web page hit counter
Jumat, 22 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Yerusalem

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pada masa Adven, nama dua kota ini, yakni Yerusalem dan Betlehem biasa disebut dalam khotbah, dilantunkan dalam tablo, dijadikan lirik dalam nyanyian atau bahkan didaraskan dalam doa. Namun kali ini, khususnya Yerusalem, terpaksa ramai disebut-sebut dalam konteks lain.

Adalah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang memiliki ide memindahkan kantor Kedutaan Besar AS yang selama ini di Tel Aviv ke Yerusalem. Sebagaimana kebiasaan diplomatik, kedutaan besar selalu bertempat di ibukota suatu negara. Sementara konsulat, misalnya, bisa bertempat di kota lainnya. Sehingga, mengikuti jalan berpikir ini, AS secara eksplisit maupun implisit mengakui Yerusalem sebagai wilayah sah Israel.

Hal ini tentu mengundang reaksi, minimal dari negara Palestina yang menganggap kehadiran Israel di tanah Palestina (mencakup Yerusalem) sebagai aneksasi. Walau Yerusalem secara de fakto dikuasai Israel, belum tentu demikian secara de jure.

Realitanya, bukan hanya Palestina, tetapi hampir seluruh dunia mengecam tindakan tersebut. Tentu Perdana Menteri Israel perlu dikecualikan. Yang bersangkutan pasti senang dengan keputusan bersejarah itu, mengingat sejak awal, Netanjahu mendukung Trump tanpa kecuali.

Dikatakan keputusan bersejarah karena sebenarnya janji AS memindahkan kedubesnya telah disuarakan sejak masa kepresidenan sebelumnya. Konon, hal ini pertama kali disuarakan saat masa pemerintahan Presiden Jimmy Carter. Adalah lobi Yahudi di Kongres AS yang mendorong hal itu sebagai lambang paling eksplisit dari dukungan AS terhadap Israel. Namun, memahami risiko politik yang besar, tak satu pun Presiden AS yang merealisasikan. Hingga datang era Trump. Bagi Trump, aliansi strategis ini mesti diwujudkan karena merupakan salah satu janji kampanyenya.

Singkat kata, apa implikasinya? Lebih khusus lagi, apa implikasi bagi masyarakat Katolik Indonesia? Sudah mulai terdengar suara-suara, bahkan aksi protes di berbagai negara yang menyempitkan persoalan menjadi persoalan Islam yang dipermainkan Trump yang Kristen. Tindakan AS itu kemudian dikonstruksi (baca: di-framing) oleh pihak yang tidak setuju sebagai serangan Nasrani terhadap Islam.

Singkatnya, hal itu bisa dipersepsikan sebagai perang terhadap Islam. Kenyataan bahwa di Yerusalem sendiri terdapat penduduk yang multietnis, multiagama, bahkan multikebangsaan, yang berinteraksi secara intens, tidak lagi dilihat. Jika demikian, maka segera akan muncul permasalahan kedua, yakni keamanan, khususnya mancanegara. Sumbernya adalah faksi-faksi radikal bersenjata. Yang paling dan masih berbahaya adalah kelompok ISIS (Negara Islam Suriah dan Irak). Beberapa negara Eropa yang selama ini menjadi langganan serangan teroris, seperti Perancis, Belgia, dan Inggris harus siap-siap kembali menjadi target.

Tak usah jauh-jauh, aparat keamanan di Indonesia pun sekarang harus mengubah asumsi, bahwa hari-hari di seputar Natal dan Tahun Baru kali ini akan berlangsung aman. Teror sebagai perwujudan penghancuran near enemy (musuh yang dekat), menggantikan konsepsi far enemy (musuh sebenarnya berada di tempat yang jauh), diperkirakan akan terjadi kembali, entah waktu, tempat atau pelakunya.

Permasalahan ketiga yang akan muncul adalah gangguan pada sektor ekonomi. Yang segera akan terusik adalah pariwisata, khususnya pariwisata ziarah, di mana salah satu kelompok turis terbesar adalah dari Indonesia. Sektor ini memang amat sensitif pada isu keamanan. Ekonomi lokal Yerusalem dan sekitarnya,yang bergantung pada perdagangan, diperkirakan juga terganggu karena banyaknya aksi protes, boikot, dan sebagainya.

Permasalahan berikutnya menyangkut hubungan antarumat beragama di Indonesia. Akan selalu ada saja pihak yang memanfaatkan tensi yang tinggi tersebut entah sebagai bahan untuk mem-bully atau bahan hoax. Di pihak lain, mau tak mau, umat Nasrani pada umumnya dan umat Katolik pada khususnya, perlu menyadari bahwa umat Islam tengah sensitif. Maka perlu untuk melakukan, katakanlah perayaan Natal secara tidak berlebihan karena bisa mengundang respons yang tidak proporsional. Masalah Yerusalem memperlihatkan betapa suatu masalah yang terjadi jauh dari Indonesia namun imbasnya dengan mudah kita rasakan di sini.

Adrianus Meliala

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles