HIDUPKATOLIK.com – Kesulitan pendanaan menjadi kendala dalam pengelolaan layanan kesehatan Katolik di daerah terpencil. Dibutuhkan terobosan untuk tetap melayani.
Karya kesehatan Katolik sudah sejak lama dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum, khususnya masyarakat yang bermukim di daerah terpencil. Jauh sebelum pemerintah mampu memberi layanan kesehatan kepada masyarakat di daerah-daerah sulit itu, karya kesehatan Katolik telah ada di sana.
Umumnya karya kesehatan Katolik di Indonesia berbentuk klinik atau rumah sakit. Pelayanan ini sudah dimulai sejak puluhan tahun lalu, bahkan ada yang didirikan sebelum Perang Dunia II. Karya kesehatan itu dimulai dengan kedatangan para biarawati misionaris. Mereka sebagian besar dari daratan Eropa. Sejak datang di Nusantara, mereka langsung bekerja melayani dalam dunia kesehatan di berbagai wilayah. Seiring waktu, karya kesehatan Katolik terus berkembang, dukungan dari luar negeri pun semakin banyak. Cukup banyak biarawati dari luar negeri yang memiliki bekal pendidikan profesi kesehatan. Dukungan dana juga datang dari keluarga biarawati. Selain itu, induk organisasi atau tarekat asal biarawati itu juga mendukung termasuk untuk ketersediaan dana. Donatur dari Eropa juga cukup banyak. Data mencatat, rumah sakit dan klinik Katolik yang pada 1972 berjumlah 106, berkembang menjadi 320 pada 1988, dan terus meningkat menjadi 450 pada 2012.
Didera Krisis
Namun, dalam sepuluh tahun terakhir ini, mulai terjadi “krisis”. Hal ini disebabkan berkurangnya tenaga biarawati dari luar negeri, karena sudah tua, wafat, atau kembali ke negara asalnya. Sedangkan tenaga yang baru tidak ada lagi. Karya kesehatan Katolik “kehilangan” banyak tenaga kesehatan sukarelawati (yang tidak dibayar). Seiring dengan makin berkurangnya tenaga biarawati dari luar negeri, dukungan dana dari keluarga biarawati, dan tarekat juga berkurang. Ini diperparah adanya krisis ekonomi di Eropa, sehingga dukungan dana dari lembaga donor di luar negeri, khususnya Eropa, juga berkurang.
Untuk mengatasi, klinik dan rumah sakit Katolik berusaha untuk memperoleh dana bagi pasien miskin dengan mekanisme “subsidi silang” atau sistem “robinhood”. Pasien kaya membayar lebih banyak, agar ada surplus untuk membiayai pasien yang miskin. Namun, mekanisme ini kurang berhasil. Pasien yang membayar lebih banyak juga akan meminta fasilitas yang lebih istimewa. Hal ini tentu membutuhkan investasi tambahan. Mekanisme ini juga tidak berhasil diterapkan di daerah terpencil atau di daerah miskin. Sebab, sebagian besar masyarakatnya tergolong masyarakat yang kurang mampu.
Program Pemerintah
Dalam sepuluh tahun terakhir pula, terbit pelbagai peraturan yang mengatur layanan kesehatan di Indonesia. Pemerintah semakin ketat mengatur pelayanan kesehatan di Indonesia. Peraturan tersebut tentu juga bertujuan baik, menjamin mutu layanan kesehatan yang diberikan. Itu juga menjamin keselamatan pasien dan keselamatan masyarakat di sekitar lokasi klinik atau rumah sakit.
Namun, peraturan itu membawa konsekuensi pada ketersediaan dana, ketersediaan tenaga profesional, dan perlengkapan peralatan kesehatan yang memadai. Ujung-ujungnya, ini juga menyangkut dana yang cukup besar, di mana rumah sakit di daerah terpencil akan sulit memenuhinya.
Undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di dalamnya mengatur tentang Sistem Jaminan Sosial Kesehatan. Hal ini lalu diwujudkan dengan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS), yang menjamin layanan kesehatan yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesungguhnya, ini membawa harapan baru, “hak atas kesehatan” bagi masyarakat miskin akan terpenuhi. Premi BPJS bagi pasien miskin ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Pasien miskin tidak lagi perlu cemas jika sakit, karena dapat berobat di layanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS. Layanan kesehatan non pemerintah, termasuk layanan kesehatan Katolik, diberi kesempatan ikut menjadi provider BPJS baik di tingkat dasar (klinik) maupun tingkat rujukan (rumah sakit).
Keterlibatan sebagai provider BPJS merupakan peluang bagi layanan kesehatan Katolik untuk tetap melayani orang miskin. Tentu ini sesuai dengan visi-misinya, yang berorientasi pada option for the poor.
Namun, nampaknya layanan BPJS masih belum berjalan mulus, beberapa kendala masih dijumpai. Masyarakat yang bermukim di daerah terpencil belum sepenuhnya menikmati layanan kesehatan yang dijanjikan. Di wilayah itu belum tersedia layanan kesehatan yang memadai. Untuk bisa mendapatkan layanan dokter spesialis atau akses kepada peralatan canggih, sering harus menempuh jarak yang jauh dengan transportasi yang mahal.
Peluang dan Tantangan
Klinik atau rumah sakit yang ingin menjadi provider BPJS, harus mampu menyediakan dokter, baik umum maupun spesialis. Mereka juga wajib menyediakan tenaga lain semisal apoteker dan analis. Ketersediaan peralatan kesehatan semisal radiologi dan laboratorium juga menjadi syarat yang wajib dipenuhi. Layanan kesehatan juga harus melengkapi diri dengan sertifikasi Amdal dan beberapa syarat lain.
Persyaratan ini, untuk klinik atau rumah sakit di daerah terpencil menjadi barang yang sulit dipenuhi. Persoalannya kembali pada ketersediaan dana. Dokter dan tenaga medis tentu mengharapkan imbalan yang menarik, gaji besar, dan fasilitas. Belum lagi untuk peralatan kesehatan.
Sedangkan sistem penggantian biaya klinik dengan cara kapitasi, tidak layak diterapkan di daerah terpencil. Di daerah itu, jumlah penduduk di suatu desa atau dusun tidak banyak, kadang bahkan kurang dari seribu orang.
Situasi pendanaan yang sulit tersebut mengakibatkan banyak klinik Katolik yang berkarya di daerah terpencil terpaksa harus tutup. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir tercatat ada sekitar 40 klinik Katolik yang tutup. Sekitar 100 buah lainnya yang kebanyakan berupa klinik saat ini dalam keadaan memprihatinkan.
Apakah ini tanda-tanda zaman, di mana karya kesehatan Katolik sudah tidak diperlukan lagi? Apakah juga tanda pemerintah telah mampu menyediakan layanan kesehatan yang cukup?
Dalam kenyataannya, sebagian masyarakat umum bersaksi bahwa layanan kesehatan Katolik masih tetap diperlukan. Kebutuhan ini terutama di daerah terpencil. Layanan kesehatan BPJS masih banyak kendala. Di sisi lain, layanan kesehatan Katolik masih mempunyai kelebihan dengan pelayanan 24 jam sehari dan layanan pastoral care, ‘pendampingan pasien’.
Kemungkinan Terobosan
Penggalangan dana filantropik dari dalam negeri menjadi sangat mendesak. Dana ini khususnya untuk karya kesehatan di daerah terpencil. Dalam Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang lalu, PERDHAKI mengusulkan penggalangan dana kesehatan pada momen Hari Orang Sakit Sedunia.
Selain penggalangan dana filantropik, perlu juga membuat terobosan seperti “Sister Hospital”. Rumah sakit Katolik yang kuat membantu rumah sakit yang masih kecil di daerah terpencil. Bantuan dapat berupa pengiriman tenaga profesional yang langka dan bantuan bimbingan manajemen. Rumah sakit besar di suatu wilayah tertentu membantu klinik-klinik kecil, dengan bantuan tenaga profesional. Sementara tarekat biarawati yang memiliki rumah sakit dan klinik, yang tersebar di pelbagai wilayah, membentuk suatu holding company yang mengefisienkan kebutuhan tenaga profesional, peralatan medis, dan obat-obatan.