HIDUPKATOLIK.com – Karya kesehatan milik misi atau lembaga Katolik terkenal hingga ke pelosok. Bahkan, mendahului pemerintah.
Suster Odilia MASF baru tiga tahun bergabung dengan Kongregasi Misi dan Adorasi Keluarga Kudus (Congregatio Missionis et Adorationis Sanctae Familiae/MASF). Sekitar tahun 1987, pimpinan tarekat mengutusnya ke RS St Yoseph Tering, Kalimantan Timur (Kini, Kutai Barat), Keuskupan Agung Samarinda.
RS St Yoseph pada masa itu menjadi favorit dan rujukan mayoritas penduduk di sepanjang Sungai Mahakam dan pegunungan. Sebab, kenang Suster Odilia, karya kesehatan yang dimulai sejak 1932 merupakan satu-satunya RS dan berada di pelosok kala itu. “Bantuan pemerintah sama sekali belum menjangkau hingga ke sana,” ungkapnya.
Menurut biarawati asal Klaten, Jawa Tengah ini, kampung terdekat dengan RS sekitar 90 menit. Pasien dan keluarganya harus menyusuri Sungai Mahakam untuk bisa sampai di RS. Sementara waktu tempuh dari kampung terjauh –Hulu dan Hilir
Mahakam– ke RS sekitar sepuluh jam.
Jemput Bola
Jarak yang amat jauh, waktu tempuh yang tak sebentar, serta kondisi alam yang sangat menantang mengakibatkan banyak pasien yang tak tertangani. Sementara mereka yang berhasil tiba di RS, kata Suster Odilia, nafasnya sudah satu-satu. Ia terenyuh melihat kondisi itu. Maka, Suster Odilia meminta izin kepada pimpinan tarekat untuk “jemput bola” ke pedalaman.
Ia membawa tas besar berisi obat-obatan dan alat peraga untuk penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Tenaga medis dan paramedis kala itu masih sangat langka. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang didapat selama berada di RS St Yoseph Tering, memaksanya untuk berperan sebagai dokter sekaligus perawat.
Setiap pilihan selalu membawa konsekuensi. Situasi ini diakui oleh Suster Odilia. Ia tak menampik, meski keputusan untuk membantu masyarakat di pedalaman berasal dari dirinya sendiri, ia sempat stres berhadapan dan menghadapi pasien sendirian. “Apalagi tujuannya menyelamatkan nyawa pasien,” jawab Suster Odilia, dalam pesan WhatsApp, Kamis, 30/11.
Setiap bulan ia pergi ke pedalaman Kalimantan Timur. Peristiwa paling menantang ketika ia menangani persalinan. Dalam sehari sekitar sepuluh orang melahirkan. Suster Odilia memaklumi karena program Keluarga Berencana belum ada masa itu. Ada kalanya karena kondisi khusus, ia merujuk pasien ke RS Dirgahayu di Samarinda. Namun beberapa kali terjadi pasien keburu melahirkan di atas kapal.
Listrik belum menjangkau hingga ke Tering. Saat dinas malam, Suster Odilia bersama para perawat menggunakan lentera. Pernah ada kejadian karena hujan turun amat deras disertai angin kencang, lentera yang mereka letakan di bangsal pasien terjatuh. Beruntung api tak merambat naik.
Sekarang listrik sudah masuk ke Tering, tapi hanya menyala pada malam hari. Sering kali pula terjadi listrik byar pet. RS milik Keuskupan Agung Samarinda dan Yayasan Setia Budi Karya Kesehatan tak lagi beroperasi, kata Suster Odilia. Tumbuhnya aneka fasilitas kesehatan serta akses jalan darat yang semakin baik, membuat masyarakat memilih berobat di kota.
Jalan Berbatu
Suster Blandina Adek MASF Januari 2016 ditugaskan di Biara MASF Kaputu, Timor, Nusa Tenggara Timur. Jarak kampung itu ke ibu kota kabupaten, Malaka, sekitar 3,5 jam. Akses jalan dari dan menuju ke sana berbatu-batu . Moda transportasi umum – masyarakat menyebut oto ojek– amat jarang.
Sekitar tahun 2000, para suster MASF membuka layanan kesehatan di Kaputu. Pada saat itu banyak pengungsi pasca jajak pendapat di sana. Pelayanan kesehatan terus berlanjut demi membantu masyarakat yang didera gering.
