak pagi, tempat itu sudah ramai. Para pedagang asongan bersaing dengan beberapa rumah makan yang mejeng tetap. Fabiana, turis dari Napoli, Italia, menjajal satu bungkus kerupuk singkong. Ia mengangguk-anggukan kepala. “Enak,” Fabiana berkomentar singkat soal citarasa kerupuk itu.
Saat bercerita lebih banyak, Fabiana memuji Indonesia yang satu dalam keberagaman. “Indonesia indah dalam artian sebenarnya, di Yogyakarta, di Labuan Bajo, dan di sini, saya melihat satu harmoni dalam keanekaragaman. Ini bagus, lima rumah ibadat berdampingan, simbol negara hebat,” kata Fabiana yang sudah tiga kali ke Bali.
Para turis ini, kemudian masuk ke kompleks Puja Mandala. Mereka mengabadikan diri dengan latar masjid, Gereja Maria Bunda Segala Bangsa, vihara, Gereja Protestan, dan pura yang terletak berjejer. Beberapa wisatawan lokal tak mau kalah. Mereka bahkan ada yang membuat siaran langsung via media sosial.
Puja Mandala menjadi tempat berlangsungnya Sinode IV Keuskupan Denpasar akhir November silam. Pemilihan tempat ini sepenarian dengan tema Sinode, “Menjadi Gereja Yang Beriman Tangguh, Mandiri dan Mampu Bersaksi Dalam Masyarakat Majemuk”. Ada lima isu utama dalam Sinode ini; pendidikan, Orang Muda Katolik (OMK), pengembangan sosial ekonomi dan keluarga, katekese, komunitas basis Gerejawi, dan kepemimpinan pastoral.
Kawanan Kecil
Secara geografis, Keuskupan Denpasar terbentang dari ujung barat Bali hingga ujung timur Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau Dewata, masyarakat mayoritas beragama Hindu. Di NTB mayoritas masyarakat beragama Islam. Menurut data Badan Pusat Statistik 2016, jumlah populasi NTB berkisar lima juta jiwa, sementara Bali berkisar empat juta jiwa. Jumlah umat Katolik Keuskupan Denpasar berkisar 40 ribu jiwa yang tersebar di 24 Paroki.
Mengacu pada data itu, Uskup Denpasar Mgr Silvester San menyebut Gereja Lokal Denpasar sebagai “kawanan kecil” di antara “kawanan besar”. Namun, Mgr San juga mengatakan, meski kawanan kecil, bukan berarti nihil kontribusi. Gereja Lokal Denpasar memiliki jejak abadi dalam karya kesehatan, pendidikan, dan karya sosial.
Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika mengakui peranan penting kawanan kecil itu. Pastika datang dan membuka secara resmi Sinode IV Keuskupan Denpasar ini. Ia bersama para tokoh agama lain disambut tarian “Sang Istri Lan Buta Kala”. Tarian olah kreasi OMK Paroki St Don Bosco Babakan, bercerita tentang godaan si jahat akan kalah oleh kebaikan dan iman yang teguh. “Meski kawanan kecil tapi kontribusinya besar karena berisi orang-orang hebat,” kata Pastika.
Selaku pimpinan daerah, Pastika mengapresisasi Gereja Katolik, terutama dalam menciptakan kesejahteraan, menjaga ketenangan, kerukunan, dan toleransi. Sebagai tujuan pariwisata internasional, Bali mesti terbuka dan menjadi tuan rumah yang ramah. Karena itu, seluruh masyarakat Bali, termasuk umat Katolik, mesti bersikap inklusif. Sikap seperti ini amat penting, dalam menghadapi dinamika globalisasi yang sangat kompleks. Globalisasi dengan segala kemajuannya bisa menciptakan kelompok-kelompok eksklusif. Padahal, berbagai konflik sosial yang bernuansa adat mapun agama, lanjut Pastika, kerap kali berlandas pada sikap eksklusivisme. “Mari kita tumbuhkan budaya hidup, menyama beraya; budaya hidup bersaudara dalam perbedaan.”
Pastika menyebut, proses perjalanan hidup Yesus Kristus merupakan inspirasi kebangkitan umat menuju ketenteraman dan kedamaian hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “Akhirnya, dengan memohon perlindungan Tuhan Yesus, Sinode keempat Keuskupan Denpasar, pada hari ini, saya buka secara resmi,” ujar Pastika mengakhiri sambutan.
Pastika kemudian bersalaman dengan Mgr San dan beberapa imam. Sembari agak menunduk, Pastika menjabat erat tangan Mgr San. Sebagai penanda, Pastika membuka sidang dengan memukul gong. “Saya memukul gong ini empat kali, sebagai tanda dimulainya Sidang Raya Umat Katolik Keuskupan Bali,” ujar Pastika yang disambut tepuk tangan riuh.
Pembukaan Sinode VI ini bertepatan dengan Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam. Mgr San mengingatkan menjadi saksi Kristus berarti menyenangkan hati Tuhan. Hal yang menyenangkan Tuhan misalnya memperhatikan orang-orang kecil, miskin, dan terabaikan. Itu adalah panggilan sebagai saksi Kristus.
Tema Sinode IV ini, lanjut Mgr San, sangat relevan dengan situasi dan kondisi umat yang hidup dalam zaman globalisasi dan keragaman. Mgr San berterima kasih kepada seluruh kawanan kecil yang sejak jauh-jauh hari, melalui pelbagai tahapan pra Sinode, memberikan segala upaya untuk mempersiapkan Sinode IV, yang menjadi Arah Dasar Keuskupan Denpasar 2018-2023.
Tema Sinode lahir dari proses panjang. Ketua Umum Panitia Sinode IV, Romo Herman Yoseph Babey mengatakan, ada proses pra Sinode yang berlangsung selama setahun. Panitia menggali data lewat Diskusi Kelompok Terarah (FGD) di seluruh Komunitas Basis Gerejawi (KBG), lalu ke tingkat paroki dan dekenat se-Keuskupan Denpasar. Selain itu, panitia juga melakukan wawancara mendalam dengan para tokoh umat Katolik, lintas agama hingga pemerintah.
Kata Romo Babey, dalam arus zaman yang ditandai kemajuan teknologi, ada banyak ekses negatif yang lahir. Sangat dibutuhkan iman yang tangguh dalam menghadapi situasi itu. Hal lain, Gereja juga dituntut untuk mandiri dalam segala bidang kehidupan. “Supaya eksistensi Gereja Katolik tidak mudah redup dan rapuh oleh sapuan arus zaman yang kian menjadi tantangan dari hari ke hari.”
Mampu Bersaksi
Perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama Bali serta pelbagai organisasi keagamaan juga hadir dalam pembukaan Sinode. Mgr San merentangkan lengan persahabatan atas lawatan para tokoh ini. Kehadiran gubernur, lanjut Mgr San, merupakan dukungan yang luar biasa bagi umat Katolik yang hanyalah kawanan kecil, namun berjuang tampil indah menghiasi Bali dan NTB.
Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama RI, Eusebius Binsasi sepakat, pemerintah dan umat beragama mesti bergandengan tangan menjaga toleransi. Kehadiran Pastika maupun dirinya, mesti dimaknai sebagai isyarat hadirnya negara. Pemerintah hadir dalam semangat merangkul dan kerja bersama dengan agama-agama; dalam hal ini agama Katolik.
Binsasi mengacungi jempol untuk pemilihan tema Sinode. Menurutnya, tema sangat relevan dengan situasi sosial politik dan perbagai masalah bangsa saat ini. Merawat kemajemukan, lanjut Binsasi, adalah keniscayaan. Untuk merawat kemajemukan, umat Katolik mesti proaktif membangun relasi dengan umat beragama lain. “Itu adalah panggilan iman menjadi saksi Kristus yang merangkul keragaman; menjadi warga negara yang merajut tenunan kebhinnekaan,” jelas Binsasi.
Mgr San mengatakan, agar umat menjadi saksi Kristus, maka ia harus memiliki iman yang tangguh serta mandiri. “Kami ini kawanan kecil, tapi bukan berarti tak berarti. Jika punya iman tangguh, ia bisa muncul dan tampil di mana saja, memberi kesaksian.”
Edward Wirawan (Denpasar Bali)