HIDUPKATOLIK.com – Bernadeta Astari pernah bernyanyi di hadapan 53 pemimpin dunia dan hanya berjarak satu meter dari Barack Obama. Ia adalah soprano asal Indonesia dengan reputasi global.
Deta mengenal musik sejak balita. Ibunya sangat suka dengan musik klasik dan selalu membangunkan anak-anaknya di pagi hari dengan alunan musik ciptaan Wolfgang Amadeus Mozart, Haydn, Johann Sebastian Bach, dan lainya. Lagu-lagu klasik juga menjadi pengantar tidurnya. Saat balita, Deta telah sangat terkesan dengan suara vokal seriosa, yang didengarnya sewaktu menemani ibunya mengikuti latihan koor di gereja. “Dari situlah saya mengenal musik pertama kali dan terkesan dengan harmoni-harmoni komposisi musik klasik,” kenang pemilik nama lengkap Bernadeta Astari ini.
Deta adalah soprano yang telah mentas di panggung musik dunia. Ia merasa beruntung memiliki kedua orang tua yang mendukungnya dalam pendidikan musik. Pada usia delapan tahun, Deta belajar menyanyi di Yayasan Musik Jakarta. Dari situ ia mencari wadah untuk menyalurkan hobinya. Michelle Hetharia, pelatihnya, mengusulkan agar ikut bergabung dengan Paduan Suara Anak Indonesia pimpinan Aida Swenson Simandjuntak. Di tempat itulah ia mulai banyak tampil sebagai solis di konser-konser mereka. Salah satunya dalam konser Children of the World di tahun 2000 yang dihadiri 1000 orang. Deta juga pernah berguru dengan Aning Katamsi, kemudian dilanjutkan dengan Avip Priatna.
Belajar di Belanda
Pengagum Soprano Charlotte Church ini, kemudian bergabung dengan Batavia Madrigal Singers. Ia ikut berpartisipasi dalam Choir Festival di Taiwan tahun 2005 dan Polyfollia di Perancis tahun 2006. Bersama dengan Jakarta Chamber Orchestra, sebagai solis, Deta mementaskan Exultate Jubilate karya Mozart dan Carmina Burana di Gedung Kesenian Jakarta. Pada saat Deta merayakan ulang tahunnya yang ke-17, ia menyelanggarakan konser tunggal di Erasmus Huis Jakarta.
Pada 2006, bungsu dari tiga bersaudara ini berangkat ke Belanda untuk studi vokal di Utrecht Conservatory. Sang kakak, Dion Janapria, yang sedang belajar gitar jazz di negeri Belanda memberi saran untuk kuliah di Belanda. Di Belanda, Deta belajar musik dengan Henny Diemer. “Beliau itu orang yang keras dan disiplin, enerjik, dan berkarisma. Di usianya yang ke 70, saat dia mulai mengajar saya, dia masih sangat modis dan doyan bersepatu hak tinggi. Jiwa mudanya itu yang saya kagumi,” ujarnya.
Enam bulan pertama Deta belajar di Konservatorium Utrecht, ia dimotivasi oleh gurunya untuk ikut kompetisi Internasional Final Prinses Christina Concours di Den Haag. Deta hanya ingin menjajal kemampuan dan pengalaman saja. Namun, hasilnya menohok banyak orang. Deta yang hanya coba-coba meraih juara I.
Pada 2010, Deta melengkapi prestasi panggungnya dengan kelulusan sebagai sarjana dengan predikat Summa Cum Laude. Tak puas, ia mengambil program master dalam bidang vokal klasik pada kampus yang sama. Sekali lagi, ia lulus dengan predikat cum laude.
Sembari kuliah master, Deta mengikuti berbagai kejuaraan tarik suara. Pada 2012, ia meraih kemenangan memorable dalam kompetisi Dutch Classical Talent, yang membawanya ke panggung di Royal Concertgebouw. Gedung yang oleh orang
Belanda disebut sebagai Kuil Musik Klasik, salah satu concert hall terbaik di dunia. Deta menjadi musisi Indonesia yang namanya terukir di sana.
Gedung konser dengan akustik menakjubkan ini, memang membuka pintu bagi para pendatang baru, untuk merintis karier dalam dunia musik klasik. Melalui program Het Debuut (penampilan perdana) seseorang diberi kesempatan untuk tampil, setelah melalui saringan ketat. Saat tampil, Deta didampingi pasangan tetapnya, pianis Jepang Kanako Inoue.
