HIDUPKATOLIK.com – Hari Studi para Uskup dalam Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kali ini membedah Seruan Apostolik Paus Fransiskus tentang Sukacita Injil (Evangelii Gadium).
Seorang pewarta janganlah terlihat seperti orang yang pulang dari pemakaman. Gembala seharusnya berbau domba. Gereja harus seperti rumah sakit di medan perang. Gereja bukan untuk yang sempurna, tapi bagi siapa saja yang ingin mencari Tuhan. Gereja hendaknya didedikasikan bagi orang miskin, terluka, lemah, dan tersingkir”. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Presidium KWI, Mgr Ignatius Suharyo mengutip Seruan Apostolik Paus Fransiskus tentang Evangelii Gaudium (Sukacita Injili). Seruan itu merupakan bagian dari sambutan Mgr Suharyo ketika membuka Sidang Tahunan KWI di gedung KWI Jalan Cut Mutia Menteng, Jakarta, Senin, 3/11.
Mgr Suharyo berharap kutipan-kutipan inspiratif yang disampaikan Paus Fransiskus tersebut dapat menginspirasi peserta sidang dalam refleksi bersama.Mgr Suharyo yang saat itu didampingi Sekretaris Jenderal Presidium KWI Mgr Johannes Pujasumarta, mengajak para Uskup untuk belajar bersama guna menyamakan persepsi, terutama selama hari studi, Senin-Rabu, 3.5/11. Ia menyampaikan bahwa seruan Bapa Suci itu dapat menimbulkan implikasi teologis dan kebijakan pastoral khusus.
Refleksi Paus
Sidang KWI tahun ini dihadiri oleh 36 Uskup dari seluruh Indonesia, termasuk Julius Kardinal Darmaatmadja SJ, tiga uskup emeritus dan Administrator Diosesan Keuskupan Agung Samarinda, serta Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Antonio Guido Filipazzi. Selain itu, juga hadir Perwakilan dari Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama Agustinus Tungga Gempa dan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom.
Saat berkunjung ke Brasil, Paus mengajukan pertanyaan kepada para uskup Amerika Latin, manakah yang lebih menyita waktu, kesibukan dalam perkara-perkara administratif gerejani atau pelayanan pastoral keluar. Kalau para pimpinan Gereja lebih sibuk dengan urusan administrasi, maka bisa jadi wajah Gereja yang dihadirkan lebih berupa Gereja yang sibuk melayani dirinya sendiri. Ia juga memberikan pesan kepada para kardinal: “kardinal bukanlah pangeran Gereja, tapi pelayan Gereja dan umat Allah”.
Sementara saat berkunjung ke kamp pengungsi Lampedusa, Paus Fransiskus mengingatkan bahaya “globalisasi ketidakpedulian”. Budaya berkecukupan dan mengejar kemakmuran menjadikan orang cenderung hanya memikirkan dirinya sendiri. Akibatnya, orang tidak peduli dengan jeritan tangis orang lain. Hidup hanya seperti sabun, yang tampak indah adalah busa, tak berisi. Penuh bayangan kosong, tertutup, dan tidak peduli pada sesama. Itulah globalisasi ketidakpedulian yang sedang melanda masyarakat dewasa ini.
Pastoral Blusukan
Untuk mengatasi masalah tersebut, diajukan beberapa gerakan perubahan, salah satunya pastoral blusukan. Pewarta seperti ini dapat membangun jembatan penghubung, merangkul sesama, serta menyentuh realitas penderitaan. Gagasan pastoral blusukan ala Paus Fransiskus ini mendapat respon positif. Masyarakat dunia menilai Paus serius dengan gerakan perubahan. Bahkan oleh Panel Editor Forbes, Paus digelari sebagai “Tokoh Berpengaruh Dunia 2014” urutan keempat.
Fransiskus dalam refleksinya di EG, mengajak komunitas Katolik agar membuka pintu Gereja selebar-lebarnya. Gereja bukan untuk yang sempurna, melainkan bagi siapa saja yang ingin mencari Tuhan. Paus memprioritaskan Gereja bagi orang miskin, Gereja yang memar, terluka, sakit karena menjumpai orang. Lebih baik sakit karena melayani ke luar, daripada sakit karena diam di dalam dan sibuk dengan dirinya sendiri. Sebab kemapanan dapat menyebabkan Gereja sakit secara spiritual.
Gaya pastoral blusukan sebenarnya bukan barang baru bagi Gereja Katolik. Para misionaris zaman dulu sudah mempraktikkan model pastoral blusukan itu. Pakar sejarah Gereja Katolik Antonius Eddy Kristiyanto menandaskan bahwa jantung Gereja adalah misi. Pewartaan Injil harus ikut menegakkan keadilan supaya bermakna. Menurutnya, semangat ini selaras dengan dokumen Redemptoris Missio. “Hakikat Gereja adalah misioner,” kata imam Ordo Fransiskan tersebut. Ciri kehidupan misi, demikian Romo Eddy, adalah kegembiraan batiniah yang berasal dari iman. Ia menambahkan bahwa misionaris adalah manusia cinta. Cinta akan Kristus, Gereja, dan lingkungan hidup. Tanpa cinta, semuanya tidak akan menjadi bermakna.
Tantangan Gereja
Guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tersebut juga memaparkan bahwa tidaklah cukup memperbarui teknik pastoral, mengorganisasi sumber daya gerejawi, menyelidiki landasan biblis-teologis iman. Menurutnya, yang penting dan mendesak adalah daya dorong semangat baru menuju kesucian. “Spiritualitas misioner Gereja Katolik adalah perjalanan menuju kekudusan,” jelasnya. Pada kesempatan itu Romo Eddy juga menunjukkan kesulitan konkret Gereja Katolik,antara lain kurangnya semangat evangelisasi, adanya perpecahan di antara orang Kristen, dekristenisasi di negara-negara Kristen, berkurangnya jumlah panggilan menjadi rasul, serta kegagalan komunitas Katolik mengikuti jejak Kristus.
Tantangan konkret misi Gereja saat ini, menurut Romo Eddy, adalah soal iman kita yang selalu dihadapkan pada materialisme dan sekularisme. “Hal ini bisa mengarahkan hidup manusia pada ateisme,” tegasnya. Ia menunjukkan fenomena bahwa saat ini sebagian besar orang beragama justru tidak mengamalkan agama mereka.
Menanggapi spirit misi ini, Uskup Agung Makassar Mgr John Liku Ada’ menyampaikan bahwa misi dulu dimaknai sebagai sarana pembabtisan. Namun kini, demikian Mgr John, misi dimaknai secara luas. “Tetapi saudara kita yang Muslim hingga sekarang masih memandang misi sebagai bentuk kristenisasi,” kata Mgr John.
Sementara Uskup Palangka Raya Mgr A.M. Sutrisnaatmaka MSF melihat bahwa konsep misi saat ini dapat diterjemahkan dengan sangat dinamis. Uskup Bogor Mgr Paskalis Bruno Syukur OFM memaknai spiritualitas misi harus memiliki ketabahan dan kemampuan discernment.Sedangkan, Uskup Purwokerto Mgr Julianus Kemo Sunarka SJ memandang perlunya misi atau pastoral blusukan dalam arti yang luas sekaligus progresif. Keuskupan Purwokerto, demikian Mgr Sunarka, tidak hanya melayani umat Katolik tetapi juga umat lain, seperti Muslim. Bahkan, Keuskupan Purwokerto memiliki anggaran khusus untuk membantu biaya sekolah dan kuliah bagi kader Muslim yang potensial.
Paus Fransiskus telah mengajak seluruh komunitas Katolik agar mendedikasikan Gereja bagi orang miskin, para pencari Tuhan, dan Gereja yang memar, terluka, sakit karena menjumpai orang untuk bersatu demi pertobatan dunia.
A. Benny Sabdo