web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Berikanlah dengan Cuma-cuma

4.2/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Dia selalu mendapat pasien bersalin dengan kondisi beresiko tinggi. Lima kali, ia membantu ibu melahirkan di atas kapal. Semua berhasil berkat campur tangan Tuhan, katanya.

Selubung kelam membungkus rapat Kampung Tering ketika sang surya tak lagi menampakkan batang hidungnya. Pepohonan yang menjulang tinggi dan lebat membuat suasana kian pekat, kala hari kian beranjak tinggi. Listrik belum menyentuh daerah yang berada di Kalimantan Timur (kini menjadi bagian Kutai Barat) sekitar 1990-an.

Masyarakat mengandalkan lentera atau obor sebagai suluh jalan. Doa setiap pejalan atau mereka yang menyusur Sungai Mahakam hanya satu, semoga dian yang menemani mereka tak keburu redup di paruh jalan. Bayangkan, dengan cahaya yang minim, sekadar menapaki jalan pun sulit, bagaimana harus menangani persalinan di wilayah pelosok?

Situasi seperti itulah yang sempat dialami oleh Sr Odilia MASF selama beberapa tahun di sana. Suatu hari, ketika dinas malam di RS St Yosef Tering, kenangnya, hujan turun teramat deras. Pepohonan di luar meliuk-liuk diterpa angin. Tirai RS terhempas ke sana-ke mari. Saking kencang hembusan sang bayu satu lampu minyak di ruang inap ibu dan anak terpelanting ke tanah. Beruntung, lidah api tak sampai hati menjilat perkakas medis di sana.

Ragam Tantangan
Masyarakat di sepanjang Sungai Mahakam belum mengenal program Keluarga Berencana pada masa itu. Tak pelak, angka kehamilan di sana begitu tinggi, kata Sr Odilia. Dalam sehari, ungkapnya, paling sedikit sepuluh kali persalinan yang ia tangani. Jumlah tersebut akan berlipat ganda, bila merangsek ke wilayah-wilayah pedalaman.

Lantas, siapa yang diandalkan untuk mengeluarkan jabang bayi dari rahim ibunya? Dukun kampung, tulis biarawati dari Kongregasi Misi dan Adorasi Keluarga Kudus (Congregatio Missionis et Adorationis Sanctae Familiae/MASF) dalam pesan WhatsApp, Selasa, 12/12.

Ia memaklumi bila masyarakat menaruh harapan kepada dukun kampung. Sebab, hanya ada satu RS pada waktu itu. Waktu tempuh ke sana dari kampung terdekat sekitar 90 menit, sedangkan dari wilayah terjauh, hulu, dan hilir Mahakam, sekitar sepuluh jam. “Bantuan pemerintah belum sampai menjangkau ke sana,” ujarnya.

Atas restu pimpinan tarekat, Sr Odilia mengunjungi dan memantau kesehatan masyarakat pelosok setiap bulan. Satu minggu di daerah hulu, seminggu lain dia di area hilir. Saban kali pergi, selain membawa perlengkapan pribadi, dia juga membawa obat-obatan dan perlengkapan medis.

Ada beragam pengalaman dan tantangan yang dia hadapi sebagai bidan dan perawat –selain biarawati– di pedalaman. Ada kejadian ketika dia harus menangani seorang diri dua pasien yang mengalami pendarahan sekaligus. Obat-obatan yang dibawanya telah ludes. Peralatan medis di tas hanya seadanya. “Saya stres,” akunya.

Peluh membasahi sekujur tubuh dan habetnya. Tapi darah yang mengalir dari tubuh kedua perempuan tersebut tak kunjung berhenti. Situasi kian genting. Sr Odilia mengakui dirinya nyaris melempar handuk. Tapi, rasa kemanusiaan mengurung niatnya itu. Sebagai tenaga medis, harapannya jelas, pasien yang ditanganinya selamat. Namun, jika kenyataan berbicara lain, paling tidak dia sudah berusaha keras.

Sr Odilia menyerahkan kegundahannya kepada Tuhan. Sembari berusaha, dia meminta pertolongan kepada-Nya. Lebih dari enam jam bergulat antara hidupmati, semburat kebahagian berangsur terpancar di wajahnya. Kedua ibu bisa melahirkan bayi dengan selamat. “Saya tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan. Demikian pula keluarga pasien,” bebernya.

