HIDUPKATOLIK.com – Harus diakui bahwa media sosial telah menjadi sarana komunikasi publik yang ekspansif, masif. Tetapi perlu disadari bahwa kehadirannya tidak hanya mendatangkan efek positif, tetapi juga negatif. Hal ini terjadi, karena diskursus dalam media sosial acapkali “lepas kendali”.
Dalam media sosial, sikap resmi dan ungkapan pribadi sering tumpang tindih (Finetx, 2001). Salah satu hal yang mengakibatkan diskursus media sosial lebih menyerupai “monster” penghancur sendi-sendi publik adalah hoax. Hoax merupakan informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya (MacDougall, 1986). Hoax dikonstruksi untuk kepentingan tertentu. Dalam tulisan ini, saya mendalami efek media sosial bagi formasi calon imam dan bagaimana para calon imam menjadikannya sebagai sarana pewartaan.
Elaboratif
Sebagai kelompok orang yang hidup di era generasi milenial, calon imam sekarang tidak bisa mengelak dari kehadiran media sosial. Setiap hari, ia (baca: calon imam) pasti berhadapan dengan sekian banyak informasi dari media sosial. Namun disadari juga, bahwa calon imam acapkali menggunakan media sosial sebagai sarana mengafirmasi hal-hal destruktif. Ia seringkali memposting hal-hal yang mendekonstruksi esensi panggilan. Calon imam juga seringkali terlibat dalam diskursus media sosial yang mengabaikan aspek etik, moral, dan mengeliminasi nilai-nilai kebenaran substantif. Alhasil, epifani diri calon imam melalui media sosial justru bertolak belakang dengan hakikat eksistensinya.
Selain itu, calon imam juga seringkali menjadikan informasi dari media sosial sebagai rujukan akademik. Padahal, informasi itu belum tentu benar. Kenyataannya, media sosial seringkali mempublikasikan hoax. Hal seperti ini pasti mendatangkan ekses distortif bagi formasinya. Calon imam “zaman now” memang harus beradaptasi dengan media sosial, tetapi mesti memiliki kecerdasan dalam menggunakan. Ia tak boleh menjadikan media sosial sebagai acuan bagi praksis formatif. Ia harus selalu tampil elaboratifargumentatif. Ia boleh terlibat dalam diskursus media sosial, tetapi bukan berarti dengan serta merta menerima dan menjadikannya sebagai kebenaran.
Mimbar Baru
Calon imam harus bisa “mentransformasikan” informasi-informasi dari media sosial menjadi elemen pendukung dalam praksis formatifnya. Ia mesti mampu mengambil hikmah dari informasi media sosial itu kemudian coba menarik garis simetris bagi panggilannya. Di sini, informasi itu mesti memiliki efek transformatif. Ia juga mesti bisa menangkal dan mengantisipasi kemungkinan terciptanya ekses-ekses negatif- distortif dari kehadiran media sosial itu.
Seturut alur Optatam Totius, calon imam harus menyadari adanya kemungkinan “bahaya-bahaya yang terutama di masyarakat zaman sekarang mengancam kemurnian mereka”. Media sosial bisa menjadi ancaman bagi panggilan calon imam, jika tidak memiliki kesanggupan untuk berpikir selektif dan antisipatif. Calon imam memang perlu membaca media sosial, tetapi tidak boleh menjadikan itu sebagai acuan dalam bernalar apalagi menggunakannya sebagai landasan bagi refleksi atas panggilan.
Maka, penting bagi calon imam untuk secara bijaksana menempatkan diri saat ingin berkomunikasi dengan orang lain melalui media sosial. Di sini, ia harus memahami koridor bermedia sosial. Dengan itu, calon imam bisa meresakralisasi ruang publik yang telah didesakralisasi oleh media sosial (dan hoax). Mengikuti arahan Inter Mirifica, calon imam harus “memanfaatkan media komunikasi sosial untuk menyiarkan Warta Keselamatan”. Melalui media sosial, calon imam bisa merealisasikan cita-cita dan ambisi suci Kristus untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya (Mat. 28:19). Calon imam harus menjadikan media sosial sebagai “mimbar baru” pewartaan Kristiani yang ekspansif – efektif.
Inosentius Mansur, Pembina Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret, Maumere-Flores, Nusa Tenggara Timur