HIDUPKATOLIK.com – Budaya Luar Belum Tentu Jelek
Udara di ruang sebesar 30 meter persegi itu terasa sesak. Enam puluh orang telah memenuhi kursi yang ada. Belasan lainnya terpaksa berdiri karena tak ada kursi kosong tersedia. Mesin pendingin ruangan tak mampu memberikan kesejukan. Namun, peserta diskusi tetap bertahan selama tiga setengah jam menyimak dari awal hingga tuntas.
Suasana itulah yang terjadi pada saat diskusi buku Identitas dan Kenikmatan karya Ariel Heryanto, di Gedung Gramedia, Jakarta Barat, 9/2 lalu. Sebagai pembahas Ignatius Haryanto (dosen Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta) dan Andina Dwifatma (dosen Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta). Acara yang dipandu oleh Chandra Gautama ini sebenarnya bertajuk Ngobrol Santai tetapi faktanya diskusi serius yang berlangsung.
Dalam kata sambutan awal, Ariel sebenarnya enggan berbicara banyak. Dia bahkan mengharapkan para peserta memberikan masukan atau kritik untuk buku yang telah diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia ini. “Saya kan sudah berbicara panjang lebar lewat buku ini. Lalu buat apa saya berbicara lagi,” ujar pengajar di Monash University, Melbourne, Australia ini.
Buku ini sebenarnya merupakan hasil riset Ariel selama mengajar di Australian National University pada 2009-2012. Penelitian itu secara garis besar menganalisis secara mendalam persaingan politik dan pencarian identitas yang terjadi dalam satu bangsa, khususnya bangsa Indonesia.
Untuk menganalisis hal tersebut, Ariel memusatkan perhatiannya kepada produk-produk budaya populer arus utama dengan distribusi yang paling gamblang di Pulau Jawa. Produk budaya populer yang dimaksud ialah budaya layar mutakhir, mencakup sinema dan sinetron. Hampir 80 persen bioskop terdapat di Pulau Jawa. Sementara budaya populer yang paling dinikmati secara luas dalam durasi relatif lama ialah yang tersaji di layar kaca.
Budaya K-Pop
Diskusi pun bergulir hangat ketika tema perbincangan masuk pada mewabahnya Korean Pop (K-Pop) yang mewabah di Indonesia dan mancanegara. Ariel melihat, menerima budaya asing ke Indonesia, seperti halnya K-Pop, belum tentu jelek. Asal kita tidak hanya meniru belaka tetapi mengalami proses untuk proses pembentukan identitas bangsa.
“Sejak awal Indonesia adalah gado-gado. Suku tidak menentukan baik atau buruk seseorang. Apalagi Generasi Z tidak merasa peduli dengan identitas Indonesia, mereka cenderung identitas global,” ujar Ariel menambahkan.
Berkaitan dengan K-Pop, Andina melihat budaya pop dari Korea Selatan itu bukan tanpa sengaja merambah secara global. Pemerintah Korsel mempersiapkan dengan sungguh-sungguh bekerja sama dengan pihak swasta supaya punya soft power secara global.
Sementara Haryanto mengingatkan, masyarakat Indonesia punya keterbukaan yang besar dalam menyerap budaya dari luar. Seperti dari Amerika, Arab, India, Korea, dll.
Pengamat media ini memberikan apresiasi atas buku Ariel yang telah mengangkat budaya populer. Selama ini budaya populer kerap dianggap sebagai budaya rendahan atau pasaran. “Buku Mas Ariel mampu meneropong budaya pop untuk melihat budaya politik,” ujar Hari lagi.
A.Bobby Pr.