HIDUPKATOLIK.com – Sabda telah menjadi daging! Itulah kegembiraan Natal, harapan, dan keyakinan kita.
Tradisi tukar-menukar hadiah saat Natal berasal dari iman bahwa kelahiran Yesus adalah hadiah diri-Nya sendiri kepada kita. Hadiah itu bernama kasih. Maka kegembiraan Natal bukan sesuatu yang dibuat-buat dengan hiasan dan lampu kerlap-kerlip. Kegembiraan Natal tidak berasal dari hadiah, masakan enak, atau pakaian baru.
Kegembiraan Natal berasal dari suatu kebutuhan, yang dirasakan dan diperhatikan secara khusus selama Adven. Suatu kebutuhan yang lahir justru dari pengamatan akan situasi masyarakat dan dunia yang suram. Kebutuhan akan kasih. Natal tak bisa dirayakan dengan makna yang membawa kegembiraan mendalam jika kita tidak menyiapkan diri secara serius selama Adven.
Masa Adven seperti malam hari dan kita diminta bangun serta membuka mata terhadap semua masalah kita, berjaga-jaga, dan menunggu. Pertanyaan Adven adalah, “Sampai kapan, Tuhan?” Bersama-sama dengan umat Israel dari Perjanjian Lama, kita pun berseru “sampai kapan?” Sebelum segala kekacauan di dunia ini, di keluarga dan lingkungan kita, di hati kita, dibereskan dan dipulihkan? “Mataku mendambakan janji-Mu; aku berkata: “Kapan Engkau akan menghiburkan daku?” (Mzm. 119:82).
Sampai kapan ada ketidakadilan, korupsi, persaingan? Sampai kapan perjuangan melawan jaringan narkoba dilumpuhkan oleh kolusi dengan aparat penegak hukum, yang seharusnya bekerja dengan tulus demi kebaikan kaum muda dan bangsa? Sampai kapan orang yang berbuat baik disingkirkan, sedangkan orang yang mencari keuntungan sendiri menang? Sampai kapan kita harus menunggu? Sampai kapan kita harus menderita: mengalami kedosaan, kelemahan, kekecewaan, ketakutan dalam ketidaktahuan? Dalam kegelapan, kita mencari cahaya. Kebutuhan menyalakan kerinduan.
Kehadiran Tuhan
Masa Adven adalah masa penantian akan suatu peristiwa yang dapat memperbaiki hidup bersama, masa menantikan seseorang yang bisa menjawab kekhawatiran dan kecemasan kita. Demi sungguh merindukan kedatangan-Nya, kita perlu menyadari, bahwa dunia kita sungguh tidak beres. Ada keretakan dalam hati manusia sehingga keadilan yang dirindukan tak pernah tercapai, kita terus sombong dan egois, mudah marah, dan melemparkan kesusahan kita kepada orang lain. Liturgi Adven mengarahkan seruan kita kepada Allah dan mewartakan siapakah yang akan datang, dan yang akan terjadi bila Dia datang. Selama beribu-ribu tahun, umat Israel menantikan pemenuhan janji-janji Allah akan keselamatan, damai sejahtera, keadilan bagi yang miskin dan tertindas, pengadilan bagi yang hanya mencari kekayaan, kekuasaan, sukses dan keenakan. Mereka akan diturunkan dari takhta dan kedudukan mereka dan disuruh pergi dengan tangan kosong. Tuhan kita akan datang. Tuhan kita sudah datang –itulah kegembiraan Natal. Putra Allah sungguh menjadi satu di antara kita, hadir di dalam kita, menanggung beban kita, membawa kita kepada Bapa-Nya, mencurahkan Roh Kasih-Nya kepada kita terus menerus melalui Sakramen Ekaristi dan Tobat, serta berbicara terus kepada kita melalui Sabda-Nya.
Sabda telah menjadi daging! Itulah kegembiraan Natal, harapan, dan keyakinan kita. Yesus lahir, memperkenalkan Bapa, menang atas kejahatan dan kegelapan di Salib. Roh-Nya sedang mentransformasikan seluruh kosmos menjadi Kerajaan Allah, Tubuh Kosmik Kristus. Kedatangan Yesus, kemenangan-Nya di salib dan kebangkitan-Nya telah menjadi pusat sejarah, titik tolak kemanusiaan baru, karena kita ditebus, dibebaskan dari belenggu dosa dan maut. Kita tentu bertanya, “Mengapa dunia masih penuh kegelapan?” Memang suatu Misteri, saat ini iblis tetap punya kekuasaan di dunia, tetap berperang melawan Yesus dan pengikut-pengikut-Nya, tetap menggoda orang untuk mengikuti jalannya yang berbelit-belit, tetap menipu dengan tawaran uang, keenakan, kenyamanan, keamanan, kesuksesan, dan kekuasaan, serta masih ada banyakorang yang membiarkan dirinya ditipu.
