HIDUPKATOLIK.com – Sebelum menjadi menteri, Ignasius Jonan kami undang berbagi cerita tentang “Menjadi Pemimpin Katolik”. Dalam pemaparan, Jonan tidak secara khusus berbicara tentang pemimpin Katolik yang berbasis kepada Kitab Suci. Ia menuturkan tentang kepemimpinan yang ia praktikkan ketika melakukan proses transformasi bisnis di PT Kereta Api (PT KAI) dengan berbagai pendekatan kepemimpinan dan manajerial kontemporer. Ia menyitir dua begawan manajemen, Peter Drucker dan John Kotter ketika menjelaskan proses transformasi bisnis dan kepemimpinan.
Menjadi pemimpin, kata Jonan, harus memiliki tiga syarat yang tidak boleh dilanggar. Pertama, popularitas bukanlah kepemimpinan, namun hasil. Perubahan pertama yang dilakukan Jonan adalah perubahan internal. Masyarakat umum telah mengetahui kondisi amburadul kinerja PT KAI. Mulai dari pelayanan ala kadar, jadwal molor, stasiun dan kereta yang dekil, hingga praktik culas yang dilakukan pegawai PT KAI.
Ia menetapkan visi besar dan semua tindakan karyawan PT KAI harus selaras dengan visi perusahaan. Ia memegang komando tertinggi yang memiliki otoritas untuk menggerakkan roda organisasi. Jonan memilih tidak populer dengan mempersilakan karyawan di berbagai posisi mengundurkan diri, bila tindakannya tidak selaras dengan visi organisasi. Ia melakukan rotasi berbasis kepada kinerja individu. Jonan juga menaikkan remunerasi karyawan hingga dua kali lipat, sehingga kesejahteraan karyawan terjamin.
Ketika perubahan internal sudah berlangsung, tindakan berikut melakukan perubahan eksternal. Semua stasiun dibenahi dan “dibersihkan” dari berbagai macam “pengganggu” yang membuat tidak nyaman penumpang. Kembali ia memilih tidak populer karena tindakan ini berakibat penggusuran ribuan bangunan di sepanjang stasiun dan rel kereta.
Berbagai gebrakan yang dilakukan Jonan, mula-mula memang membuat ia menjadi sasaran tembak berbagai pihak. Namun, ketika kinerja PT KAI menunjukkan hasil positif dan berlangsung berkelanjutan, akhirnya berbagai pihak respek kepada dia. Jika kemudian Jonan menjadi populer, bukan karena ia ingin menyenangkan berbagai pihak, namun lantaran hasil yang diperlihatkan PT KAI.
Kedua, pemimpin harus memberi teladan. Pemimpin sebagai contoh peran memang bukan konsep baru. Namun pendekatan ini menunjukkan relevansi yang tinggi pada era kekinian, karena banyak pemimpin kedodoran untuk menjadi contoh baik bagi anak buahnya.
Ketika menggelorakan perubahan, sebagai pemimpin tertinggi Jonan menjadi contoh peran. Ia yang mengkonsepkan, mempraktikkan, dan mengawal. Seluruh direksi, termasuk dia harus paham proses bisnis yang terjadi di PT KAI. Alhasil, sebulan sekali semua direksi mendapat jatah piket untuk bekerja di semua stasiun.
Tidak itu saja, semua pemimpin dalam berbagai level jabatan juga mendapat jatah untuk ikut membersihkan kereta api. Semua tindakan ini, tak lain ingin menunjukkan kepada seluruh karyawan PT KAI bahwa ia dan jajaran direksi lain mau turun ke bawah. Alhasil, muncul kerjasama tim yang solid antara pemimpin-bawahan. Kerjasama tim ini tak lain merupakan modal awal yang kokoh bagi organisasi untuk berubah.
Ketiga, pemimpin bukanlah sekadar posisi, hak istimewa, kekayaan, namun tanggung jawab. Jonan diberi tanggung jawab untuk mengelola PT KAI. Ia memberi keuntungan untuk perusahaan, sehingga PT KAI tidak lagi menyusu APBN. Ia memberi kesejahteraan kepada semua karyawan PT KAI dengan sistem remunerasi yang menarik, beserta reward punishmentyang jelas. Ia memberi pelayanan optimal kepada pelanggan PT KAI sehingga pelanggan merasa nyaman dan aman ketika naik kereta api.
Mengapa Jonan mampu menjalankan tanggung jawab kepemimpinan dengan paripurna? Tak lain landasan iman yang diyakini: Katolik. Ia seorang pemimpin Katolik yang mempraktikkan ajaran Gereja dalam tindakan sehari-hari. Bukan sebuah kebetulan, apabila dikantong celananya selalu tersimpan Rosario..
A.M. Lilik Agung