HIDUPKATOLIK.com – Obrolan santai saat menjaga gereja mengawali dibentuknya komunitas yang berkiprah di bidang seni dan budaya. Mereka melibatkan kelompok lintas agama.
Tercetusnya sebuah kelompok budaya tak selalu berawal dari sesuatu yang indah. Awalnya, pada tahun 2000, ketika situasi mencekam masyarakat, karena terjadi berbagai kekacauan berlabel agama dan suku, Achellius Agung Wiyatno mengajak beberapa umat Paroki St Mikael Gombong, Jawa Tengah, menjaga gedung gereja dan bangunan sekitarnya. Kebetulan, gereja St Mikael ada dalam satu kompleks dengan komunitas suster Amal Kasih Darah Mulia (ADM) dan Rumah Sakit Palang Biru, Gombong.
Lama-kelamaan, kegiatan penjagaan itu diisi dengan sarasehan informal tentang berbagai aspek kehidupan menggereja. Dalam prosesnya, pembicaraan mengerucut pada masalah budaya, terutama terhadap keprihatinan budaya tradisional yang semakin tersisih. Diyakini bahwa pengabaian budaya lokal menjadi salah satu sebab timbulnya berbagai masalah dalam masyarakat. Maka tercetuslah gagasan untuk melakukan kegiatan yang memunculkan kembali nilai-nilai budaya khususnya Jawa baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan menggereja.
Untuk Kemuliaan Tuhan
Paguyuban tak bernama ini kemudian mengadakan sarasehan budaya setiap tiga puluh lima hari sekali atau selapanan, tepatnya setiap hari Selasa Kliwon. Aneka topik dibicarakan dalam sarasehan, dari masalah sosial, kebatinan hingga berbagai bentuk seni tradisional. “Pada mulanya, sarasehan hanya dihadiri belasan orang. Dalam perkembangannya ada semakin banyak orang tertarik untuk terlibat. Hingga kini rata-rata lebih dari seratus orang terhimpun dalam paguyuban ini,” papar Carolus Paimin, salah satu perintis Paguyuban Amuldati.
Pada tahun 2003, seiring dengan semakin teraturnya kegiatan, tercetuslah keinginan untuk membentuk kelompok karawitan. Ide ini mendapat dukungan sepenuhnya dari Pastor Paroki RD Kris Warsito dan RD Sheko Swandi. Dengan dukungan seorang donatur, dibelilah seperangkat gamelan seharga lima juta. Menilik dari harganya, jelaslah bahwa perangkat gamelan ini dari kelas yang bersahaja. Hal itu tak mengurangi semangat para anggota. Mereka kemudian rutin berlatih dengan mendatangkan pelatih dari luar. Tak jarang mereka harus menghimpun dana secara swadaya untuk membayar honor pelatihnya.
Kemudian pada 11 Februari 2005, kelompok karawitan ini tampil perdana mengiringi Misa Inkulturasi 1 Sura. Bertepatan dengan pentas tersebut, diresmikan pula nama komunitas yaitu Paguyuban Amrih Mulya Dalem Gusti (Demi Kemuliaan Nama Tuhan) yang disingkat Paguyuban Amuldati. “Pemilihan nama ini dimaksudkan agar setiap kegiatan yang dilakukan memiliki pamrih semata-mata untuk memuliakan Tuhan,” ungkap F.A. Bambang Tri Saktiono, Koordinator Paguyuban Amuldati saat ini.
Pengembangan Kesenian
Dalam perkembangannya, kegiatan seni yang diadakan Paguyuban Amuldati pun bertambah. Setelah karawitan, menyusul terbentuknya Orkes Keroncong Irama Kasih. Selain menjadi pengiring dalam misa, orkes keroncong ini juga sering diminta umat untuk memeriahkan acara di lingkungan.
Pada tahun 2006, dengan dukungan dari RD F.X. Yitno Puspahandaya selaku pastor paroki, terbentuklah pula Kelompok Kesenian Kentrung/Janengan. Ini adalah kelompok musik rebana yang banyak dikenal masyarakat Gombong dan sekitarnya. Jika di tengah saudara-saudari Muslim digunakan untuk mengiringi lagu-lagu Shalawat, maka Kelompok Kentrung Amuldati ini digunakan untuk mengiringi nyanyian rohani Katolik dalam bahasa Jawa, termasuk lagu-lagu untuk iringan misa.
Selain musik, komunitas Amuldati juga mengembangkan seni teater tradisional ketoprak. Kelompok ini hampir setiap tahun mengadakan pentas dan dihadiri oleh masyarakat umum, tak hanya terbatas umat Katolik. “Meski kami banyak mengambil lakon-lakon tradisional, kami selalu menyelipkan pesan iman dalam dialognya. Kami ingin menggunakan kesenian ini sebagai sarana katekese,” demikian F.A. Rosidi, salah satu aktivis Amuldati yang banyak berperan dalam pagelaran ketoprak.
Uniknya, meski digawangi oleh Paguyuban Amuldati yang notabene berbasis budaya Jawa, kerapkali pentas ketoprak ini berkolaborasi dengan berbagai kelompok kategorial dan unsur masyarakat lain. Pernah, paguyuban ini membuat lakon “Yoko: Pendekar Rajawali dari Lereng Merapi”. Dalam pementasan tersebut, terlibat pula kelompok penari tradisional Tiongkok Hosana Dancer. Di pentas lainnya, tak jarang ada tokoh seniman dari agama lain yang tertarik untuk ikut menjadi pendukung.
Keterlibatan Orang Muda
Kini, seni karawitan yang dirintis oleh paguyuban ini semakin diminati berbagai kalangan. Selain kelompok inti yang berlatih rutin, ada dua kelompok pemula dewasa yang juga giat berlatih. Ada pula kelompok karawitan muda OMK yang telah beberapa kali unjuk kebolehan dalam kegiatan paroki. Dan yang juga membanggakan, telah terbentuk pula Kelompok Karawitan Putra-Putri Altar (PPA) St Mikael yang anggotanya terdiri dari siswa-siswi SMP.
Menurut pendamping PPA St Mikael, Yosephin Indah D.A., PPA St Mikael Gombong tidak hanya berkiprah di seputar altar. Di sela-sela kesibukan pelayanan, mereka juga melakukan kegiatan non liturgi untuk pengembangan diri. Salah satunya karawitan dengan pendampingan dari Paguyuban Amuldati. Kegiatan menabuh gamelan ini dimaksudkan sebagai sarana rekreasi para anggota PPA sekaligus pembinaan pribadi yang utuh secara kognitif maupun afektif. “Awalnya mereka bingung bahkan ada yang enggan. Namun setelah beberapa kali berlatih dan mulai menikmati, mereka akhirnya ketagihan. Apalagi setelah mendapat kesempatan tampil di depan umat, orangtua dan teman-teman mereka,” jelas Yosephin.
Menurut Gabi, anggota PPA St Mikael yang menjadi penabuh saron, pada awalnya ia merasa bingung karena sama sekali belum kenal gamelan. Lama kelamaan mereka merasa senang juga. “Not-not gamelan, dulu sempat saya baca do re mi fa sol,” katanya. Sedangkan Vitto, anggota lainnya, merasa bangga bisa mendapat kesempatan belajar gamelan. “Bangga, karena jarang ada remaja yang bisa mena buh gamelan,” kata Vitto yang sering bertugas memukul kendang. Mereka saat ini sungguh menikmati bergelut dengan seni gamelan ini. Sekalipun kadang kikuk ketika tampil mengenakan busana tradisional, mereka mengaku tak kapok dan bersemangat untuk terus berlatih serta berkiprah menggeluti seni tradisi warisan nenek moyang.
Berangkat dari bidang seni, Paguyuban Amuldati ternyata juga bisa menjadi sarana dialog budaya lintas iman. Telah beberapa tahun ini, Tirakatan Malam Tahun Baru Jawa 1 Sura diisi dengan dialog budaya yang melibatkan berbagai kelompok lintas iman, baik dari Muslim, Budha maupun aliran Kepercayaan.
Demikianlah, akhirnya glenak-glenik (obrolan santai) saat menjaga gereja berbuah menjadi sebuah paguyuban yang tidak hanya berkiprah dalam kesenian, namun mampu memberikan media katekese alternatif sekaligus menjadi salah satu wajah gereja dalam masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Vst. Asmodiwongso