Maka tiap tahun, Gereja mengajak kita, anak-anaknya, untuk merayakan Adven dan Natal. Berani menghadapi kegelapan dan merasakan kebutuhan mutlak akan Yesus, karena dengan daya sendiri kita tak dapat mengubah apa-apa. Dengan demikian, kita kemudian menyambut Sang Imanuel dengan syukur dan kegembiraan, karena sebagai ranting ranting-Nya kita dapat membawa kemenangan-Nya di dalam hati dan membagi-bagikannya kepada orang lain –di tengah keluarga, kantor, dan lain-lain– dengan menghadirkan harapan, perhatian, dukungan, dan hiburan. Kita menjadi sesama yang peduli. Yesus berkeliling sambil berbuat baik dalam masyarakat zaman-Nya yang juga majemuk.
Kita menyambut Yesus sebagai Raja sejati, yang kasih-Nya lebih kuat daripada kekuasaan apa pun di dunia. Kita dipanggil mengambil bagian dalam kemenangan atas semua kekerasan dan konflik melalui kesetiaan kita kepada sarana Raja kita: kasih, pengampunan, rekonsiliasi, kerendahan hati. Tak ada senjata lebih kuat.
Hidup Sederhana
Kegembiraan Natal ditemukan, saat kita memberi sedikit perhatian kepada orang lain, melalui hal kecil tapi berarti. Memberi senyum, menyediakan waktu, sabar mendengarkan, bertanya tentang suka dan dukanya. Kita tak dapat menyelesaikan masalah semua orang tetapi bisa memberi tanda yang mengandung harapan bahwa hidup berharga, bahwa kita akan bisa bertahan, bahwa kegembiraan adalah mungkin.
Pesan Natal sejak dulu kala adalah memberi kegembiraan, kamu menerima kegembiraan. Dengan memperhatikan hal-hal kecil, kita sendiri semakin sadar akan kehadiran Tuhan dalam peristiwa-peristiwa sederhana dan dalam orang lain.
Yesus lahir dalam kemiskinan kita supaya kita dapat menerima diri sendiri dan orang lain, dengan semua keterbatasan masing-masing. Kalau kita ingin berpartisipasi dalam kegembiraan-Nya, kita memperhatikan sesama yang miskin dan menyadari diri sebagai sesama. Yesus tidak datang kepada kaum miskin sebagai orang kaya, dari atas ke bawah.
Dia memanggil kita untuk bertemu dengan Dia, menjadi sesama dengan Dia melalui hidup yang dibagikan dalam kesederhanaan dan persaudaraan dengan tetangga kita, dengan saling menerima kekurangan kita secara fisik, material, moral dan intelektual dalam belaskasihan yang dibutuhkan oleh semua. Di situ Yesus hadir.
Di situ Bunda Maria juga hadir. Dia sungguh Bunda Pemersatu yang membantu semua anaknya bersatu di sekeliling Yesus. Sering kali karyanya tersembunyi, tidak spektakuler, tidak dalam penampakan ajaib. Kita harus belajar melihat kehadirannya yang menyatukan.
Misal, kami di Gedono sering berdoa untuk ujub supaya seluruh bangsa setia kepada Pancasila. Pada masa Adven ini, tiba-tiba ada kunjungan Pak Lurah, yang memberitahu bahwa desa kami akan dijadikan Desa Wisata sebagai Desa Pelopor Pancasila pada acara JETAK EXPO 2017, 9 Desember. Pak Lurah mengatakan, “Lihatlah bagaimana intoleransi sedang berkembang di kota besar. Kita harus membangun budaya Pancasila dari bawah.”
Setiap dusun hadir dan aktif, semua kelompok seni mengambil bagian, hadir pula empat perwakilan agama ditambah kelompok Kepercayaan, termasuk dua rubiah dari Gedono. Bukankah itu tanda karya tersembunyi Maria Bunda Pemersatu yang menyiapkan hadiah harapan Natal, percikan cahaya yang menggembirakan?
Sr Martha Elizabeth Driscoll, Abdis Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono