HIDUPKATOLIK.COM-MGR Paulinus Yan Olla MSF baru saja diangkat menjadi Uskup Tanjung Selor oleh Tahta Suci. Mgr Paulinus lahir di kampung Seoam, Desa Eban, Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupetan TTU, NTT pada tanggal 22 Juni 1963. Ia terlahir sebagai anak pertama dari 6 bersaudara pasangan Amatus K. Olla (alm) dan Theresia Naben (almarhumah). Seorang adiknya, Sr. M. Beatriks Olla PRR, kini sedang bekerja dan belajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Ayahnya adalah seorang guru dengan jabatan kepala sekolah SD Seoam I. Sebagai guru, ia mengabdi selama hampir 30 tahun. Sempat menjabat Kepala Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Miomaffo Barat, TTU. Sempat pula menjadi anggota DPRD TTU sebelum akhirnya dipanggil Tuhan setahun lalu. Sedang sang ibu, Theresa adalah ibu rumah tangga. Ia wafat tatkala Mgr Paulinus duduk di SMP.
Menurut Mgr Paulinus, sejak kecil tidak pernah ada yang mengarahkan untuk menjadi imam. Dalam keluarga besar ada pamannya yang pernah menjadi bruder. Beberapa lainnya menjadi imam. Kesadaran akan panggilan seakan muncul tanpa refleksi. Keyakinan akan adanya panggilan hanya bertumbuh ketika menjalani tahun-tahun pertama di Seminari Menengah Lalian di Atambua, Timor.
Namun, ia mengaku ada peristiwa lain yang membawanya pada pilihan menjadi imam. Saat masih SD, ada imam misionaris SVD di parokinya yang selama tiga malam berturut-turut menayangkan film hitam putih yang mengisahkan seluruh sejarah keselamatan. Mulai dari panggilan Abraham sampai kebangkitan Yesus. Saat itu, Paulinus kecil ikut menikmatinya selama tiga malam berturut-turut. Durasi filmnya lumayan lama karena dimulai pukul 21.00 malam sampai pagi. Nampaknya minat akan hal keagamaan merasuk hati tanpa disadari.
Begitu pula persiapan untuk komuni pertama agak lama. Mulai dari kelas 2 sampai kelas 4 SD. Begitu lama sehingga ada rasa rindu dan tidak sabar. Hal lain yang membentuk hidup rohani adalah kakek dari pihak ibu yang ditugaskan menjadi guru agama. Ia menjadi kader misionaris Belanda. Ia hidup sebagai petani namun di malam hari mengumpulkan para katekumen dewasa untuk mengajarkan katekismus dan persiapan komuni. “Ceritera-ceritanya selalu menarik karena dibawakan dalam bahasa setempat dan sangat merakyat. Ia pun menjadi idola dan disegani seluruh kampung. Saya pun ingin menjadi seperti dia,” cerita Bapak Uskup.
Figur lain yang tak kalah penting saat ia belajar teologi adalah pribadi St Paulus. Bagi Mgr Paulinus, Paulus menjadi misionaris yang ia hormati, segani dan berusaha untuk meneladaninya. Bahkan saat menulis tesis doktoralnya, imamatnya secara lebih mendalam tersentuh oleh pribadi Jean Berthier, pendiri MSF.
“Jean Berthier adalah imam Perancis di akhir abad 19 yang berusaha dengan segala kemampuannya mewartakan Injil secara populer melalui kotbah-kotbah dan buku-bukunya yang tersebar dan sangat berpengaruh sampai sebelum Vatikan II. Dari dia saya belajar mendaratkan teologi saya, terutama merambah bidang-bidang sosial, politik, dan kemasyarakatan melalui tulisan-tulisan misalnya di Kompas atau majalah Rohani. Pendiri saya sangat dikenal di Jurnal Katolik de la Croix di zamanya, dan buku-bukunya menjadi buku bacaan yang direkomendasi sebagai buku wajib di Seminari Tinggi antara lain di Kesukupan Grenoble,” ujar Mgr Paulinus bangga.
Bagi Mgr Paulinus, pada dasarnya imamat sebuah rahmat dan sapaan pribadi Tuhan untuk orang yang terpanggil. Ia berdiri di atas dasar relasi pribadi dan pengalaman dikasihi Allah. Pengikraran kaul religius dan imamat hanya mengukuhkan secara sakramental pengalaman dasar itu. Oleh karena itu, yang sudah dan terus didoakan dalam tugas imamat adalah kesatuan dengan Kristus yang dirayakan dalam Ekaristi setiap hari.
“Semakin hari semakin berusaha menyatukan diri dengan-Nya dan membiarkan Roh Kudus berkarya dalam kehidupan karena saya yakin bahwa terus-menerus dikasihi Allah yang adalah Bapa. Sebuah hidup triniter dalam kesederhanaan hidup harian sebagai imam,” kata Uskup yang mengambil moto tahbisan imam yang dikutip St Paulus dalam 2 Kor 12: 9-10: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna… Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.”
Yusti H. Wuarmanuk