Balai Pengobatan Santa Familia Kaputu menggunakan satu kamar biara berukuran 3×4 meter. Umat menyambut antusias kehadiran BP tersebut. Mereka berharap, kelak ada ruang rawat inap. Impian itu menurut Suster Blandina tak gampang diwujudkan. Sebab, uang yang mereka dapat hanya cukup untuk membeli obat-obatan. “Sering kali umat menebus obat-obatan dengan hasil kebun karena mayoritas penduduk sebagai petani,” ujarnya, Kamis, 30/11.
Meski begitu, Suster Blandina bersama para kolega tak pernah berhenti bermimpi. Suatu hari kelak semoga mereka bisa mendirikan sebuah bangunan yang layak dan nyaman untuk pasien. Setelah itu, mereka akan berjuang meningkatkan status layanan kesehatan dari BP menjadi klinik agar semakin optimal melayani pasien.
Saat ini hanya ia sendiri melayani pasien BP. Dalam sepekan paling kurang ada 30 umat berobat kepadanya. Sementara selama satu bulan ada sekitar 120-150 pasien yang ditanganinya. “Kami belum mampu untuk menggaji tenaga profesional.”
Kejayaan sempat dirasakan oleh RB/BP Xaverius, di Jalan Mangga No. 29, Pasir Gintung, Tanjungkarang, Bandar Lampung. Salah satu karya kesehatan yang diasuh oleh para suster dari tarekat Fransiskan St Georgius Martir (FSGM) dikenal banyak orang karena pelayanan yang cepat, penuh kasih, dan biaya terjangkau.
RB yang berdiri sejak 1954 itu memberikan layanan kepada masyarakat berupa pemeriksaan kehamilan, rawat inap ibu dan bayi baru lahir, pelayanan KB, imunisasi, senam hamil dan nifas dini, dan pap smear. Ada juga layanan tambahan seperti, penitipan anak bagi orangtua yang bekerja, penyuluhan, pemeriksaan dan pengobatan anak bagi keluarga pra sejahtera setiap sekali sebulan.
Ketika pemberlakuan UU Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) no. 36 tahun 2011, RB Xaverius memasuki senjakala. Menurut Ketua Yayasan St. Georgius Martir, Suster M. Paulien FSGM, sejak UU diberlakukan status RB Xaverius tidak dapat ditingkatkan menjadi klinik karena fasilitas, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia tidak memenuhi standar.
Pada 2012, nama RB Xaverius diubah menjadi Bidan Praktek Mandiri (BPM) ME. Suyati. Dari hari ke hari, BPM ME. Suyati pun semakin redup dan ditinggalkan banyak orang. Selama November 2017, pasien poli rata-rata tiga hingga tujuh orang dalam sehari. Sementara dalam tiga bulan terakhir (Agustus-November 2017) pasien partus kosong.
Sebagian besar masyarakat kota Bandar Lampung, menurut Suster M. Paulien, ber-minded dokter. Selain itu, BPM serta puskemas semakin menjamur disertai fasilitas canggih. Kondisi ini membuat BPM ME Suyati semakin sepi pengunjung. Pada awal Desember 2017, BPM Suyati resmi ditutup dan dialihfungsikan sebagai asrama.
Mari Selamatkan
Tiga kisah tersebut hanya sebagian kecil dari maraknya cerita pilu yang dihadapi oleh sejumlah karya pelayanan kesehatan Katolik di Indonesia. Dulu, karya kesehatan Katolik amat berjaya. Bahkan, tatkala pemerintah belum menjangkau hingga ke pelosok Negeri, karya kesehatan milik misi sudah menebar jala pelayanan amat dalam.
Situasi telah berubah. Menurut data yang diberikan oleh Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) ada 39 RB/BP/Klinik/RS milik lembaga Katolik yang gulung tikar antara lain, BP/RB St Katarina Deli Serdang, BP/RB Bukit Kasih Riau, BPU Damai Jakarta, BP Panti Asih Tabanan, BKM Soegiyopranoto Semarang. “Ada sekitar seratus yang kondisinya (RB/BP/Klinik/RS) megap-megap,” ujar Pimpinan PERDHAKI, dr. Felix Gunawan, di Jakarta, Kamis, 23/11.
Di tengah senjakala, ada juga RB/BP/Klinik/RS Katolik yang “naik kelas”. Para pengelola RB/BP/Klinik/RS Katolik dengan kondisi mengkuatirkan perlu berguru kepada mereka. Selain itu, bantuan umat amat dibutuhkan. Selain doa, kita juga perlu tindakan konkret lain untuk menyelamatkan masa depan karya kesehatan Katolik.
Yanuari Marwanto/Sr M. Fransiska FSGM (Bandar Lampung)