HIDUPKATOLIK.com – Ia tak pernah menyukai Karismatik. Namun, ada suatu kejadian yang mengubah paradigmanya. Kini, ia justru giat di kegiatan kelompok yang semula tak digemarinya itu.
Yohanes Sumaryono adalah seorang guru. Kariernya sebagai pendidik dimulai pada 1982. Ia mengajar di SMP Kanisius Kudus, Jawa Tengah. Alumnus IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, jurusan filsafat-teologi ini, kala itu juga menjadi ketua Muda-mudi Katolik (Mudika, istilah itu saat ini berganti menjadi Orang Muda Katolik atau OMK). Di komunitas orang muda itulah ia bertemu dan menjalin hubungan serius dengan Maria. Mereka akhirnya menikah pada 1987.
Maryono, demikian sapaannya, sempat menuntaskan pendidikan di Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan, Jawa Tengah. Tapi, ia memutuskan untuk tak meneruskan pendidikannya menjadi imam. Suatu kali, pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 17 Desember 1957 itu bergurau dengan kakaknya, Uskup Palangkaraya Mgr Aloysius Maryadi Sutrisnaatmaka MSF. Kata Maryono, jika sang kakak menjadi orang suci kelak, maka dirinya sudah pasti menjadi orang kudus. Maksud Maryono, lantaran dirinya tinggal dan bekerja di Kudus, otomatis dia menjadi “orang Kudus”. Kariernya di sekolah terus menanjak, mulai dari guru mata pelajaran hingga menjadi kepala sekolah. Tapi, posisinya tak aman. Ada pengaduan yang dialamatkan kepadanya.
Risiko Pilihan
SMP Kanisius Kudus mengalami penurunan jumlah siswa. Kebetulan pada masa itu, Maryono menjadi orang nomor satu di sekolah itu. Demi menyelamatkan masa depan sekolah, lembaga pendidikan tersebut perlu bekerjasama dengan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3)-saat ini disebut Komite Sekolah.
Pada Februari 2004, ada orangtua siswa mendatangi kantor yayasan pendidikan Kanisius. Orang itu mengatasnamakan dirinya sebagai perwakilan BP3. Ia menyampaikan kepada pihak yayasan, bahwa ia keberatan dengan posisi Maryono, sebagai kepala sekolah yang juga sedang kuliah. Maryono tak menampik, saat itu lagi menyelesaikan pendidikan sebagai calon sarjana bahasa Inggris di Universitas Muria Kudus.
Atas pengaduan itu, pimpinan Yayasan Kanisius mendatanginya. Kata pengurus yayasan, seperti dikutip Maryono, yayasan tak bisa diam atas laporan tersebut. BP3 memiliki jasa besar bagi sekolah, ungkapnya melanjutkan. Pimpinan yayasan menjatuhkan pilihan kepada Maryono, menjadi kepala sekolah dan berhenti kuliah atau tetap kuliah serta melepas jabatannya sebagai kepala sekolah.
Maryono memilih untuk menanggalkan jabatan sebagai kepala sekolah. Ia meneruskan kuliah, lagi pula skripsinya sudah setengah jalan. Tak hanya itu, Maryono juga meminta bantuan kepada yayasan agar memindahkan dirinya di SMP Kanisius Pati. Permintaan Maryono dikabulkan yayasan. Saban hari dari Kudus ia berangkat pagi-pagi buta Ke Pati. Jarak kedua lokasi itu sekitar 40-an kilometer.
Kepindahannya membawa konsekuensi pelik baginya. Biaya transportasi pulangpergi kerja amat besar. Ia juga kehilangan banyak murid yang les bahasa Inggris dengannya. Demi menyelamatkan ekonomi keluarga, Maryono berencana untuk mencari pekerjaan sampingan. Seorang tetangga mengusulkan agar Maryono kredit mobil. Ia bersedia menjadi sopir dan mencari penumpang.
Agar bisa mengambil kredit mobil, Maryono menggadaikan sertifikat rumah. Sayang, baru sebulan mobil itu parkir di rumah, lantaran tetangganya berpindah ke lain hati. Maryono yang tak mahir mengemudi, memaksa mobil itu lebih sering ngeram di garasi rumah.
Suatu ketika, Maryono bersama keluarganya menghadiri arisan keluarga di Pati. Meski belum pandai nyetir, Maryono nekad membawa mobil. Di pertengahan jalan ia kaget, di hadapannya ada sebuah lubang besar. Bermaksud menghindari lubang, mobilnya justru diseruduk tronton. Mobil itu pun ringsek. Beruntung seluruh keluarga Maryono di dalam mobil itu selamat. Hanya sang istri satu tulang rusuknya patah.
Kondisi mobil itu tidak memungkinkan untuk dijual. Sementara anak pertamanya masih kuliah. Maryono bersyukur karena untuk biaya hidup masih ada penghasilan dari istrinya yang bekerja sebagai perawat. Tetapi untuk biaya sekolah ketiga anaknya, Maryono harus mencari pinjaman. Sebab, sebagian besar gajinya habis untuk mengangsur kredit bank.
Pengajar Karismatik
Dalam keadaan terpuruk, tim dari Persekutuan Doa Pembaruan Karismatik Katolik (PD-PKK) mendatanginya tiba-tiba. Mereka meminta Maryono membawakan renungan dalam persekutuan doa, asalkan dirinya bersedia lebih dulu mengikuti retret Seminar Hidup Baru Dalam Roh. Ia bersedia. Alasannya praktis, daripada menganggur, ia mengisi hari-hari kosongnya dengan mengikuti retret di Ngadireso, Tumpang, Malang. Lagi pula kesempatan itu gratis.
Saat mengikuti retret, semua peserta gembira, kecuali Maryono. Ia hanya diam. Terus-terang, sejak semula Maryono kurang sreg dengan Karismatik. Ia bersedia memberikan renungan, tapi tidak nyaman bila mengikuti puji-pujian, apalagi disertai dengan mengangkat atau bertepuk tangan.
Maryono tak pernah mau mengikuti puji-pujian. Ia hanya datang dan masuk ruangan saat membawakan renungan. Usai itu, ia keluar ruangan atau dudukdiam di antara peserta persekutuan doa. Meski begitu, semua anggota PD-PKK menyukai renungannya. Ia acap diundang dalam berbagai persekutuan doa.
Pada suatu ketika, Maryono merasakan, batinnya bergolak. “Saya ini mewartakan Kabar Sukacita, tetapi kenapa saya tidak bergembira?” katanya. Bagi Maryono, salah satu ungkapan kegembiraan adalah bernyanyi. Maryono terus beradaptasi dan akhirnya melebur dalam seluruh aktivitas PD-PKK.
Pada 2005, Maryono mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi di Paroki St Yusup Gedangan, Keuskupan Agung Semarang (KAS). Pada 2006, ia menjalani Training of Trainer (TOT) Pengajar Sekolah Evangelisasi Pribadi/KEP KAS. Kini, ia menjadi salah satu pengajar KEP/ SEP tingkat keuskupan atau nasional.
Mengajar, bagi Maryono, bukan transfer ilmu, tetapi harus memiliki daya ubah bagi orang yang mendengarkan. “Bukan karena pengajar itu hebat (mampu mengubah), tapi semata-mata karena belas kasih Allah dan Roh Kudus,” ujarnya, mengingatkan.
Kendati mengajar di persekutuan doa, KEP maupun SEP, aktifitas itu tak mengganggu tanggungjawabnya sebagai guru. Dia juga tak mau pelayanan menggangu relasi dan komunikasi dengan keluarganya.
Dapat Teguran
Maryono menyakini, Tuhan senantiasa terlibat dalam perjalanan pribadi dan keluarganya. Ia sempat terkena serangan jantung sampai tiga kali. Serangan jantung yang ketiga itu memaksanya untuk menjalani operasi by pass. Maryono mengakui, berbagai nasehat agar dirinya tak merokok tak dihiraukannya. Namun, serangan jantung yang ketiga membuat dirinya insaf. “Tuhan menegur saya dan melepas keterikatan saya dengan rokok.”
Ada juga kejadian nahas yang menimpa putrinya. Ia berulangkali meminta kepada anaknya agar jangan terlalu sering jalan-jalan dengan motor. Namun buah hatinya tak pernah mendengar nasehat Maryono. Pada suatu ketika, putrinya kecelakaan. Syukur nyawanya tertolong. Sejak kejadian itu, putrinya selalu mendengar nasehat dari orangtuanya.
Maryono pensiun sebagai guru pada 2014. Sejak itu, ia full mengajar di SEP dan KEP, serta Camp Pria Sejati Katolik. Ia juga menjadi wakil kepala sekolah di Sekolah Bina Iman (SBI) KAS. Tapi, dari semua peran yang paling ia gemari adalah menjadi Ketua RT di wilayahnya. “Keluarga saya satu-satunya Katolik di sini (RT),” ungkapnya seraya tersenyum.
Anne Marie Happy