Di Kapal
Sekitar 30 tahun berkarya di bidang kesehatan, biarawati asal Klaten, Jawa Tengah ini mengakui, selalu mendapat pasien dengan kondisi kehamilan dan persalinan tak biasa, serta beresiko tinggi. Sr Odilia pernah terkejut ketika seorang ibu hamil dari pedalaman datang kepadanya, dengan wajah pucat menahan gering.

Begitu Sr Odilia mengecek, ternyata jari tangan sang bayi sudah menjulur keluar dari vagina ibunya. Ibu-anak itu pada akhirnya bisa diselamatkan, dengan peralatan medis ala kadarnya. Pernah juga, ia menangani persalinan sungsang – posisi bayi tidak sempurna. Mungkin saat ini dengan fasilitas kesehatan memadai resiko yang dihadapi sangat minim. Tapi pada masa itu, kata Sr Odilia, jangankan peralatan medis, penerangan saat bersalin pun hanya lentera.

Ada pengalaman lain yang amat membekas di benak Sr Odilia hingga kini. Pada suatu hari, ada seorang ibu hamil bersama keluarganya datang ke RS Tering. Ibu itu sudah waktunya untuk melahirkan. Setelah Sr Odilia memeriksa, persalinan ibu itu bakal mengalami hambatan. “Persoalannya, peralatan di RS Tering terbatas,” ujarnya.

Dia merujuk dan mengantar sang ibu ke RS Dirgahayu, Samarinda. Fasilitas dan tenaga medis di sana lebih menjamin keselamatan sang ibu. Dari Tering, Sr Odilia membekali diri dengan beberapa perlengkapan. Jaga-jaga, katanya, jangan sampai ibu tersebut melahirkan di tengah jalan.

Apa yang dikhawatirkan Sr Odilia terjadi. Belum sampai separuh melintasi Sungai Mahakam, ibu itu keburu melahirkan di atas kapal. Tak tanggung-tanggung, ia melahirkan bayi kembar. Interval kelahiran anak pertama dengan kedua sekitar 30 menit. Kapal yang mereka tumpangi sontak heboh. Penumpang berebut menyaksikan peristiwa jarang terjadi itu. Ternyata, bukan hanya satu atau dua kali hal serupa terjadi, Sr Odilia mengalami hingga lima kali.

Bagi masyarakat setempat, ada kepercayaan peristiwa tersebut mendatangkan rejeki bagi pemilik kapal. Tapi, bagi Sr Odilia, pengalaman tersebut membawanya kepada peristiwa kelahiran Yesus, lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Kala itu, ungkapnya, St Yosef dan St Maria mencari penginapan untuk kelahiran Yesus. Namun, dalam pencarian itu, Yesus keburu lahir di kandang ternak.

Kisah tersebut mirip seperti yang dialaminya. Tujuan mereka semula hendak ke RS Dirgahyu, ternyata bayi itu keburu lahir di atas kapal. “Bila saat itu para gembala menjadi saksi kelahiran Yesus, tapi yang saya alami, para penumpang kapal menjadi saksi mata kelahiran,” ungkap Sr Odilia dalam sambungan telepon.

Campur Tangan
Biarawati yang menerima kaul agung pada 1 Juni 1993 ini menyadari, semua yang dia lakukan terhadap para pasiennya berkat campur tangan Tuhan. Jika bukan karena pertolongan-Nya, pasien yang datang kepadanya dengan kondisi yang sulit niscaya terselamatkan. “Obat, fasilitas, dan tenaga medis sangat minim pada masa itu,” ujarnya, menandaskan.

Sr Odilia juga mengakui, jika bukan karena Tuhan, ia ciut mendapat penugasan dari pimpinan tarekat di RS. Katanya, jangankan melihat darah, mencium aroma RS pun awalnya ia tak sanggup. Karena itu, tak henti-hentinya dia bersyukur kepada Tuhan, yang telah memampukan dirinya menerima misi di tengah orang sakit, menolong pada saat sulit, dan menjaganya tetap setia pada panggilan.

Tak heran jika saat mengikrarkan kaul kekal, Sr Odilia memilih moto panggilan hidupnya dari Matius 10: 8b, “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.” Maka, ke mana pun Tuhan mengutusnya, dia siap mengemban tanggung jawab tersebut.

Yanuari Marwanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles