HIDUPKATOLIK.com – Saat kembali dari kunjungan di Baku, Azerbaijan, awal Oktober 2016 lalu, Paus Fransiskus mengungkapkan keinginan untuk bisa berkunjung ke India dan Bangladesh pada 2017. Kunjungan ke India hingga kini belum memungkinkan, namun kemudian rencana kunjungan ke Bangladesh dibicarakan, bersamaan dengan kunjungan ke Myanmar. Kunjungan tersebut dirancang tidak lama setelah ada persoalan Rohingya, yang melibatkan kedua negara tersebut.
Kunjungan yang rumit, demikian digambarkan. Di satu sisi, ada persoalan kemanusiaan yang berat, bahkan dikatakan: pembersihan etnis. Di lain sisi, pimpinan Gereja di Myanmar meminta kepada Paus untuk tidak menyebut kata “Rohingya”, karena isunya sensitif, agar tidak merugikan umat Katolik di Myanmar yang 1,3 persen populasi penduduk. Memang beberapa kali di Roma, Bapa Suci menyinggung persoalan Rohingya, dengan menggunakan kata itu. Bagaimana dia menghadapi persoalan tersebut, itulah yang ditunggu semua pihak.
Saling Memahami
Intensi doa Bapa Suci pada November 2017 mengajak kita semua berdoa bagi Gereja di Asia, agar umat Kristiani di Asia menapaki jalan dialog, perdamaian, dan sikap mau saling memahami dengan mereka yang berbeda. Dialog adalah jalan yang ditempuh Gereja, demikian dikatakan pertama kali oleh Paus Paulus VI dalam Ecclesiam Suam (1964), dan ditegaskan lagi oleh Paus Yohanes Paulus II, secara khusus sebagai ciri menggereja di Asia, sebagaimana ditulisnya dalam Ecclesia in Asia (1999).
Dalam pesannya kepada umat Katolik di Asia, Paus Fransiskus menyebutkan bahwa dialog tidak saja mensyaratkan kejelasan dan kemendalaman iden titas diri, namun pula hati yang sanggup berempati. Dalam pesan yang disampaikannya di depan para Uskup Asia di Korea Selatan tahun 2014 lalu, Paus mengatakan empati berarti memiliki hati terbuka yang sanggup mendengarkan, tidak hanya kata namun pula nuansa tutur dan sikap, sehingga bisa mengenali kerinduan, pergulatan dan harapan terdalam sesama. Dengannya lalu tumbuh kesediaan hati untuk menerima sesama, sehingga bisa terwujud perjumpaan dari hati ke hati.
Paus Fransiskus dalam pesan video menjelang kunjungan menyebut jelas, bahwa kunjungannya adalah kunjungan pastoral. Baginya pastoral memenuhi dua aspek penting yang mendasar: kedekatan dan perjumpaan. Keduanya mendorong kepada kesediaan dan keterbukaan hati untuk datang, bukan terutama untuk mengadili namun menjumpai. Maka ketika ditanya mengapa dia bersedia menerima pimpinan militer, di luar agenda resmi, sebelum berjumpa dengan yang lain, Paus Fransiskus mengatakan, dialog lebih penting daripada menaruh curiga akan motif atau kepentingan yang menyertai. Baginya perjumpaanlah yang harus lebih dahulu dibangun, agar dialog terjadi dan pesan dinyatakan. Membuka, dan bukan menutup pintu, itulah jalan dialog.
Perjumpaan adalah pula saat penyampaian pesan. Maka Paus mengatakan kepada para pimpinan militer yang menemuinya, bahwa cara-cara masa lalu, dengan kekerasan dan senjata, bukanlah cara yang tepat, dan tidak bisa lagi diterapkan. Dialog tidak menghalangi penyataan sikap jelas dan tegas. Akan tetapi, dalam cara dialog tersebut, Paus menyebutkan ada ruang berbeda yang perlu diperhatikan, sehingga tidak segala yang dikatakan dalam perjumpaan personal. Tidak perlu diungkapkan secara publik; apa yang dikatakan di balik pintu, tidak harus dikatakan secara terbuka di depan umum. Dialog membutuhkan sikap hormat.
Oleh karena itu, Paus Fransiskus saat berjumpa dengan Aung San Suu Kyi, secara tidak langsung mengatakan, tidak bisa begitu saja mengambil sikap menyalahkan dia. Situasinya begitu pelik dan rumit, tidak bisa lalu diadili begitu saja hanya dari apa yang dilakukan dan dikatakan, tanpa masuk ke dalam kerumitan persoalan dan menjumpai langsung pihak-pihak yang terkait erat di dalamnya, dalam sikap dan tempatnya masing-masing. Persoalan Myanmar sangatlah tidak mudah. Mereka sedang berada dalam proses transisi demokrasi, maka sikap hati-hati dan kesadaran akan proses yang masih berjalan perlu juga diperhatikan.
Mencoba mengenali persoalan yang terjadi juga menjadi pertimbangan untuk berkunjung ke Bangladesh. Negeri ini memiliki umat Katolik yang sangatlah kecil, hanya 0,2 persen, namun diakui memiliki peran besar dalam pelayanan pendidikan dan sosial kepada kaum miskin. Paus ingin menguatkan mereka agar semakin setia menjadi saksi iman, dalam pelayanan di dalam masyarakat. Selain itu, sebagai salah satu negara termiskin di dunia, Bangladesh dipuji Paus sebagai negara yang terbuka menampung pengungsi, lebih dari 700.000 jiwa. Dia membandingkan dengan banyak negara mampu, namun lebih cenderung menutup diri akan penderitaan sesama.
Isolasionisme itu yang dilawan Paus. Prinsip isolasionisme bisa terjadi karena ketertutupan diri, jaminan akan rasa aman yang berlebihan, namun juga karena kesempitan diri, hanya pada agama, suku, atau etnis sendiri. Sikap isolatif bertentangan dengan prinsip dialog. Memang fundamentalisme ada, bahkan isu Rohingya diakuinya pula ditunggangi oleh kelompok teroris. Namun, cara terbaik bukan dengan menjauhi dan menyingkirkan, tetapi merangkul dan melayani agar kebaikan semakin diwartakan dan dinyatakan. Dialog sangat perlu, dan dialog hanya bisa berjalan bila ada kebebasan, termasuk kebebasan beragama.
Sebuah Pesan
Mengapa Paus Fransiskus tidak menyebut kata Rohingya saat di Myanmar. Beberapa pihak mengecam Paus, terutama lembaga-lembaga hak asasi manusia. Dia baru menyebut kata itu saat di Bangladesh, berjumpa dengan 16 pengungsi Rohingya. Malahan, Paus mengatakan, wajah Allah dewasa ini nyata dalam diri mereka, etnis Rohingya. Memang di Roma, dia beberapa kali menyebut kata Rohingya, namun mengapa tidak mengatakannya di Myanmar.
Dia memahami bahwa etnis Rohingya tidak diakui di Myanmar, dan situasi penindasan tidak hanya mereka alami. Bagi Paus, persoalan pokok adalah penindasan yang terjadi dan ketidakadilan yang dialami, bukan hanya oleh etnis Rohingya. Oleh karena itu, daripada hanya berfokus pada soal Rohingya, dia lebih berbicara tentang realitas penindasan dan ketidakadilan, sesuatu yang dikatakannya dengan tegas baik di Myanmar maupun di Bangladesh. Hal itu juga apa yang terjadi di wilayah Rakhine, tempat tinggal etnis Rohingya, disinggung Paus saat berjumpa dengan para pemimpin Myanmar.
Rohingya baginya bukan terutama soal etnis ataupun kelompok agama. Rohingya adalah umat manusia. Maka Paus lebih mau mengingatkan agar jangan seorang pun dikecualikan dan disingkirkan, entah apapun etnis dan agamanya. Itulah pesan dasar kepada siapa saja. Daripada sibuk berdebat soal menyebut istilah Rohingya atau tidak, yang lebih penting adalah pesan dasar yang perlu disampaikan: pesan dialog dan penghargaan akan hak asasi manusia. Dia tidak mau mengurbankan pihak-pihak tertentu yang situasinya bisa menjadi lebih sulit, kalau menyebut kata itu.
Bisa dikatakan, kunjungan Paus ini memuat pesan iman dan kemanusiaan. Pesan tersebut dikatakan secara profetik. Namun, Paus Fransiskus memiliki kemampuan diplomasi yang terlihat dari kunjungan ini. Paus adalah pembawa pesan, pembangun jembatan, semua itu dijalankan dalam dialog yang sehat dengan semua pihak, tanpa mengecualikan siapa pun. Dialog adalah cara penyampaian pesan, dialog membutuhkan strategi dan cara yang tidak membuat situasi menjadi lebih buruk. Pesan iman diwartakan dan dinyatakan dengan sikap yang jelas namun juga dengan cara yang tepat.
T. Krispurwana Cahyadi SJ, Direktur Pusat Spiritualitas Girisonta (Puspita)