Peserta seleksi adalah para pemusik muda yang tengah mengikuti pendidikan musik di Belanda. Mereka harus bersaing bukan hanya dengan sesama vokalis, melainkan juga instrumentalis. Pada babak penyisihan ada 35 formasi yang mendaftar, tujuh lolos ke semi final, dan empat ke final, salah satunya Deta dan Kanako. Penampilan di Concertgebouw adalah babak final. Selain itu, Deta dan Kanako, juga tampil pada delapan gedung konser di kota-kota Belanda lain.
Sejak itu, suara Deta berulang kali bergema di berbagai gedung opera di Eropa, baik dalam bahasa Inggris, Jerman, maupun Italia. Terakhir, dara bertubuh mungil ini tampil di depan 53 pemimpin dunia, dalam pertemuan puncak Konferensi Keamanan Nuklir di Den Haag tahun 2014. Menyanyi di hadapan para pemimpin dunia, sempat membuat Deta grogi. Apalagi dalam sebuah momen, ia hanya berjarak satu meter dari Barack Obama, presiden negara adidaya Amerika Sewrikat itu. “Di dalam mindset, saya selalu mengatakan bahwa mereka itu penonton biasa. Kalau selalu berpikir mereka pemimpin negara besar, wah, bisa grogi terus,” ujar Deta.
Mencintai musik klasik
Musik klasik semakin menjadi bagian hidup Deta. Baginya, musik klasik itu sensitif dan romantik. “Saya kebetulan suka sekali dengan puisi dan kebanyakan musik klasik lieder yang banyak mengangkat puisi-puisi penyair terkenal, seperti contohnya Goethe, Rimbaud, Verlaine, Whitman, Sapardi Djoko Damono.”
Selain itu, Deta juga lebih memfokuskan diri pada bidang vokal soprano. “Sebenarnya, vokal soprano itu bukan pilihan saya sendiri. Jenis pita suara saya yang punya range soprano, yaitu range yang paling tinggi dari jenis suara wanita, sehingga repertoire yang saya nyanyikan pun harus sesuai dengan range dan struktur suara,” jelas Deta.
Deta mengakui, tidak mudah menggeluti vokal soprano. Penyanyi soprano klasik harus mampu menyanyi tanpa microphone. Setiap hari, Deta harus berlatih menyanyi minimal selama satu setengah jam, menghafal lirik, dan latihan teknik bernyanyi. Ketekunannya memang berbuah manis karena selain memenangkan kompetisi, Deta juga sering tampil di konser dan festival di Belanda serta negara lainnya.
Segudang prestasi yang membanggakan tidak membuat Deta cepat puas. Ia memiliki banyak mimpi yang ingin diwujudkan. Sembari menjalankan persiapan untuk berbagai festival yang akan ia hadiri, Deta juga aktif berkontibusi melalui vocal coaching dan lokakarya. Deta tengah mempersiapkan pementasan opera Kartini dan opera Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer) di Belanda dan Indonesia. “Ini proyek independen, jadi saya terlibat betul dalam proses produksi. Ya, hitung-hitung belajar skill baru yang harus bisa dikuasai seorang artis, selain dari segi artistiknya saja,” jelasnya.
Selain menjadi seorang performer, Deta juga memiliki keinginan untuk menjadi pengajar. Deta merasa wajib untuk membagikan ilmu dan pengalamannya, seperti yang telah dilakukan oleh para gurunya. “Saya memang suka tampil di panggung, tapi hati saya sangat tertambat pada pengajaran. Sudah dua tahun ini saya bersama beberapa teman saya yang belajar vokal klasik menyelenggarakan vocal camp prospettiva. Itu adalah kursus vokal intensif selama 3 hari yang mencakup banyak hal yang harus dipelajari oleh seorang penyanyi, seperti performance art, literatur, dan body movement.”
Bernadeta Astari
TTL: Jakarta, 15 Januari 1988
Orangtua: Caecilia Aryani & Martinus Mamak Sutamat
Pendidikan:
• SMA Kolese Gonzaga (2003-2006)
• S1 & S2 Konservatorium Musik Utrecht Belanda (2006-2012)
• Opera Studio Nederland (2012-2013)
Konser:
• Konser LIGHT bersama Leine Roebana dan Kyai Fatahillah Gamelan Ensemble, tour keliling 12 kota di Belanda (2016)
• Konser “Big Love Big Data” bersama Het Geluid Maastricht di Belanda (2016)
• Konser “An English Serenade” bersama Sinfonieta Jakarta di Jakarta (2016)
• Konser “Song recital” bersama Kanako Yoshikane (piano) di Jepang (2014)
• Konser “Recital Belgica” bersama Tijm Wehlburg (violin) di Belgia (2014)
• Menyanyi dalam pembukaan Nuclear Security Summit (NSS) 2014 di Belanda.
Fr Benediktus Yogie W SCJ